24 Okt 2011

Perusahaan Keluarga (Awal)

Sewaktu memutuskan keluar dari perusahaan Jepang, dimana aku sudah 5 tahun bekerja sebenarnya bukan semata-mata sebuah keputusan yang emosional. Salah satu alasan pasti, tidak adanya peningkatan karir dan gaji yang mencukupi. Kemudian, sebagian lagi adalah kepercayaan diri yang sesungguhnya kudongrak paksa. Karena tawaran yang baru inipun sebenarnya bukan yang from zero to hero… ini Cuma 11 ke 13… hahaha, istilahnya ngarang nih. 

Beda gaji tidak sedasyat yang dipikir orang, yang aku highlight waktu itu adalah jabatan sebagai secretary... nampaknya ini akan menjadi batu loncatan yang bagus pikirku saat itu.

Setelah masuk aku baru sadar ini perusahaan keluarga, dan suamiku langsung berprasangka buruk. Tapi aku masih mencoba berfikir maju. Mana aku tau batas kemampuanku, sampai aku coba bertahan semampu aku, begitu pikirku waktu itu. 

Setelah 5 tahun lebih 4 bulan aku bekerja dengan ada jemputan dekat rumah. Hari ini adalah awalnya dan seterusnya aku akan naik kereta ekonomi yang padat, sumpek, bau, panas.. fuihh. Ini 1 hal lagi yang amat disesalkan suamiku.

Tidak sampai beberapa jam sejak aku duduk dibangku yang ternyata –katanya-, bukan meja kerjaku. Kegaduhan kantor baru ini sudah menggoda keyakinan, ibu yang kemarin menyebut diri HRD nampak sibuk melakukan pekerjaan yang lain, –jelas bukan job desknya-. Terlihat si bos yang menginterview ku kemarin, besikap seperti dipasar Glodok. Dia memanggil dengan suara keras, membanting kertas dengan dan berseru dengan panggilan: elo-gue!! Upss... ada yang salah pikirku. 

Ternyata, walau terus berusaha tenang ketakutanku terjawab. Tapi apa daya, terlanjur basah, aku harus mandi sekalian. Dikantor baruku tidak ada sapaan pak atau bu dalam pemanggilan. Bahkan  mbak, mas, tante apapun jenisnya tidak ada… Hanya segelintir orang lama yang super tua akan dipanggil Koh dan Enci. Kalu sekedar beda usia 3-5 tahun tak ada jembatan pemanggilan disini.

Okey kalau itu masih bisa diterima. Mungkin, lain ladang lain ilalang. Tapi rasa galau mulai menyelip..

Setelah ribut dan dioper berkali-kali, ternyata aku tidak menjadi sekretaris. Aku hanya akan menjadi penghitung omset sales. Yang ruanganya digedung sebelah, yang tanpa AC dilantai 4. Dan kami kesana dengan menyebrang sebuah loteng kecil. 

Tak ada satupun wajah hangat yang kujumpai, semuanya kaku dan masam terkesan sinis… Asli ini berbeda 180°  dengan perusahaanku sebelumnya. Dimana anak-anak baru akan segera disambut dengan uluran tangan, senyum dan kehangatan persahabatan. 

Jam 10 kurang, seorang datang lagi, sumpah sempat kupikir dia pembantu. Ternyata eh ternyata, –disebut auditor disini- dialah staff senior yang akan jadi mentorku. Ternyata, memang biasa begitu pakaianya dalam bekerja sehari-hari: celana kolor selutut dan kaos butut... Persis gaya rumahan. 

Ooo, galau part II… Jiaaahh. 

Pribadi-pribadi unik itu sebenarnya belum menjadi momok berat waktu itu. Aku harus memaksa diri realistis. Ini khan dunia baru, adat baru dan kebiasaan baru... aku hanya perlu menyesuaikan diri, batinku lagi.

Sebagai anak baru, adalah biasa jika kita bercerita mengenai pengalaman dan serba-serbi sebelum bekerja disini. Entah bagaimana, tapi aku tau siapa sumbernya. 2 minggu setelah bekerja si nyonya besar (istri pemilik perusahaan) memanggilku. 

Dia lalu memarahi-ku dengan lantang, “kamu jangan suka jelek2in perusahaan ini, kamu jangan suka banding2in, kamu silahkan angkat kaki kalu gak suka disini”. 

Sebabnya adalah, karena aku bercerita pengalaman perusahaan lama. Bagaiamana nilai positif dan juga negatifnya. Ternyata kemudian diadukan, ini sebagai tindakan provokatif aku dalam membandingkan, dan memperkeruh suasana kerja. $!!(*&^%$# 

Bekerja tanpa server, mesin fotokopi tahun 80-an, printer model deskjet,1 mesin fax keluaran abad pertama untuk semua bagian, dari lantai 1 sampai 4. Dan yang lebih dasyatnya lagi, karena semua pembukuan dan transaksi akan direcheck oleh si nyonya besar, yang tidak familiar dengan computer, maka semua data akan turun ke buku tulis. 

Jadi disanalah aku melihat kantor dengan kebutuhan buku melebihi anak sekolah…. Yes I do!! FYI... Si sulung Marketing  Manager I, si tengah Marketing Manager II dan si bungsu Manager Exim. Bapaklah tokoh centralnya dan si Ibu adalah finance controller.

Banyak bagian-bagian yang aneh, tapi atas dasar kebutuhan ekonomi aku masih bertahan. Makian yang biasa terlontar dari semua member keluarga, kesombongan si tengah yang akhirnya sering jadi olok-olok kami. “Saya ini lulusan Amerika”, sesumbarnya berkali-kali. Tapi aneh, dia tidak kenal dengan Rahmat Gobel. Padahal mereka berjalan di bisnis yang sama. 

Perbedaan persepsi antara si anak dan bapak yang seringkali mejepit kami para pekerja… Tidak ada jatah cuti (bahkan sakit), bos-bos yang suka memprovocasi, dan job desk yang tumpang tindih…Semua tidak ada solusi!!! Belum lagi 20-an orang karyawan yang resign selama 2.5 bulan aku bekerja. Oh ya, hanya 2 yang resign resmi, selebihnya kabur setelah gajian, juga tidak sedikit yang mundur teratur setelah bekerja 1-2 hari. Ini kenyataan...

Perasaan aku berkata: orang mengenal Mawar sebagai seorang pekerja yang baik. Aku paling pantang menggampangkan cuti, tidak juga suka menunda pekerjaan. Aku juga terkenal  rajin membantu rekan. Dan penuh inisiatif... In short, aku tipikal orang yang tidak takut dengan  pekerjaan  tambahan. Aku orang yang selalu berfikir, pambalasan datangnya dari atas.. yach walaupun sering marah dan protes, tapi secara umum aku karyawan yang patut diperhitungkan… hmm, hmm .Air laut siapa yang ngasinin ya? hehehe.. :) :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar