11 Jul 2011

Batak (bagian II)

Tahun-tahun yang aku lalui dengan sikap bapak yang kasar meninggalkan lubang luka yang dalam dan perih. Makanya laki-laki Batak sejak dulu tidak masuk dalam category typeku. Walaupun sejak kecil sudah merantau ke Jakarta, kedua orang tuaku tetap membiasakan bahasa Batak sebagai bahasa sehari-hari kami. Orangtua-ku pada dasarnya termasuk orang Batak yang tidak terlalu ribet, mereka tidak pernah secara khusus memaksa kami anak-anaknya untuk mendalami segala peradatan dan kebiasaan Batak. 

Aku sejak dulu tidak terlalu biasa  bergaul dengan halak kita. Karena sampai kami SMA pun semua kegiatan yang berhubungan dengan tradisi Batak masih 101% diwakili oleh bapak dan mama. Aku baru pertamakali menginjakan kaki diacara peradatan pernikahan adalah bulan Maret tahun 2009 pada pernikahan anak namboru dari pihak suami.

Kemudian aku juga sadar kalau akhirnya aku berjodoh dengan orang Batak pasti karena kualat, selain jodoh lah pastinya. Karena dari dulu, aku bukan cuma anti tapi mengamit-amit khan kalau ada pria Batak mendekati aku... Tapi bagaimanapun juga pada dasarnya aku adalah manusia yang sangat-sangat realistic. Apa saja bisa terjadi apalagi semakin ditentang.


Maka dimasa mudaku, aku menawar pada Tuhan, “Tuhan, kalaupun harus jodoh ku orang Batak, tolong Tuhan kasih marganya yang bagus”. Dan Siregar adalah daftar pertamaku, kemudian Panjaitan, Sirait dan aku tidak banyak menyebut lagi. Karena memang tidak terlalu banyak yang bagus, pikirku.


Tapi beberapa yang “kalau bisa jangan Tuhan”, doa ku waktu itu. Ini juga tidak banyak. Tapi ada Rajagukguk, Siringo-rongo, Simamora dan aku lupa yang lain tapi 2 list  pertama ini paling aku ingat, hahaha... (mohon maaf dan lahir bathin yaa,  Saudaraku…:p)

Suamiku kelahiran kota Jakarta (RS. Persahabatan pula). Tapi logatnya –menurut aku-, terbaca kalu dia orang Batak. Tapi bahasa Bataknya parah, tarombo-nya pun kacau. Lagu Batak tak tau 1 pun, tak hobby bercatur, tidak pula suka menongrong sambil mengupi-ngupi. Sempat pada satu kali aku kesal dengan gayanya ini. "Orang Batak kok gak gaul", pikirku

Tapi banyak sekali nilai-nilai keBatakan yang justru kudapat dari suamiku. Dalam segala ketidak-tauannya mengenai tradisi dan partoromboan. Dia menanamkan nilai-nilai luhur Batak yang sejatinya ada pada orang Batak pada dirinya sendiri. Hormatnya pada orangtuaku tanpa kemunafikan, kasihnya pada semua saudara-saudara baik dari pihak aku maupun pihak dia sendiri. Caranya menyikapi suatu nilai etika, masih ‘sangat Batak’. Bahkan cara dia menjaga kehormatan aku sebagai istrinya, sangat konservatif. 

Mungkin nilai ke-Batakanya yang agak berbeda adalah “tunggal boru ki do hamoraun di au”. Kalau orang Batak umumnya mengatakan "anak sebagai harta", maka suamiku akan bilang kalau ISTRI-lah harta yang harus dijaga.


Karena prinsip dia adalah: ISTRI ADALAH TEMAN SAMPAI TUA DAN MATI, MAKA TANAM CINTA DAN SAYANG SEJAK MUDA, AGAR PERJALANAN MENUJU TUA SEMAKIN SALING MENCINTAI. Sedangkan anak hanyalah titipan Tuhan yang kelak akan mencari jalan nasibnya sendiri. Kita hanya perlu menanamkan nilai penghormatan kepada anak, maka dari penghormatan itu akan muncul kasih yang penuh hormat.

Sering kami membahas bagaimana bangganya dia menjadi halak hita. Karena menurut dia, kitalah bangso Batak yang menitis dari suku Israel yang terhilang. Segala kecerdasan, segala kesombongan dan segala berkat ada di orang Batak. Awalnya aku merasa bodoh dengan kisah-kisah ke-Batakanya. La wong ngomong Batak aja ga bisa, denger lagu Batak gak suka... ini khan aneh namanya.


Tapi yang membuat bulu kuduk ku merinding adalah, waktu dia bilang, “aku berharap kelak anak-anak ku berjodoh dengan orang Batak”... Aje gile, kataku dalam hati. Abad 21 getho loh. Karena mimpiku adalah anak-anakku berjodoh dengan Bule, hehehe… Perbaikan keturunan?? Sama sekali bukan, toh turunanku gak jelek-jelek amat :p. Pemikiran dangkal-ku hanya supaya anak-anakku punya kesempatan lebih besar untuk merasakan hidup di negeri orang. Shalow khan!!!

Caranya menyikapi setiap episode pada sebuah pesta atau acara adat. Seolah dia mengerti dan kemudian akan berkomentar, “hebat ya orang Batak, bisa-bisanya ide ini ide itu, model ini model itu, begini caranya, begitu lakonnya… de el es be...”. Pada pokok-nya, ada saja analogy yang dia buat dalam setiap gerakan adat ke-Batak-an. Dan jujur, banyak yang kemudian aku pikir-pikir  “bener juga nich”

Suamiku akhirnya menyadarkan aku, betapa seharusnya  aku bangga menjadi orang Batak, betapa aku diberkati menjadi orang Batak. Betapa memang seharusnya, –meminjam istilah film George of the Junge- bintik hidup dengan bintik, belang hidup dengan belang dan totol hidup dengan totol. Atau pernah pada  episode Ricky Lake Show ada ucapan: “dog live with dog, pig eat with pig”, karena suaminya berselingkuh dengan sahabatnya. 

Dan kalau kemudian aku merasa semakin menjadi manusia yang lebih baik dari pada dulu,  adalah karena aku hidup dan menikah dengan kelompok-ku. Suamiku memaknai pernikahan kami dengan cara “boru ni Raja”. Maka dia menghargai nilai pernikahan kami sebagai suatu yang absolute. Dengan segala kerasnya karakteristik ku, serta rasa takutnya akan Tuhan, suamiku terus membimbingku dalam pengertian bahwa menikahi ‘putri raja’ adalah juga memperlakukanya seperti puteri raja.

Suamiku memberikan aku pengertian baru, bahwa 'nilai-nilai' Batak adalah aku adalah dia secara pribadi. Bukan masalah karakter semata. Maka ketika aku menjadi jawara bicara, itu bukan sekedar karena aku mempelajarinya, tapi karena ada darah Batak yang melekat. Pun segala kecintaanku pada keluarga, (yang sering ku sesali sendiri) tapi karena memang orang Batak dikenal sebagai suku yang paling familier dan mengikat tali silsilah dan silaturahmi paling kuat.

Sekarang diusia yang semakin matang adalah kebanggan bagiku jika orang mengenalku sebagai Mawar Sinaga (karna KTP ku tidak menyebut marga). Karena aku suka dikenali sebagai orang ‘berkarakter’, dan kebanyakan orang Batak dikenali karena karakternya yang kuat. Meskipun tidak jarang arahnya tidak melulu positif. Tapi buat ku, menjadi orang Batak yang baik atau buruk bukanlah karena ‘Batak’ nya, tapi lebih karena kepribadiannya.


Maka semakin aku mengerti, aku akan menggolongkan diriku sebagai orang Batak yang baik, orang berkarakter yang lembut. Ini masih perjuangan, hehehe. Dan pada akhirnya aku hendak memaknai ke Batakanku sebagai sebuah anugrah.

Yang semuanya adalah buah perjalanku dengan suamiku, Monang Siregar.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar