11 Jul 2011

Kata Mama dan Bapak??

Kalau ditanya nilai-nilai apa yang pernah ditanamkan kedua orang tuaku kepada ku, jujur aku akan mengenyitkan dahi berkal-kali, lalu menggigit pulpen yang kupegang untuk memeras otak. Setelah sekalian kali berpikir keras kelihatanya aku tidak juga mengingat  “kalimat-kalimat yang cukup spesifik” atau cukup indah untuk dijadikan mutiara dalam hidup.

Merantau ke Jakarta tahun 1984, aku masih terlalu kecil untuk mengerti beratnya kehidupan ibukota dibandingkan kehidupan di kampong dulu. Yang pasti ku ingat sedari kecil, kami tidak pernah sampai kurang makan, tidak pula ‘ketinggalan jaman’ dalam bermasyarakat, di didik dengan sangat keras, ternyata tidak membuat kami menjadi anak-anak manis selamanya. Sekolah adalah prioritas mama-ku, --begitu kata beliau-- sedari dulu. Karena menurutnya Bapak terlalu santai mengejar kebutuhan ekonomi sementara kebutuhan sekolah semakin tinggi.

Mama dan Bapak pun bukan yang tidak jarang bertengkar. Mamaku nyaris tidak pernah memaksa kami belajar sejak mulai kami kelas 3 SD. Jelas diingatanku, hanya di masa-masa awal sekolah saja aku dan kakak ku (kebetulan aku dan kakak hanya beda usia 1 tahun maka kami disekolahkan di tahun yang sama) selalu gemetar, karena penggaris kayu panjang atau gagang sapu akan menjadi teman belajar kami, dalam permulaan sekolah selalu akan ada benda mendarat ditubuh jika ejaan tidak tepat. Seingatku kakak ku lumayan cepat penangkap alphabet tapi aku selalu bermasalah di hurup G dan Y, tapi yang masih kuingat adalah membaca Y menjadi I (ajaran Bapak).

Semakin besar pun belum ku temukan ‘nilai-nilai’ yang khusus disapaikan mama dan bapak, kelak sebagai bekal kami hidup dimasa besar. Tapi dalam kehidupan sehari-sehari, kami sangat ditanamkan nilai kejujuran, mama ku adalah type orang yang amat sangat teledor sekali. Dia bisa meletakan dompetnya diatas kursi depan padahal pintu kami terbuka lebar, atau meletakan duit kembalian  diatas tivi, padahal rumah kami termasuk rumah yang open house setiap waktunya dan siapapun boleh menonton. Tidak sekalipun mama akan meneriaki kami dengan kalimat “jangan ambil duit ini” atau apalah, karena entah kenapa kami tak satupun yang akan geming dengan duit yang ‘ngasal’  itu, walaupun di depan rumah kami ada sekolahan kecil dimana sepanjang jalannya dipenuhi oleh penjaja makanan.

Mamaku belum pernah kulihat sekalipun  pergi bertandang kerumah orang tanpa ada tujuan yang jelas, untuk kemudian bicara-bicara tidak jelas, dan berakhir kegunjingan. Kalaupun orang datang kerumah dan bergunjing, –seingatku lagimama tidak pernah menjadi provokator apalagi pemihak. 

Mama dan bapak tidak pernah memembela anaknya dengan sembarangan, bahkan ketika kami tidak bersalahpun mama masih menganggap kami bersalah karena bersingungan dengan orang lain.

Kalau ada saudara yang datang, entah apa jabatan dan gelaran si Saudara ini, walaupun dengan penampilan yang ‘abrakadabra’ atau bahkan 'wah' sama sekali, mama akan selalu memastikan kami menjabat dan memberi salam dengan hormat.

Atau ketika tetangga sibuk dengan perabotanya yang baru, ada yang –biasanya mendadak sombong atau pula mendadak ramah (maksudnya sih mau pamer).. Kadang-kadang (ketika kami sudah diusia ABG), aku dan kakak dan adik suka menilai-nilai  sikap seperti itu. Ketika kami konfirmasi ke mama, biasanya kami malah akan disemprot keras “ngapain sih kalian ngurusin harta orang!!”. Dan sampai kemudian aku menikah dan hidup bertetangga sendiri, baru aku mengerti bahwa nilai  tidak iri, tidak sirik dan tidak dengki    amat  sangat  sangat  langka dimuka bumi  pertiwi Indonesia. 

Dan aku melihat mama adalah Pribadi yang tidak pernah silau dengan milik orang lain, bahkan dia lebih suka ‘menyembunyikan’ yang ada, ketimbang mempertontonnya hanya untu sekedar dianggap.
Ini serius, ini adalah sakit paling besar yang kemudian aku dapatkan dalam belajar hidup bermasyarakat,  ibu-ibu yang meng-klaim berpendidikan, suami bergaji besar, atau mengaku  biasa dengan kemewahan,,, ternyata kemudian  akan menunjukan “keperdulian yang aneh” ketika orang lain juga punya atau kemudian  menatap sinis atau malah marah…  it’s real

Semakin aku menjadi Ibu bagi ke-3 anak ku, aku akhirnya jadi mengerti.. Orangtuaku memang  bukan orang bersekolah tinggi, pelajaran hidup mereka keras dan tanpa basa-basi. Tapi nilai-nilai yang "biasasaja" telah diaplikasikan dalam kehidupan ku –kami-- dimasa kecil dulu. Dan kemudian baru kusadarai ternyata ‘sangat-sangat sulit’, sulit untuk tidak terpancing lingkungan, sulit untuk bertahan tanpa tergoda tapi... 30tahun lebih yang telah kulalui kutau orangtuaku telah ber-praktek  tanpa banyak teori sekolahan.

Kusadarai sekarang kejujuranku, ke’tidak latahan’ku (begitu aku lebih suka mengartikan orang2 yang selalu ikut2an), penolong, rapih, bersih, cerewet adalah nilai yang diturunkan mama dalam sekolah kehidupan kami yang 20tahun lamanya.


Pemberani, jago bicara, temperamen, suka bereksperimen, perhatian, galak, pintar dan takut Tuhan adalah titisan yang sekarang aku mengerti kalau kesemuanya ku dapatkan dari Bapak ku. Nilai yang seandainya saja bisa dipilih, aku yakin Bapak akan menyingkirkan point “temperamen dan galak” dari list sifat ku. 

Karena tanpa pernah mengungkapkanya pun aku tau kalau orangtuaku sangat berharap aku –kami anak-anaknya—sungguh menjadi Pribadi yang lebih baik.  Pribadi yang lebih baik dari mereka, Pribadi yang jujur, Pribadi yang apa adanya, Pribadi yang tidak mudah dimakan jaman. “jangan jadi korban mode” begitu bapak sering berucap.
 

1st Moment

Salah satu moment paling luar biasa yang pernah aku alami sepanjang hidup adalah “kehamilan pertama” ku. Sungguh moment ini secara keseluruhan telah mengubah sudut pandangku tentang manusia, mengubah caraku menyikapi semua orang. Aku merasa menjadi manusia yang sempurna, ini salah satu tonggak  yang membuat aku merasa menjadi manusia dewasa. Saat dimana aku 'harus' memaksa diriku  menjadi pribadi lebih kuat dan harus menjadi manusia super.

Diusia kehamilan masuk bulan ke-2, aku dan suami sudah mengimani bahwa anak yang akan lahir ini adalah perempuan. Aku bahkan sudah memilihkan sebuah nama, Jean. Nama itu mengingatkan aku pada tokoh manusia keturuan kera yang mencoba beradapasi dengan manusia metropolitan, atau Jean, wanita pintar teman Tarzan. Pada satu waktu kami juga terkagum-kagum pada salah satu bintang India Manisha Koirola dalam salah satu filmnya dia hadir dengan rambut ikalnya yang bagus.
Jadi pada usia kehamilah 3 bulan, semua popok dan bajunya sudah aku tulisakan JN. Kebetulan kami tidak punya pantangan, saat ada sedikit rejeki buru-buru kami alokasikan untuk kebutuhan calon bayi. Semua dengan keyakinan penuh,,,

Masuk bulan ke-4, seakan lupalah aku dengan semua kepahitan hidup sebagai perempuan yang menikah diusia muda. Lupa jugalah aku dengan jalan-jalan menuju pernikahan yang memang tidak enak untuk diingat. Inilah saat dimana aku mulai merasa bahwa betapa luar biasanya ciptaan Tuhan itu. Betapa hebatnya menjadi perempuan. Dibulan-bulan ini mulailah perutku bergerak-gerak. 

Dan kebetulan bayi pertama ku ini sangat aktif, jadi dalam setiap kesempatan aku seoalah-olah sedang bermain dengan mainan baru. Tambah bulan, tambah aktiflah bayi ini. Dimulai bayi ini sering bergerak, aku tidak henti-hentinya menghitung keajaiban Tuhan, kehebatan manusia dan kenikmatan hamil.

Hal yang paling aku ilhami adalah, bagaimana Tuhan akan mempercayakan seorang nyawa kepadaku. Bagaimana seorang bayi lemah dan tak berdaya akan menaruh kehidupanya diatas pundakku. Mengingatnya membuatku bangga menjadi wanita, merasa sempurna sebagai manusia sosial. 

Setiap detak juantungnya membuatku menghitung hari dengan rasa berharga, setiap gerakanya diperutku membuatku merasa menjadi manusia paling beruntung didunia. Aku tidak terlalu pusing dengan ukuran kontakan yang Cuma 3x4meter tanpa plafon. Udara yang pengap, panas dan antrian pada WC umum. Gerakan-gerakan bayi ini selalu menjadi pompa energi yang hebat buatku.  Every single day is a bless because of this baby.

Finally, minggu pertama di awal December 1999.
Melihat bayi merah 3,7kg dengan panjang 53cm, membuatku merinding luar biasa.   Ya… Tuhan, begitu sucinya semua manusia ketika lahir, betapa sempurnanya ciptaan Tuhan. Pikirku kemudian, inilah yang disebut “semua manusia adalah sama dimata Tuhan”. Suaranya, desahannya, tangisnya seoalah menjadi remote baru bagi otak dan perasaanku. Bagaimana bisa ya, manusia melukai hati manusia, bagaimana bisa seorang perempuan membuang bayinya, bagaimana bisa ibu-ibu membiarkan anaknya menggembel dijalan.


Aku merasa menjadi manusia yang jauh lebih empaty dengan orang lain dan sekeliling karena kelahiran bayi pertamaku. Aku merasa bisa melihat seorang tukang becak adalah sama dengan bapak menteri yang muncul di tivi. Aku seolah merasakan luka dan kesedihan para ibu yang kehilangan anak-nanknya, sekarang aku menjadi manusia cengeng yang berperasaan.

Aku mendadak mengerti perasaan bapak ku 100%, aku mulai merasakan ketakutan orang tua, kekhawatiran yang sering kali kurang beralasan. Aku mulai menata pikiran dan hidup untuk menjadi model yang baik bagi bayiku.. Aku mencintai hidup, karena bayiku memberikan sejuta alasan untuk menikmati hidup…

Batak (bagian II)

Tahun-tahun yang aku lalui dengan sikap bapak yang kasar meninggalkan lubang luka yang dalam dan perih. Makanya laki-laki Batak sejak dulu tidak masuk dalam category typeku. Walaupun sejak kecil sudah merantau ke Jakarta, kedua orang tuaku tetap membiasakan bahasa Batak sebagai bahasa sehari-hari kami. Orangtua-ku pada dasarnya termasuk orang Batak yang tidak terlalu ribet, mereka tidak pernah secara khusus memaksa kami anak-anaknya untuk mendalami segala peradatan dan kebiasaan Batak. 

Aku sejak dulu tidak terlalu biasa  bergaul dengan halak kita. Karena sampai kami SMA pun semua kegiatan yang berhubungan dengan tradisi Batak masih 101% diwakili oleh bapak dan mama. Aku baru pertamakali menginjakan kaki diacara peradatan pernikahan adalah bulan Maret tahun 2009 pada pernikahan anak namboru dari pihak suami.

Kemudian aku juga sadar kalau akhirnya aku berjodoh dengan orang Batak pasti karena kualat, selain jodoh lah pastinya. Karena dari dulu, aku bukan cuma anti tapi mengamit-amit khan kalau ada pria Batak mendekati aku... Tapi bagaimanapun juga pada dasarnya aku adalah manusia yang sangat-sangat realistic. Apa saja bisa terjadi apalagi semakin ditentang.


Maka dimasa mudaku, aku menawar pada Tuhan, “Tuhan, kalaupun harus jodoh ku orang Batak, tolong Tuhan kasih marganya yang bagus”. Dan Siregar adalah daftar pertamaku, kemudian Panjaitan, Sirait dan aku tidak banyak menyebut lagi. Karena memang tidak terlalu banyak yang bagus, pikirku.


Tapi beberapa yang “kalau bisa jangan Tuhan”, doa ku waktu itu. Ini juga tidak banyak. Tapi ada Rajagukguk, Siringo-rongo, Simamora dan aku lupa yang lain tapi 2 list  pertama ini paling aku ingat, hahaha... (mohon maaf dan lahir bathin yaa,  Saudaraku…:p)

Suamiku kelahiran kota Jakarta (RS. Persahabatan pula). Tapi logatnya –menurut aku-, terbaca kalu dia orang Batak. Tapi bahasa Bataknya parah, tarombo-nya pun kacau. Lagu Batak tak tau 1 pun, tak hobby bercatur, tidak pula suka menongrong sambil mengupi-ngupi. Sempat pada satu kali aku kesal dengan gayanya ini. "Orang Batak kok gak gaul", pikirku

Tapi banyak sekali nilai-nilai keBatakan yang justru kudapat dari suamiku. Dalam segala ketidak-tauannya mengenai tradisi dan partoromboan. Dia menanamkan nilai-nilai luhur Batak yang sejatinya ada pada orang Batak pada dirinya sendiri. Hormatnya pada orangtuaku tanpa kemunafikan, kasihnya pada semua saudara-saudara baik dari pihak aku maupun pihak dia sendiri. Caranya menyikapi suatu nilai etika, masih ‘sangat Batak’. Bahkan cara dia menjaga kehormatan aku sebagai istrinya, sangat konservatif. 

Mungkin nilai ke-Batakanya yang agak berbeda adalah “tunggal boru ki do hamoraun di au”. Kalau orang Batak umumnya mengatakan "anak sebagai harta", maka suamiku akan bilang kalau ISTRI-lah harta yang harus dijaga.


Karena prinsip dia adalah: ISTRI ADALAH TEMAN SAMPAI TUA DAN MATI, MAKA TANAM CINTA DAN SAYANG SEJAK MUDA, AGAR PERJALANAN MENUJU TUA SEMAKIN SALING MENCINTAI. Sedangkan anak hanyalah titipan Tuhan yang kelak akan mencari jalan nasibnya sendiri. Kita hanya perlu menanamkan nilai penghormatan kepada anak, maka dari penghormatan itu akan muncul kasih yang penuh hormat.

Sering kami membahas bagaimana bangganya dia menjadi halak hita. Karena menurut dia, kitalah bangso Batak yang menitis dari suku Israel yang terhilang. Segala kecerdasan, segala kesombongan dan segala berkat ada di orang Batak. Awalnya aku merasa bodoh dengan kisah-kisah ke-Batakanya. La wong ngomong Batak aja ga bisa, denger lagu Batak gak suka... ini khan aneh namanya.


Tapi yang membuat bulu kuduk ku merinding adalah, waktu dia bilang, “aku berharap kelak anak-anak ku berjodoh dengan orang Batak”... Aje gile, kataku dalam hati. Abad 21 getho loh. Karena mimpiku adalah anak-anakku berjodoh dengan Bule, hehehe… Perbaikan keturunan?? Sama sekali bukan, toh turunanku gak jelek-jelek amat :p. Pemikiran dangkal-ku hanya supaya anak-anakku punya kesempatan lebih besar untuk merasakan hidup di negeri orang. Shalow khan!!!

Caranya menyikapi setiap episode pada sebuah pesta atau acara adat. Seolah dia mengerti dan kemudian akan berkomentar, “hebat ya orang Batak, bisa-bisanya ide ini ide itu, model ini model itu, begini caranya, begitu lakonnya… de el es be...”. Pada pokok-nya, ada saja analogy yang dia buat dalam setiap gerakan adat ke-Batak-an. Dan jujur, banyak yang kemudian aku pikir-pikir  “bener juga nich”

Suamiku akhirnya menyadarkan aku, betapa seharusnya  aku bangga menjadi orang Batak, betapa aku diberkati menjadi orang Batak. Betapa memang seharusnya, –meminjam istilah film George of the Junge- bintik hidup dengan bintik, belang hidup dengan belang dan totol hidup dengan totol. Atau pernah pada  episode Ricky Lake Show ada ucapan: “dog live with dog, pig eat with pig”, karena suaminya berselingkuh dengan sahabatnya. 

Dan kalau kemudian aku merasa semakin menjadi manusia yang lebih baik dari pada dulu,  adalah karena aku hidup dan menikah dengan kelompok-ku. Suamiku memaknai pernikahan kami dengan cara “boru ni Raja”. Maka dia menghargai nilai pernikahan kami sebagai suatu yang absolute. Dengan segala kerasnya karakteristik ku, serta rasa takutnya akan Tuhan, suamiku terus membimbingku dalam pengertian bahwa menikahi ‘putri raja’ adalah juga memperlakukanya seperti puteri raja.

Suamiku memberikan aku pengertian baru, bahwa 'nilai-nilai' Batak adalah aku adalah dia secara pribadi. Bukan masalah karakter semata. Maka ketika aku menjadi jawara bicara, itu bukan sekedar karena aku mempelajarinya, tapi karena ada darah Batak yang melekat. Pun segala kecintaanku pada keluarga, (yang sering ku sesali sendiri) tapi karena memang orang Batak dikenal sebagai suku yang paling familier dan mengikat tali silsilah dan silaturahmi paling kuat.

Sekarang diusia yang semakin matang adalah kebanggan bagiku jika orang mengenalku sebagai Mawar Sinaga (karna KTP ku tidak menyebut marga). Karena aku suka dikenali sebagai orang ‘berkarakter’, dan kebanyakan orang Batak dikenali karena karakternya yang kuat. Meskipun tidak jarang arahnya tidak melulu positif. Tapi buat ku, menjadi orang Batak yang baik atau buruk bukanlah karena ‘Batak’ nya, tapi lebih karena kepribadiannya.


Maka semakin aku mengerti, aku akan menggolongkan diriku sebagai orang Batak yang baik, orang berkarakter yang lembut. Ini masih perjuangan, hehehe. Dan pada akhirnya aku hendak memaknai ke Batakanku sebagai sebuah anugrah.

Yang semuanya adalah buah perjalanku dengan suamiku, Monang Siregar.  


Batak (bagian I)

Lahir dan besar dari ras Batak adalah yang paling tidak bisa aku ingkari. Walaupun bapak tidak 100% Batak, orang tetap akan mengenal bapak sebagai orang Batak sejati. Kalau mama sudah jelas 100% keturunan dari bangso Batak. Banyak hal yang membuat aku agak alergi dan malu jika disebut orang Batak. Tapi 1 hal yang paling lekat dalam bayanganku adalah ‘keras mengarah ke kasar’.

Setelah menikah, pengalaman dengan orang batak semakin dan semakin mengerikan. Meskipun aku tidak pernah punya perasaan bangga menjadi orang Batak, tapi kapan saja dan dimana saja jika mendapat kenalan orang Batak aku selalu senang. Mungkin ini yang disebut mangkuling do mudar i... mungkin lho. 

Makanya ketika berumah tangga aku sangat senang dengan Opung Hutagalung yang gaek tapi licah. Jadilah dia tempat curhatan segala isi hatiku. Walau punya gaya bicara yang kasar dan srampangan, aku selalu menanggapinya sebagai gaya khas orang Batak. 

Tapi kemudian malapetaka datang, dan inilah awal perang panjang ku dengan orang Batak.

Hari itu putiku berulang tahun ke-1, walau sangat sederhana aku bahagia bisa membagi-bagikan nasi kuning kepada para tetangga dekat. Karena aku menganggap Opung Martha (nama boru panggoaranya) ini sebagai keluarga, entah kenapa aku berfikir, “kok ya gak pantas diantar sepiring aja kerumahnya”. Maka 2 kali kupanggil si Opung untuk masuk kerumah dan makan bersama kami, dan semua ajakan ku ditolak. Dengan polos (apa bodoh) aku berfikir “mungkin dia sudah makan, ya sudahlah”. Selesai lah acara nasi kuning ini.

Kontrakan kami terdiri dari 6 pintu dan 2 kamar mandi. Tapi 1 kamar mandi secara khusus disewa oleh si Opung, dan biasanya tidak jarang aku ‘menumpang’ kalau lagi antri.
Pagi itu aku bangun seperti biasa, tanpa satu firasat apapun. Belum lagi jauh melangkah jelas sekali aku mendengar caci-maki yang mengelegar dari arah belakang. Begitu mudah kukenali, ini suara si Opung. Ada apa gerangan, dengan siapa Opung beramtam?? pikirku.
“Memang anj**, ba**, bangs**, gak tahu diri, bla bla bla…”
“Nih ba** engga tau diri, dasar %^&*()@#!!!”, semprotnya mendadak waktu aku mendekatinya. Lalu keluarlah semua curhatan-curhatan yang pernah aku ceritakan padanya untuk mempermalukan aku. Pagi hari, jam 7 masih jauh lagi.

Lama baru aku kemudian sadar. Opung mengamuk karena aku tidak mengantarkan sepiring nasi kerumahnya. Dengan cepat ku gapai tangannya untuk minta maaf, ditepisnya dengan  kasar dan terus memaki sambil berteriak... Menciptakan tontonan heboh bagi semua tetangga di pagi hari. Ku kejar ke rumahnya, pun balasannya sama ‘makian dan teriakan’.  Semua usahaku ditolak, ditolak!! Itu baru episode pembukaan.

Dimulailah awal hari-hari yang mendebarkan bagiku. Dia akan selalu ada dimana aku berada, hanya untuk sekedar membuat keributan dan mempermalukan aku. Bagian paling aku kesal adalah kamar mandi. Karena, dengan gayaku yang keranjingan dengan kebersihan, aku banyak beraktifitas dengan air.  

Karena kalau kran kamar mandi dia dibuka, kran kami akan mati semua, dikarenakan posisi dia lebih rendah. Jam mencuci pagi jadi neraka pagi. Si nenek Batak ini akan biarkan semua orang beraktifitas, tapi pas giliranku dia akan membuka kran sekedar untuk menyusahkanku. Begitu jam siang, sore bahkan sampai jam malam… Lebih dari 3 tahun aku berkucing-kucing ria dengan nenek gila itu. Semua waktu sudah ku coba sesuaikan. Tapi NOL BESAR!!!

Mulanya aku cukup tau diri dengan kesalahanku dan mencoba mengalah. Berharap si Batak Gila itu akan me-waras. Tapi semakin lama kegilaannya semakin menjadi. Dia akan sengaja menyiram air waktu aku lewat, sekedar menciptakan percikan besar yang menganggu. Membuka kran, menutup jalan ke kamar mandi dengan bak besarnya. Dan lain-lain.

Dia melarang semua orang untuk menggendong anakku, memberi cabe kemulut anakku, (karena anak ku termasuk kesukaan semua orang, jadi hampir sepanjang hari dia banyak diajak anak-anak lainya bermain). Lalu, sekedar berkoar-koar tidak karuan ketika lewat depan rumahku, menuduh apa saja, memprovokasi dan banyak hal jahat dan bodoh lainnya… Hal-hal yang pada akhirnya memancingku untuk membalas. 

5 tahun lamanya, sampai kemudian aku pindah aku berseteru gara-gara sepiring nasi kuning dengan seorang nenek gila. Perempuan, orang batak tua yang usianya waktu itu sudah 60 tahun.

Adalah orang batak baru kenalan kami. Dikenalkan oleh seorang pendeta yang juga dikenalkan oleh teman lain yang Jawa. Karena dia pikir "sama-sama batak, semarga pula". 

Semua mulanya biasa saja… tapi lama kelamaan aku muak dengan gaya bicaranya yang luar biasa sombong. Isinya pun biasa saja baik rumah, pakaian, style-nya... Semuanya tak ada yang terlihat 'hebat'. Tapi elat, late dan teal nya makin jadi, dan makin nampak, amat sangat sekali. Aduh,,, aku yang tidak terbiasa bergaul dengan bualan kelas awan mulai menghindari, lama-lama menjauhi dan kemudian memilih tidak mau bersama lagi. 

Lama-kelamaan berkolaborasi-lah orang baru ini dengan nenek lampir, si Opung Marta Hutagalung. Ini bukan ejekan aku, memang satu kampong kami memanggilnya demikian. Ini bukan tanpa alasan, karena posturnya yang sudah sangat peyot  tapi galak-nya ½ mati.

Ketika akhirnya sadar sama-sama sudah saling tidak menyukai. Gayanya si orang baru pun sama, memprovokasi, menyindir, menganggu dan meracau setiap berpapasan. Dengan 'menggunakan' cerita-cerita yang pernah kami sharing-kan untuk menjatukan dan mempermalukan.

Atau ada batak satu lagi, yang rumahnya agak-agak dibelakang sana. Kyaaaa… siang, malam, pagi, suami istri ini (sering banget) kejar-kejaran berkelahi. Suaminya bandit, sekampung kami juga tau kebiasaan ini. Bahkan pernah seorang PSK mengejarnya sampai masuk kampong kami. Akupun sempat mengalami diintip waktu  mandi... jijayy. *tragedi kamar mandi umum di kontakan petak padat penduduk.

Adalagi kisah Batak yang lain. 1 orang anak lelakinya dikawinkan hansip karena ketangkap mojok dengan janda beda iman dikampung tetangga. Bukannya aku sok tau, tapi memang gosipnya cepat menyebar diperkampungan semi kumuh kami. 1 anak lelaki lainnya, nyaris dikeroyok massa karena menggauli seorang pembantu bodoh (pembantu ini memang rada-rada idiot beneran). Dan 1 anaknya yang lain, kalau tidak keburu diungsikan akan dibakar massa juga, karena mendadak berteriak-teriak ditengah kampung kami “percayalah kepada Tuhan Yesus”… 

Kenapa aku me-list ini juga?? Karena 2 lelaki ini sempat mejadi fans-ku (jiaaaa, hahaha..). Dan kakak perempuannya, yang dulu adalah kawan baik-ku tapi belakangan menjadi musuh (entah apa alasan-nya memusuhi kami dan terus-terus menyindir,, aku tidak pernah paham. karena waktu itu aku pendatang di kampung ini), sempat ada feeling dengan suamiku. look weird?? Hmmm.. jadilah mereka salah satu kelompok ‘tersembunyi’ yang sering memperolok-olok kami.

Dan Batak-batak lain yang kukenal yang ‘kebiasaanya’ bikin aku illfeel jadi orang batak.

Apakah mereka semua memusuhi aku? Tidaklah, bukan begitu adanya. Yang ada ialah si A tidak akur dengan B, si D dengan A, si C dengan B, dst... Nyaris setiap Batak dikampung kami punya 1 musuh batak lainnya. Begitulah kurang lebihnya. Lalu kalimat apa yang tepat aku sematkan? Memalukan!!

Oh ya... si Ibu Manager yang pernah aku tulis di blog bulan April (judul: Ibu Manager). Yang mendadak mengamuk tanpa hujan tanpa badai, namanya adalah Ruthnawati Br. Sagala. What a wonderfull word , bukan world-nya saja yang hebat khan… 

So please understand,,, kalau dalam banyak hal aku agak-agak 'gerah' dengan orang Batak. Karena aku bukanya yang banyak berinteraksi dengan suku-ku ini. Tapi kok banyak sekali ‘kepentok’nya. So wajar dunk merasa sial.. pokonya entah kenapa  kebanyakan masalahku... ya dengan suku-ku ‘tercinta’ ini.

So please please, jangan marah, jangan anggap ini memburukan. Ini hanyalah subjective ku sampai pada suatu masa…

8 Jul 2011

Bad hair day....

Waktu kecil aku dibilang China bukan cuma karena kulitku yang putih, tapi juga rambutku yang lemas, jadi mamaku paling senang kalau aku mau dikuncir.

Katanya tengkuk putih dan rambut jatuh bikin aku terlihat seperti anak orang kaya... Jiaaaah, bahasa jaman dulu tidak jauh dari materialism. Ingat hanya terlihat seperti bukan menjadi lho.. hahaha

Sampai SD ke SMP, aku tidak pernah perduli dengan rambutku. Sadar2 waktu melihat foto NEM SD foto aku terlihat kacau. Dengan rambut macam kucing kesiram air. Lalu selama SMP aku memilih mengikat poni dan rambut kebelakang. That’s it.

Waktu SMA, juga tanpa bermaksud bergaya aku hanya membiarkan rambutku lepas tergerai tanpa model. Sekarang siy disebut bob. Karena rambut pula, aku sempat jadi ikon di masa SMA. Salah potong membuat aku harus totally cepak, dulu GI Jane belum  terkenal so potongan ini membuat aku terlihat preman.

Apa yang menarik dari rambut?? Semakin dewasa rambutku semakin hancur... Kering, patah, rontok, kaku dan derita rambut pada umumnya. Dengan model rambut mengembang seperti ini semakin membuat aku merasa tidak nyaman.

Tapi sekarang bentuk kenyamanan yang ku maksudkan sudah berbeda. Bukan semata-mata karena penyakit rambut diatas.

Berawal dari buku bacaan ku yang berasal dari Pakistan. Budaya disana menuliskan kalau rambut itu lebih seksi dari pada bagian tubuh yang lain. Entah karena latah atau memang aku hanya terinspirasi secara penuh, aku merasa berlebihna jika menggerai rambut di depan umum, apalagi dengan gaya menginas-ngibaskanya.

Jadilah aku hobby mengkonde rambut dengan asal-asalan, dan so far aku merasa cukup nyaman dengan 'gaya' itu. Sampai suatu hari (belum lama ini),  orang HR memanggilku secara khusus untuk menegur soal rambut cepol-ku yang katanya, “kaya orang mau mandi aja”. Sama sekali tidak nampak seperti orang kantoran.

Hahaha... aku siy menaggapinya positip aja.

Hmm,,, iya juga siy pikirku. Pada dasarnya aku pencinta kerapihan, kecantikan dan keindahan. Tapi jujur aku ‘sangat sangat tidak nyaman’ kalau dalam keindahan itu ada konotasi seksi. Dan pengertian aku, rambut mekar begini kalau digerai kelihatan too much..

Maksudnya?? Ya... sekali lagi aku bilang, entah terinsipirasi atau memang I had it mind. Aku merasa tidak nyaman menggerai rambut. Terlihat so seksi.

So, kalaupun sampai terjadi berarti ada kesalahan. Misalnya kehilangan ikat rambut, baru keramas, mau kondangan atau (lagi) event dimana aku merasa ingin cantik. :p

Tapi sekarang, aku memaksa diri untuk terbiasa dengan gerai rambut. Mencoba merasakan lebih ‘perempuan’ sajalah, daripada seksi-nya.

Dan kemudian aku baru sadar, kebiasaan mengkonde ini turun pada putriku. Dan (baru) kusadari lagi... hampir setiap kali melihat dia mengikat rambutnya dengan sembarangan, aku akan berkomentar pedas. Nggg... lupa diri kali ya, hahaha...

So???  Pakistan and Indonesia suppose to be difference… yups!

13-May-2009


13 May 2009, jam pulang kerja sekitar jam 6-7 petang

Sedari tadi Kaleb terus bermain bola didalam rumah mama-ku, kebetulan kami bertetangga. Bukan sekali dua kali kami sudah mengingatkan, tapi dia terus mengabaikan. Bosan menemani aku pulang lalu bersantai dirumah. Masih jelas peringatanku juga mama “awas kena lampu”, dia terus menjawab dengan cepat dan melanjutkan bermain dengan sepupunya Oline.
Belum setengah jam aku beristirahat dirumah, Kaleb kemudian sudah pulang dengan wajah sumringah, merona, bukan takut tapi jelas menyembunyikan sesuatu.

“Diomelin opung khan main dirumah” kataku agak kesal dan membiarkan dia dengan senyum getirnya masuk kekamar. Aku tau Kaleb, dia kalau sudah bermain PANTANG udahan, mesti ada yang salah batinku. Baru akan beranjak kerumah mama, kulihat mama sudah tergopoh-gopoh menuju kerumahku.

“Mana si Kaleb, sudah pecah khan lampu ku” omelnya kepadaku.

Segeralah aku dan suami menuju rumah mama dan memperbaiki lampu yang pecah serta beling yang berantakan, sambil sama-sama mengomel (aku dan mama, hampir seperti dialog sebenarnya karna yang diomelin pun tak ada.. Kyaaa!!)

Segudang kemarahan sepertinya sudah mengintip dibalik mataku yang memerah, walau sebelumnya suamiku sudah berpesan dulu “jangan dimarahin lagi anaknya, kan kita sudah tanggung jawabin ini rumah Inang”.. enak bener ya!! batinku. 

Meski sudah mengangguk-angguk tetep saja tanduk sudah terlanjur keluar. Tak ada mertua pula, maka kemungkinan “kuhajar” Kaleb malam ini sudah 99% hanya 1% mukzizat Tuhan. Sombong dech, iyalah karena kenakalan sampai merusak property adalah category kejahatan bagiku.

Sampai dirumah sepi, didepan tidak ada yang tidur. Jane menunggu dengan diam, aku masuk kamardan kulihat Kaleb sudah tidur. Dasar dasar dasar, batinku terus masih keki. Entah kenapa dan bagaimana tiba-tibamataku tertuju pada kertas lecek yang ada dimeja belajar, posisinya pun tidak strategis tapi kemudian aku tau ‘mukzizat yang 1%’ menggiringku untuk melihatnya.

 
mama abang ngaku abang salah tapi mama tetep sayang abang kan dari kaleb
Maafin abang juga pa abang udah pecahin lampu opung waru (warung maksudnya, karna mama ku punya warung kecil dirumahnya) maafin abang abang engga kasih tau papa abang kaleb minta maap sama papa tapi papa tetep sayang abang dari kaleb
Abang akan pergi kemanasaja untuk melunaskan lampu opung yang pecah maapin juga ya sama jen

Ya Tuhan, dalam hitungan detik airmataku terus beruraian, hilang semua kesombonganku demi membaca tulisan cakar ayam Kaleb diatas kertas lecek itu. Sampai beberapa lama, aku seperti ditelanjangi oleh tulisanya “apakah kesalahan akan melunturkan cintaku padanya”   demikian aku meringkasnya…

Anak 7 yahun yang sombong, Kaleb Siregar. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dia tulis tapi aku membacanya dengan cara yang mengerti. Aku harus tau bahwa dia berusaha menjadi baik tapi usianya memang belum mengajarkanya untuk mengerti sebab dari sebuah akibat.

Sampai hari ini, setiap kali membaca surat itu aku masih menangis…

Just Kaleb, just him

Kaleb adalah pribadi yang unik. Dari sejak kelahiranya, masa bayinya, masa balitanya bahkan sampai masa kanak-kanaknya. 

Bagaimana bisa?  yach, ada yang bilang semua anak-anak adalah sama. Tapi my boy satu ini totally diference. Boleh percaya boleh tidak dari sejak lahir anak ini sudah punya karakter sendiri. For better or worse, walau tidak jarang aku lebih banyak kesalnya. Aku tau Kaleb punya karakter yang kuat. 

Aku orang yang sering kali menomor satukan pekerjaan rumah tangga dari pada mengurus anak. (lebih ke PRT dari pada baby sitter, istilahnya mungkin! Hahaha..). 

Sering karena tanggung dengan pekerjaan aku menahan diri sebentar dan sebentar lagi untuk menyusui Kaleb. Dengan tega aku biarkan dia menangis sebentar. (pikirku; biar cape sekalian nanti setelah disusui langsung tidur dech..) Kemudian karena tangisnya mulai mengencang dengan terpaksa aku mengangkat badan dari pekerjaan dan menyusuinya. Tapi –ini bukan sekali dua kali kejadian- bayiku tidak pernah benar-benar menyusu. Yang ada kemudian, dia akan tidur bahkan posisiku belum tepat disampingnya. Kebetulankah?? Aku bilang dia marah karena dicuekin kelamaan. 

Umur 3 bulan Kaleb baru mengankat kepala dengan tegap. Tengkurap usia 5 bulan dan duduk 7 bulan. Cukup lambat –menurutku-, kalau dibandingkan dengan kakanya yang sejak umur seminggu sudah rajin ‘angkat kepala’, dan duduk sejak umur 4 bulan (5 bulan lewat sedikit aku sudah berani menaruhnya di baby walker). 

Tapi dalam segala kelambatanya, pilihanya jelas. Dia tidak suka diperlakukan seperti bayi. Umur 7 bulan karpet dan diapers jadi musuh utamanya (rusuhlah kami kalau akan bepergian). Sejak usia 9 bulan dia ogah dengan celana kolor bayi –yg seperti kacamata itu-. Tidurnya –kata suamiku- pesis aku, tak tarbangunkan, hehehe... Tapi coba waktu ngompol malam pakaikan dia dengan celana bayi atau lapisi karpet/lampin dibawahnya... hmmm. Sontak sedetik kemudian dia akan bangun sambil meraung. Huh,, benar-benar menyebalkan.

Dari kecil kami sudah mengajarinya memangil ‘kakak’ pada si sulung. Tapi entah dapat pencerahan dari mana Kaleb seperti mengerti kalau ada ‘derajat’ dikalimat kakak itu. Dia ogah berat dengan panggilan kakak. Jadilah sampai hari ini dia memangil si sister hanya dengan Enjen. 

Papa-nya berkulit sawo matang nyaris hitam, hehehe :p. Maka dia paling marah kalau dicium sang papa. Terlihat kotor menurut Kaleb. Biasanya si papa Cuma dipantasi 5 menit saja setelah mandi, sesudahnya Kaleb akan mengamuk jika si papa memaksa mencium.

Hampir umur 2 tahun dia baru bisa bilang ama (untuk mama) dan papa. Tapi tidak serta merta dia mau memangil sang papa dengan ‘papa’. Dimulai dengan kebiasaan mertuaku dan tetangga memangil nama suami. Lama Kaleb ikutan memanggil sang papa dengan kata ‘Monang’. Bukanya tidak diajari, tapi pokoknya aku 'merasa' Kaleb memang punya gayanya sendiri. 

Adalah tetanggaku yg sering menggoda dengan memanggil suamiku "papa aku", karena tidak mau sama dengan orang lain Kaleb akan berteriak “Monang aku”. Kemudian tetangga ini terus menggodanya dengan panggilan "oh Monang aku". Dan terus dan terus, sampai Kaleb kesal. Seperti biasanya, karena tidak mau sama dengan orang lain Kaleb menjawab "papa aku". Demikianlah, sampai hari ini Kaleb memangil si papa dengan "papa".
Kaleb kecil begitu lembut, cenderung cengeng menurut aku. Dia tidak akan memanjat pagar, naik pohon atau naik kuda-kudaan dengan ayunan yang kencang. Dia selalu menjadi bulan-bulanan kawan sepermainannya, bahkan sepupunya. 

Tapi dia pintar berkomentar. Seperti, suatu hari bapak ku datang dengan cerita, “malu awak sama si Kaleb, masa katanya Opung kok gak pernah beliin mainan sih? terpaksalah aku beli ini...”. Lalu bapak memeperlihatkan tembak-tembakan dengan bunyi ‘fire fire fire’. Dan ini bukan komen 'sok' nya yang pertama kali.

Sampai hari akan masuk TK, Kaleb bahkan tidak bisa berhitung. Bahkan mertuaku sempat komentar, "bagaimanalah gurunya ngajarin dia, sombongnya begini".

 Oh ya... Kaleb itu hampir 80% pegangan mertuaku. Karena aku sudah mulai bekerja sejak dia berumur 2 tahun. Makanya karakternya agak manja. Kaleb pantang diajarin. Apalagi oleh si papa, karena si papa ini terlalu suka cercanda konyol dan membuat bersuara-suara bodoh. Makanya menurut Kaleb, "papa tidak akan mengerti". 

Sepulang dari sekolah hari pertama. Dengan suara lantang dia mengucapkan salam “SHALOOOMMM” dengan suara yang mengelegar. Dan ini kemudian jadi kebiasaanya yang men-trade mark. Karena kalimat shalom itu sudah dia ucapkan dari jarak masih 8M-an dari rumah kami, hahaha...

Sambil melempar tas, Kaleb langsung bercerita, “Pa, abang bisa ngitung”. Lalu berhitunglah dia dari 1 sampai 10, lalu 15. Small things actually, tapi aku menganggap ini sebagai karakter Kaleb. Sebenenarnya dia sudah mengerti, tapi dia tidak suka di tes dia tidak mau dicobai hanya untuk menakar kebisaannya. 

Begitu juga waktu diajari ayat hapalan untuk natal. Dia mendengarkan dengan malas-malasan,  berkesan meremehkan. Akan tapi ternyata waktu tampil dipanggung, kami semua terkejut. Dia tampil paling lantang, paling PD dan paling sempurna. Hah!!
         
       Ya, sampai hari ini kami memanggilnya abang Kaleb, bahkan sebelum dia punya adik. Berawal dari godaan-godaan tetangga. yang entah bagaimana awalnya jadilah aku ikutan memanggilnya abang. 

Begitu mudah membuat dia marah, panggil dia ‘adik’, goda denga kata ‘ngompol’, suruh dicium papa, tawarkan makan, ancam dengan diapers, tawarkan celana kolor bayi, lihat si papa memeluk aku, lihat aku mencium si kakak, pakaikan pakaian tidak sesuai seleranya,,, semuaaaa akan membuatnya marah dan kesal.

Satu kesalahan diawal paginya, akan menjadi whole bad day buat Kaleb. Tapi dialah pria sejati. Kaleb sangat sayang keluarga, walau berkesan sombong dia tau memaknai keluarga bahkan saudara. 

Dia tau menilai kehidupan disekelilingnya yang tentunya dengan cara dia sendiri. Cara yang menurut aku “just Kaleb character”.