11 Jul 2011

Kata Mama dan Bapak??

Kalau ditanya nilai-nilai apa yang pernah ditanamkan kedua orang tuaku kepada ku, jujur aku akan mengenyitkan dahi berkal-kali, lalu menggigit pulpen yang kupegang untuk memeras otak. Setelah sekalian kali berpikir keras kelihatanya aku tidak juga mengingat  “kalimat-kalimat yang cukup spesifik” atau cukup indah untuk dijadikan mutiara dalam hidup.

Merantau ke Jakarta tahun 1984, aku masih terlalu kecil untuk mengerti beratnya kehidupan ibukota dibandingkan kehidupan di kampong dulu. Yang pasti ku ingat sedari kecil, kami tidak pernah sampai kurang makan, tidak pula ‘ketinggalan jaman’ dalam bermasyarakat, di didik dengan sangat keras, ternyata tidak membuat kami menjadi anak-anak manis selamanya. Sekolah adalah prioritas mama-ku, --begitu kata beliau-- sedari dulu. Karena menurutnya Bapak terlalu santai mengejar kebutuhan ekonomi sementara kebutuhan sekolah semakin tinggi.

Mama dan Bapak pun bukan yang tidak jarang bertengkar. Mamaku nyaris tidak pernah memaksa kami belajar sejak mulai kami kelas 3 SD. Jelas diingatanku, hanya di masa-masa awal sekolah saja aku dan kakak ku (kebetulan aku dan kakak hanya beda usia 1 tahun maka kami disekolahkan di tahun yang sama) selalu gemetar, karena penggaris kayu panjang atau gagang sapu akan menjadi teman belajar kami, dalam permulaan sekolah selalu akan ada benda mendarat ditubuh jika ejaan tidak tepat. Seingatku kakak ku lumayan cepat penangkap alphabet tapi aku selalu bermasalah di hurup G dan Y, tapi yang masih kuingat adalah membaca Y menjadi I (ajaran Bapak).

Semakin besar pun belum ku temukan ‘nilai-nilai’ yang khusus disapaikan mama dan bapak, kelak sebagai bekal kami hidup dimasa besar. Tapi dalam kehidupan sehari-sehari, kami sangat ditanamkan nilai kejujuran, mama ku adalah type orang yang amat sangat teledor sekali. Dia bisa meletakan dompetnya diatas kursi depan padahal pintu kami terbuka lebar, atau meletakan duit kembalian  diatas tivi, padahal rumah kami termasuk rumah yang open house setiap waktunya dan siapapun boleh menonton. Tidak sekalipun mama akan meneriaki kami dengan kalimat “jangan ambil duit ini” atau apalah, karena entah kenapa kami tak satupun yang akan geming dengan duit yang ‘ngasal’  itu, walaupun di depan rumah kami ada sekolahan kecil dimana sepanjang jalannya dipenuhi oleh penjaja makanan.

Mamaku belum pernah kulihat sekalipun  pergi bertandang kerumah orang tanpa ada tujuan yang jelas, untuk kemudian bicara-bicara tidak jelas, dan berakhir kegunjingan. Kalaupun orang datang kerumah dan bergunjing, –seingatku lagimama tidak pernah menjadi provokator apalagi pemihak. 

Mama dan bapak tidak pernah memembela anaknya dengan sembarangan, bahkan ketika kami tidak bersalahpun mama masih menganggap kami bersalah karena bersingungan dengan orang lain.

Kalau ada saudara yang datang, entah apa jabatan dan gelaran si Saudara ini, walaupun dengan penampilan yang ‘abrakadabra’ atau bahkan 'wah' sama sekali, mama akan selalu memastikan kami menjabat dan memberi salam dengan hormat.

Atau ketika tetangga sibuk dengan perabotanya yang baru, ada yang –biasanya mendadak sombong atau pula mendadak ramah (maksudnya sih mau pamer).. Kadang-kadang (ketika kami sudah diusia ABG), aku dan kakak dan adik suka menilai-nilai  sikap seperti itu. Ketika kami konfirmasi ke mama, biasanya kami malah akan disemprot keras “ngapain sih kalian ngurusin harta orang!!”. Dan sampai kemudian aku menikah dan hidup bertetangga sendiri, baru aku mengerti bahwa nilai  tidak iri, tidak sirik dan tidak dengki    amat  sangat  sangat  langka dimuka bumi  pertiwi Indonesia. 

Dan aku melihat mama adalah Pribadi yang tidak pernah silau dengan milik orang lain, bahkan dia lebih suka ‘menyembunyikan’ yang ada, ketimbang mempertontonnya hanya untu sekedar dianggap.
Ini serius, ini adalah sakit paling besar yang kemudian aku dapatkan dalam belajar hidup bermasyarakat,  ibu-ibu yang meng-klaim berpendidikan, suami bergaji besar, atau mengaku  biasa dengan kemewahan,,, ternyata kemudian  akan menunjukan “keperdulian yang aneh” ketika orang lain juga punya atau kemudian  menatap sinis atau malah marah…  it’s real

Semakin aku menjadi Ibu bagi ke-3 anak ku, aku akhirnya jadi mengerti.. Orangtuaku memang  bukan orang bersekolah tinggi, pelajaran hidup mereka keras dan tanpa basa-basi. Tapi nilai-nilai yang "biasasaja" telah diaplikasikan dalam kehidupan ku –kami-- dimasa kecil dulu. Dan kemudian baru kusadarai ternyata ‘sangat-sangat sulit’, sulit untuk tidak terpancing lingkungan, sulit untuk bertahan tanpa tergoda tapi... 30tahun lebih yang telah kulalui kutau orangtuaku telah ber-praktek  tanpa banyak teori sekolahan.

Kusadarai sekarang kejujuranku, ke’tidak latahan’ku (begitu aku lebih suka mengartikan orang2 yang selalu ikut2an), penolong, rapih, bersih, cerewet adalah nilai yang diturunkan mama dalam sekolah kehidupan kami yang 20tahun lamanya.


Pemberani, jago bicara, temperamen, suka bereksperimen, perhatian, galak, pintar dan takut Tuhan adalah titisan yang sekarang aku mengerti kalau kesemuanya ku dapatkan dari Bapak ku. Nilai yang seandainya saja bisa dipilih, aku yakin Bapak akan menyingkirkan point “temperamen dan galak” dari list sifat ku. 

Karena tanpa pernah mengungkapkanya pun aku tau kalau orangtuaku sangat berharap aku –kami anak-anaknya—sungguh menjadi Pribadi yang lebih baik.  Pribadi yang lebih baik dari mereka, Pribadi yang jujur, Pribadi yang apa adanya, Pribadi yang tidak mudah dimakan jaman. “jangan jadi korban mode” begitu bapak sering berucap.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar