24 Okt 2011

Perusahaan Keluarga ( Akhir )



Tapi disini entah kenapa, dengan penuh kesadaran aku mengakui banyak sekali kelalaian kecil yang kulakukan. Pembulatan harga adalah yang paling sering. Bingung menghitung persentasi 10%, margin 20%… bagaimana bisa? aku juga tidak paham makanya aku cukup legowo menerima omelan si ibu Bos I, atasan baruku. Sebulan bekerja aku ditawarkan menjadi PA si ibu, Bos Manager I aku menyebutnya.


Terbiasa bekerja dengan keheningan, system, tehnologi yang maju dan pribadi-pribadi yang hangat sepertinya menjadikan aku gamang dalam segala tindakan disini. Pernah suatu kali, seperti biasa kami akan morning briefing. Tiba-tiba ada telepon dari customer yang cerewet dan banyak tanya, sesi sudah dimulai semua sales menatapku tajam, rekan-rekan yang melihat kejadian juga resah. Tapi pikirku, ini kan yang telepon customer… Ternyata, ketika aku masuk ruangan si bos membanting mejanya sambil terus memaki. 

Ada lagi satu kejadian dimana si Bos besar berdebat dengan si Bos I. Jadilah aku lampiasan kesalahan yang sumpah mati aku gak paham, –karna ini kelihatanya lanjutan projek sebelum aku join-. Masih kuingat makian si bos besar, “model lo tololnya mah Mawar,  gampang dicari dimana-mana, lo dulu kerja apa sih, lo bisa apa sih.. gua mah dikasih elo gratis juga malas”... waw, 

Setiap kali menerima makian dari keluarga Bos, pada saat itu, tidak pernah membuat aku menagis atau sedih. Rasanya hanya hampa dan kosong, lagi-lagi terjebak oleh kebutuhan ekonomi.

Titik nadir akhirnya tiba. Menurut aku, apa yang aku kerjakan selama ini adalah sesuai dengan apa yang dilakukan orang lama. Dan aku berani pastikan itu dengan seksama. Walaupun aku akui, kesalahan yang sering aku lakukan adalah pembuatan harga dan menghitung margin -yang memang tidak ada standard dan rumusnya-. And still don’t get it till now. :p

Syukurnya aku sudah sempat mengucapkanya dengan suami. Walau terus mencoba menahan aku sudah sampai pada keadaan menyerah, –yaps, sempat ciut dengan pemikiran jobless-. Tapi aku sudah menyerah pada semua tekanan pekerjaan dan kata-kata yang ada. Ideku, "habis gajian kabuuur…", kataku pada suami.

Pagi itu semua karyawan heboh. Karena barang kiriman ke sebuah toko besar belum juga jalan, dengan alasan belum ada kesepakatan harga. Jadilah si Bos I mengamuk luar biasa, dan aku adalah orang pertama yang diserbu beliau. 

Yang aku ingat, aku sudah memberitahu harga itu pada sales, juga pada pembuat PO. Hanya saja dan memang, aku tidak memberi hardcopynya pada mereka. Jadilah semua bedalih…. 

Matilah aku saat itu, si Bos I mengamuk bak banteng luka. Mendadak dia mengungkit absen yang ku-tandatangani di pagi hari,  padahal begitu aku biasa melihat orang lama melakukanya. Juga lembaran absent/kunjungan yang diprint, seharusnya difotocopy. Dia juga dicecarnya dengan garang. Padahal seperti biasa sales dan orang lama juga lebih banyak memprint data daripada meng copy… I suer it.

Maka tidak ada jalan lagi, dia berteriak, melempar ordner, dan melempar kertas kearah aku dari kaca -dinding kami semua dari kaca-. Situasi tegang, dari lantai 1 sampai lantai 4. Ruangan seberang ruanganku juga ikutan senyap. Jadilah aku seumpama tontonan, dan semua sales bungkam. Bahkan orang lama yang ada diantara sales mengklaim bahwa dia sudah mengajarkan semua yang benar kepadaku... Aku diam.


Diakui atau tidak aku tipikal pekerja perfectionist. Jika aku melakukan 1 kesalahan, maka aku menganggap kalau aku layak dihukum. Dan ketika pekerjaan yang seharusnya sempurna, agak-agak kurang sedikit. Aku merasa terbuka untuk menerima semua omelan... dan itu yang aku rasakan hari itu. 

Sepenuh hati aku menerima kesalahan karena tidak memberi hardcopy harga baru ke pembuat PO. Tapi aku juga menyesali sangat sales yang tidak memfollop up project ini. Disana biasa begitu orang kerja, menunggu dan saling lempar tanggung jawab. Juga bagaimana bisa si orang lama mengklaim, bahwa dia sudah mengajarkan sesuai prosedur. Padahal Tuhan tau, aku hanya mengkopy pekerjaanya… again, I suer it!! 

Walau ada rasa malu tapi perasaanku enteng waktu itu, tidak ada bantahan, tidak pula mencoba membela diri.. (fuihhh,  ini Mawar githu loh si Juara ngeset dan pembangkang). This is the end, this is the final destination batinku saat itu…  


Setelah cape memaki dan berteriak si Bos I, yang jujur, sampai hari ini aku masih bingung apa yang sebenarnya bisa dia lakukan selain tandatangan, (kalau mengomel sepertinya itu sudah bakat keluarga sih..) pergilah dia keluar kantor. 

Semua nafas seperti baru terhela saat sosoknya menghilang dibalik tangga. Semua ikutan lega, padahal aku yang jadi 'terdakwa'nya. Tidak lama kemudian, ibu HRD mendekatiku dengan gamang. Dia tau pasti track record CV aku, dia juga menyayangkan semua kejadian ini. Tapi –she still Indonesian 100%- she won’t fight for me, aku sadari itu. Lalu dia hanya berucap, “kok bisa, kenapa, bagaimana...”

Lalu aku menjawab, “sudah lah mba gak usah dibahas lagi, gue engga kuat kalau begini caranya... abis gajian gue resign, nyerah mba”.  Dia diam tapi kemudian jawabanya seolah menampar ku kembali dengan kuat, “ibu juga gak mau pake lo lagi War”… Lalu kami hening. 

Aku juga tidak yakin dengan apa yang berputar dikepalaku saat itu, sampai ibu HRD bilang, “War ibu gak mau gaji loe sebagai PA dia mau gaji loe dengan gaji awal”. Waks, disini baru jantung-ku berdegup, segala marah, kesal, malu, terhina berbaur jadi satu. Sambung ibu HRD lagi, “ibu bilang loe gak bisa kerja, gak pantes digaji kaya orang lama”…


Jam kerja adalah jam 8-5, tanpa makan siang, tanpa transportasi. Tapi buat aku apa yang paling masalah disini selain ‘adat keluarga Bos’, selain technologi yang mandek. Semua kantor cabang hanya dibekali dengan mesin fax yang sama dengan kantor pusat, gabungan fax dan telephon buatan tahun awal mesin fax dunia. 

Disana tidak ada internet, semua info turun dikertas, jadilah mem-fax adalah Job Desk yang makan waktu lama. Si bos I yang gaptek tidak mau membuka e-mail lama-lama, so semua info dan laporan kembali..back to papper. Percaya atau tidak, mem-print menjadi kerjaan khusus buat aku.. (how they deal with it previously..????). Dari beberapa ruangan hanya 1-2 mesin print yang bagus, so mem-print bisa jadi pekerjaan tour of company.



Aku joint di kantor ini bulan April 2010, usia bayiku 6 bulan. Bukan jarang aku pulang kerja jam 10-11 malam. Dan jalan pagi jam 6, kejar kereta  arah Kota jam 6.20. Bukan karangan kalau aku bilang bayiku sempat tidak mengenali aku sama sekali. Setiap malam hari terbangun dia akan mencari si Oppung, menyusui pun jadi pekerjaan ribet, ketika melek bayiku harus melihat wajah neneknya dulu baru kemudian perlahan-lahan aku masuk dan memeberinya ASI...  aku ada diposisi ini selama bekerja di Perusahaan Keluarga ini. 

Menunggu angkot di ¼ an Mangga Besar jam 9 malam, atau berjalan dari terminal Senen sampai ¼ an Bioskop by pass hujan-hujanan, demi angkutan terakhir yang akan membawa aku pulang. Berdesak-desakan di kereta. Tidak jarang pula kubawa pulang folder-folder aneh yang berantakan itu ke rumah, sekedar merecheck semua pekerjaan yang sudah aku lakukan dikantor. Karena waktu memang terasa tidak pernah cukup sejak aku bekerja disini.  Semuanya yang aku lakukan hanya cuma-cuma, tanpa ada perhitungan tambahan sama sekali…

Aku memang  100% niat ingin resign, tapi seandainya semua kejadian diatas itu tidak terjadi bisa saja ada kesempatan 1% untuk aku menahan diri. Kembai dengan alasan standard, “kebutuhan ekonomi”. 

Tapi kenyataanya, ditolak tanpa punya kesempatan menunjukan dan membuktikan apa-apa, padahal awalnya aku sangat yakin 110% dengan kemampuanku. Jelas semuanya ini meningggalkan luka yang kemudian cukup membekas dalam perjalanan ku bersosial. Ditambah lagi tidak adanya penjelasan apa-apa dari HRD soal penggajian yang ‘mangkir’, orang lama yang cuci tangan dan para sales yang pura-pura tidak tau apa-apa.

July 2010, aku hengkang karena terusir dari Perusahaan Keluarga itu… 3 bulan pengalaman mental yang buat aku seperti  Fenomena Gunung Es.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar