21 Apr 2011

Ibu Manager

Bulan Oktober 2007, hari  Jum’at jam 12 kurang.
Gue malas aja turun untuk  makan siang. Jadi setelah ngambil jatah makanan, gue duduk lagi dibangku kerja. Ruang kantor kita engga ada sekat apa-apa, hanya lemari file setinggi 120cm yang memisahkan bagian gue sama bagian Keuangan. 

Samar-samar gue denger orang disebelah sana lagi ngegosip, padahal sih manager lho! Tapi menurut gue, wajar-wajar aja. Sadar diri, gue juga 'penyuka' gosip, hehehe... Tapi lama-lama cerita gosip itu makin panas. Baik bahasannya, baik juga yang ngomongin, dan juga gue. Nah lho,,, Jantung gue mulai dag dig dug. Ada namaku disebut, begitu kata lagu.

Bulan 5 yang lalu, gue pindah rumah. Sekalian  aja gue dan suami setuju buat mindahin sekolah si kakak. Secara gaji gue ‘gede’ banget, tidak cukuplah uang gaji gue menutupi kepindahan rumah plus pindah sekolah. 

Khan di kantor ada yang namanya loan, waktu gue mengajukan siy memang ini pinjaman kantor (pokonya diatas kertas bilang gitu). Tapi karena si ibu Manager ribet dengan system potong gaji yang emang gak seberapa, dan harus berhubungan dengan pihak manajemen. Maka dipembayaran ke-2 dia bikin deal sama gue, “anggap aja kamu minjem sama aku, jadi gaji kamu saya bayar penuh, terus kamu  cicil ke aku aja.”  

Jadilah pinjamam 2jt itu gue cicil ke ibu manager 3x lagi. Done pada waktunya. Gue bukan tipe yang suka menunda hutang. Bahkan kalau ngomong ideal, gue benci berhutang!. “Biar susah gak papa, asal hidup gak ada hutang”, begitu nyokab gue selalu mengajarkan.  

“Dia!! kalo bukan gara-gara gua sudah mampus mereka sekeluarga”.
 “Kalau bukan tangan gua yang ngasih dia duit, dikolong jembatan tuh anjing tinggal”.
“Dasar engga tau diri, engga tau terimaksih. Orang miskin, sombong”.
“Najis gua sama dia, orang kampungan engga berpendidikan”.
“dan bla..bla..bla..”. Yang intinya hinaan dan makian dengan kosa kata lainya.

Sudah beberapa minggu ini, gue lagi keranjingan acaranya Mario Teguh di O Channel. Waktu itu acaranya belum tenar banget, so I like it so much! Banyak kali gue merasa tercerahkan. Nah... Kamis malam Jumat beberapa waktu yang lalu, ada kalimat dia yang gue pegang banget. 

“Segala sesuatu yang tiddak meninggikan, membesarkan dan membangun. Just ignore”.
“Orang tidak suka dengan orang yang bebeda, semua orang berharap orang lain sama dengan dirinya, ketika dia sadari orang lain itu berbeda, dia akan terusik”.
Gue bagilah kalimat ini dengan suami. Dan kemudian dia nasihatin gue, “nah kamu sampai kapan masih akan selalu terpengaruh sama omongan orang? Kamu sadar khan kalu kamu tuh beda?... Inget, umur 20-30tahun adalah masa perubahan karakter, 40an mengejar karir dan 50an menikmati hasil”. 

Sejak pertama menikah, suami gue sudah pernah 'bagi' pemikiran ini ke gue, but I just ignore karena gue merasa ‘baik-baik’ saja. Tapi malam itu I take it so positive.
“Kamu jangan cuma senang dengan kata-kata seperti itu, jadikah rhema dihati. Ubahlah karaktermu, sebentar lagi kamu akan 30tahun. Kalau kamu gak berubah sekarang, kamu gak akan pernah berubah lagi”, begitu lagi kata suami. 

Masih hari  Jum’at jam 12-an lewat.
Dugaan gue bener, kalimat itu ditujuakan ibu Manager Keuangan buat gue. Dan sumpah mati sampai beberapa hari kemudian, GUE TIDAK TAU APA ALASAN-NYA. Anehnya, gue cuma deg-deg-an saat memastikan kalu mereka emang lagi ngomongin gue. Setelah yakin, gue biasa aja. Gak takut, gak perduli, gak terusik sama-sekali. 

Sampai jam istirahat selesai. Bahkan sampai jam 5 sore. Ibu Manager ini masih terus menerus memaki dengan sindirannya. Dari nama binatang, segala kemiskinan, segala kekayaan disebutnyalah dengan vulgar. 

“Gua nih anak orang kaya tapi gak sombong”, padahal setahu gue sih dia berasal dari kampong juga. “Emang orang, anak melarat aja sombong, angkuh, penjilat, ular...”. Semakin gue diam, kayanya dia tambah keki. Apalagi pas mau berpapasan (ditoilet, pantry, pintu atau tangga), gue langsung berbalik arah. Makanya dia tambah emosi dan terus (gaya) meludah dan memaki... cuah cuih la pokoknya.

You know what the most great??... Satu kantor diam! Bisu! Ketakutan! Menonton tanpa bereaksi. Hampir 15 orang diruang atas dan ada manager HRD. Bahkan sesama staf, teman-temen gue biasa makan bareng, tidak ada yang berani menegor gue. Bahkan... bahkan kemudian rekan se-department gue, sepanjang ibu Manager masih bekerja, TIDAK pernah sekali pun menegur gue.  

I’ve been totally ignore!!! So, demi kenyamana pribadi, gue pulang naik bus walaupun ada jemputan. Pulangnya, gue SANGAT beryukur sama Tuhan. Gue merasa luar biasa atas apa yang terjadi sama gue sepanjang hari itu. No ill feel at all...

Tapi jujur, ketika hari minggu gue mulai takut. Gue engga yakin, apakah akan bisa tenang lagi besok. Gila man!! Mawar githu lho, jangankan dihina kaya gitu. Ditegor agak gak soapn aja gue gak suka. Lupa diajak temen, gue bisa senewen mampus. Tapi ini, dicuekin TOTAL oleh semua semua teman dan dimaki-maki oleh seorang Manager Keuangan.
 
Kemudian... Sempat muterlah ide-ide konyol diotak gue. Ibu itu khan penyakitan, gue dorong sedikit aja dari tangga bisa guling, atau gue gampar aja trus habis perkara. Atau mobil barunya gue tusuk ban-nya, atau gue lempar aja computer ke kemukanya? palingan PHK... Tapi, tapi gue butuh pekerjaan banget, karena suami gue masih jobless. Tapi harga diri gue, tapi… semua muter liar dikepala gue.

Tibalah hari Senin. Kali ini si Ibu melakukan manuver lain. Dipanggilnya-lah tiap-tiap orang dari semua departemen yang ada untuk ‘dicuci otak’. Bagaimana gue tau? ya iya lah... dengan setengah teriak dan gayanya yang angkuh dia terus meracau, “akan gua hancurkan ya, dikira gua gak bisa bikin orang angkat kaki dari sini, lihat aja nanti. Pak lu tunggu  instruksi gua ya”. Katanya dengan semangat  sama manager HRD, dijawab dengan senyum gak jelas oleh si bapak.

Semua karyawan di interview (atau dicekok-in) diruang meeting, tanpa kecuali. Malah orang HRD dipanggil berkali-kali. Hebatnya lagi,,, tak ada satupun teman yang mau berbagi. I am forgotten at all... Just like last friday.

Cerita ini akhirnya berakhir, walapun gue gak bisa bilang bahagia. Paling tidak, akhirnya gue bisa mengambil hikmah besar. Sebuah pelajaran berharga dan mungkin akan gue kenang sepanjang hidup. 

Dimaki, dicaci, diabaikan, ditolak, ditelikung tanpa alasan yang gak jelas. Dan gue bisa diam.

 Ternyata,,,
Orang bisa gila tanpa perlu alasan. Ada orang yang mengaku  ‘besar’, tapi bisa takut sama orang yang dianggap ‘kecil’.  Untuk alasan yang juga engga jelas.


Keterdesakan bisa membuat kita tambah kuat, berjaya dan mandiri. Namun  satu hal yang paling gue ambil ilmunya adalah: gue akan lebih menghormati teman. Gue akan lebih menghargai orang lain. Gue engga akan pernah melupakan teman.


Karena jujur, bagaimanapun gue merasa sakit hati sekali. Gue teluka-hati dalam karena diabaikan teman dikala susah waktu itu. Gue merasa dibuang, dihempas dan dilempar kesampah hari itu. Lalu... kemudian gue berikrar sama diri sendiri... gue akan selalu berusaha ada saat siapun lagi susah, selama gue bisa. Tidak akan meninggalkan orang yang sedang sekarat. Semoga...


Perempuan oh Perempuan...

Sering kali aku merasa kurang cerdas atau mungkin bahasa ‘kurang adil’ lebih  tepat, dalam menilai kaum ku, perempuan. So many times atau kalau bisa menyamaratakan-nya, kebanyakan kami ini jalan ditempat walaupun kami sudah menyuarakan langkah ke-3. 

Kenapa, karena dari banyak pengalaman aku dengan perempuan-perempuan disekitarku, mereka bahkan tidak tau cara menghargai diri sendiri. Kalimat aku ini bisa diartikan dualisme sebenarnya, tapi sebagai perempuan seringkali aku merasa  gerah dengan cara perempuan itu sendiri menempatkan dirinya.
Salah satu contoh yang ter dan paling simple adalah di toilet. Aku masih suka bingung dengan para perempuan yang ‘malu’ dengan desis suara pipisnya sendiri. Banyak dari teman-teman yang aku kenal akan mengeluarkan bunyi-bunyi lain untuk ‘menyamarkan’ suara  BAK-nya. Ada yang mem-flush berkali-kali, membuang air semprot-an dengan posisi tinggi bahkan ada yang berklining-klining berisik dengan tempat tissue roll. 

Buat aku ini kekonyolan kecil tapi tetap aja konyol. It’s our nature, nothing wrong with that! Mari coba bandingkan dengan para lelaki yang sesukanya bisa buang air kecil disegala pojok. Apa ada yang komentar, apa ada yang menyindir?? Mereka engga akan perduli. Aku tidak membahas ini dalam kapasitas alat reproduksi laki-laki dan perempuan, tapi bagaimana kita perempuan tidak memposisikan diri 'normal' walaupun ‘suara pipisnya berisik’.

Adalagi kebiasaan perempuan yang suka ’martir’ atas nama keluarga. Banyak perempuan, khususnya ibu-ibu yang sering kali kurang menikmati hidup, karena alasan yang  klise. Misalnya, banyak ibu-ibu yang merasa jalan-jalan ke mall, atau nonton bioskop sebagai hal yang 'luar biasa’ dan mendekati pantang.  Tapi waktu suaminya nonton dangdutan sambil saweran ini dianggap ‘biasa’.

Aku merasa, seharusnya perempuan BENAR-BENAR menempatkan dirinya sejajar dengan lelaki-‘nya’. Aku secara pribadi menegaskan ‘nya’ ini sebagai kata milik, entah suami, pacar, rekan sekerja, pokoknya 'nya' dimana kita selayaknya mempunyai ‘hak dan tanggung jawab’ yang sama.  
Ayolah para perempuan… menyisihkan  uang belanja untuk membeli tas bukan dosa, nonton bioskop dan menitipkan anak pada mertua juga bukan perkara jahat. Mari sedikit menikmati hidup dengan cara yang sederhana. Mari tetap tampil menarik dan cantik, walapun kita melahirkan dengan cara normal, walaupun gelambir sudah kentara dikulit. Jangan lagi pula ditutupi dengan daster kumal. Sedikit berteman dengan teknologi juga bukan sok-sok-an. Begitu memang kita seharusnya.
Ada pula hal lain yang sering membuat aku tidak kalah sedih melihat para perempuan. Korban iklan! Menurut pengalaman saya, perempuan lebih banyak dijajah oleh dunia komersialisasi. Fenomena  sesar, putih itu cantik, mahal itu sempurna, slim is cool, kaya itu bahagia… fuih. 

Yeah, buat sebagain kalangan mungkin ini lumrah. Tapi untuk perempuan-perempuan sekelas aku. Ini bisa jadi masalah, ini penyakit.  Dan ini banyak sekali  aku temui disekitar ku.
Para perempuan memaksa putih dengan krim pemutih murahan yang entah apa efeknya besok. Cara melahirkan sesar sudah menjadi trend karena mahal (padahal itu juga dibayarin asuransi kantor), dan alasan estetika semata. Paling tidak ada kebanggan mengucapkan “melahirkan sampai 15jt” atau “supaya suami lengket”… Kok mau dihargai cuma selebar 'jalan lahir' dan 'seputih' wajah?.
 
Hilang sudah norma kesusilaan. Karena alasan ingin kaya, ibu dan anak gadis saling mendukung dalam 'kehebatan matrealisme', demi lelaki kaya. Maka soal cinta, iman dan karakter jadi nomor kesekian.
Aku secara pribadi tidak anti dengan semuanya itu. Aku juga berharap anak gadisku akan tumbuh cantik nantinya, kalau bisa dapat orang kaya dapat pekrjaan yang bagus dengan jaminan asuransi kesehatan yang terbaik. Tapi harapanku, semua terjadi dengan apa adanya bukan karena aku “mempermak” atau mendoktrinya untuk menjadi seperti itu.
Ditempat yang ‘biasa’ aku lihat. Para perempuan ini ingin dicintai tapi kemudian focus hanya pada fisik (mari endapkan dulu soal inner beauty..). Diet mati-matian kemudian merasa cantik, padahal kalau kita jujur ternyata tidak semua orang cocok dengan tubuh kurus. Mengoles krim pemutih, putihlah wajahnya tapi lehernya tetap sama… khan maksa ini namanya. Apa yakin setelah semua “perjuangan” ini suami-suami akan tetap setia??
Banyak perempuan yang Ingin diperhatikan laki-laki tapi tidak mau bertanya, ingin diakui tapi diam, ingin sesuatau tapi diam, diam dan diam tapi jadi pendengar dan mau melaksanakan dengan patuh tanpa bertanya  semua ‘harapan’ si laki-laki.
Buat aku, perempuan itu seharusnya bersuara. Berkata-kata dengan lelaki-‘nya’, bersikap atas setiap kejadian yang terjadi, berdiri diatas kaki sendiri, berpijak karena keyakinan sendiri. BERINTERAKSI DAN MENGATUR RUMAHNYA.
Perempuan.. menjadi cantik bukan dengan  ‘memaksakan’ diri tapi menikmati hidup. Perempuan adalah penolong bagi laki-laki, seharusnya perempuanlah yang lebih kuat. Jangan mau dijajah oleh modernitas yang cuma memaksa kita dinikmati 'luar'nya oleh dunia. 

Padahal jauh sebelum tuntutan dunia metropolis ada perempuan memang sudah cantik. Kesuksesan seorang pria, dilahirkan oleh seorang wanita. Jadi jangan terbodohi oleh  anti-emansipasi yang terselubung dalam 'kepatuhan' sebagai perempuan.  

Mintalah dicintai laki-laki karena kita perempuan, karena kita memang layak dicintai, karena kita punya nilai. Bukan karena perangkat topeng  kita yang bernilai.
Kesempurnaan seorang wanita adalah
ketika dia dicintai apa adanya dengan sepenuh hati!!!

20 Apr 2011

Gossip or Pet??


Gosip = Jahat.
Menurut gue engga juga..  ya mungkin karena gue punya hobby ngemeng. Dimana engga jarang kalau kita kebanyakan ngemeng ujung-ujungnya ke gossip. Hehehe. .

Kadang kita perlu gossip juga lho, menurut gue! Karena dari gosiplah kita tau perkembangan orang lain... Nah masalahnya, perkembanganya bagus atau buruk yang itu sih relative sama orangnya. Kalau gue pribadi adalah tipe yang ngomongin apa aja, baik yang baik ataupun jelek.. So kalu emang bagus, gue gak tutup mata lah. Walaupun soal iklas atau engga-nya, biar itu jadi ‘urusan gue sama Tuhan’ (standard khan?? Hihihi). Dan kalu emang jelek.. ya yang jeleklah yang gue omongin. Tapi satu hal yang gue pegang, gue berusaha untuk tidak hanyut sama alur 'ngomongin' orang itu.

Maksudnya??...
Buat gue teman is lasting. Tapi kalu ada teman gue yang pelit ya gue omongin lah kepelitannya, secara disindir baik-baik engga kena. Tapi itu tidak membuat gue jadi menjauhi dia apalagi benci sama dia. Gue mengartikan ini ‘menerima’, tapi gue tidak berusah tutup mata kalau dia itu pelit. And that’s a disease...  I just don’t like stingy person la..atau adakah yang suka?? That’s all, itu buat gue lho.

Atau, ada temen gue yang pernah bercerita. Bahwa she ever ML dengan few person (catet: dia wanita baik-baik lho????). Apa lantas gue melabeli dia ‘pelacur’, engga tuch!!  Cuma disisi kehidupan yang lain gue suka aja membahas "bagaimana bisa seorang perempuan 'baik-baik' bercinta tidak hanya dengan suaminya". Gue masih berteman sama dia, gaul bareng and I love her, we are best friend... Dan gue gak pernah pengen nyebut namanya.

Munafik?? hmm...
Tergantung bagaimana orang menyikapinya aja menurut gue. Karena gue tipikal orang yang paling suka ada waktu teman susah... Gue pengen ada disetiap bagian teman, and I am a jealous guy. I really love all my friend. Sering kita debat, tapi gue tau kalau gue sayang sama semua teman-teman gue. Kalu gue sangat ingin semua ‘baik-baik’ saja... tanpa harus 'maksa' nrimo.

Jahat menurut gue adalah 
  • Melepaskan  binatang peliharaan lu berkeliaran, sementara orang banyak pada ketakutan. 
  • Mebiarkan anjing lu pup depan rumah orang, dan kemudian komentar “namanya juga anjing.” Trus   yang miara?? Orang apa bukan?..
  • Pakai alasan “cuma anak-anak” untuk membenarkan tindakan kriminalitas anak terhadap anak lainnya.
  • Gak mau bayar utang, padahal yang diutangin juga orang susah.
  • Menghina/merugikan orang lain dalam kapasitas agama, suku, ras, gender bahkan fisik.
  • Mengkotak-kotak, hidup berkelompok, pilih kasih, pandang bulu dan sejenisnya
  • Selalu laper mata sama milik orang lain
  • Dan kejahatan lain yang tertulis di UU dan bible, hehehe..

So kalau karena “ngomongin” orang sampai dilaporkan sebagai kejahatan.. gue akan perlu mouth sealed nich kayanya… hahaha.

Important… Keep your pet from annoying others!!!

Give Thanks

Pengertian mengucap syukur buat gue adalah, perjalanan mundur.  Refleksi hidup karena sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi. Dimasa kejatuhan iman gue sebagai manusia ber-Tuhan, berkenalan lah gue dengan seorang pendeta ‘aneh’, ya ya.. Gue lebih suka memakai istilah itu, karena emang menurut gue dia aneh. Seorang pendeta dengan gaya bicara sok pinter tapi gaul, kaya orang slank. Penampilanya pun tidak seperti pendeta, lebih mirip supir. Tapi akhirnya gue menyadari kalau dia pendeta sejati, karena sekasar apapun gue berargument dia tetap akan melayani gue.
Satu pelajaran yang sangat gue inget dari beliau, disaat keuangan gue sedang NOL BESAR. Dan gue berdua masih jobless adalah : Bersyukur saja

Ya iya lah, lu engga nganggur bantah gue waktu itu (dalam hati sih), gue cuma  mencibir aja.  “Lihat anak-anak kamu sehat, suami kamu baik dan kamu sehat. Apa bedanya seribu dan sejuta?? Cuma cara kamu memaknainya. Khan Rasul Paulus bilang, aku tau apa artinya berkelimpahan dan apa artinya berkekurangan”
Puiih, jijay bajay gue dengernya waktu itu. Pengen emosi tapi kok ya engga pantes sama pendeta. Aduh,,, ini sih nasihat klasik untuk orang miskin batin gue. Meski pada akhirnya dia jugalah orang yang memperkenalkan gue pada dunia kerja, dengan pelayanannya dia ‘menitipkan’ gue pada salah satu jemaatnya yang pengusaha.
Bertahun-tahun kemudian, kalimat itu jadi rhema dihati gue. Gue coba bandingkan anak lelaki gue yang 3 tahun, yang menurut gue super cengeng dengan anak tetangga.. OMG, anak gue gak pernah teriak, memaksa apalagi sampai guling-gilingan untuk minta sesuatu. Dia juga engga pernah minta gendong, engga jorok seperti kebanyakan anak seumurnya, pun dia tidak meminta sesuatu dengan merengek.
Lalu anak perempuan gue, yang engga pernah malu-maluin. Anak-anak gue memang engga gue biasakan untuk meminta/minjam milik orang lain. Ajaran gue: kalau kamu mau seperti milik orang lain, pulang dan bilang sama mama. Boleh atau tidak itu nanti, tapi minta dirumah!!. 

Ke-2 anak gue tidak pernah ditegor tetangga karena alasan mengambil mainan, merampas, memukul, iseng (paling tidak sampai anak cowok gue SD kelas 2). Anak gue hospitally, apalagi yang pertama.. she’s belong to the neighborhood. Bahkan kita sekeluargaa dikenal karena anak gue, bukan karena dia anak pertama tapi karena emang dia sangat-sangat ramah. Anak sekecil itu udah keliling kampong gue tanpa pengawalan ortu.    
Ada satu kisah luar biasa. Suatu kali anak pertama gue yang waktu itu berumur 3 atau 4tahunan minta ikut gue ke kantor pos. Jarak dari Layur ke Kantor Pos hampir 1km, lewat pinggir kali, sepi dan banyak pohon bamboo. Sepulangnya dari kantor Pos kita sama-sama jalan lagi, kira-kira 20meteran gue baru ingat kalau ada yang ketinggalan dikantor pos. 

Karena gue bukan type “ibu penggendong”, gue tawarkan dia opsi, “kakak mau ikut apa pulang sendiri”. Seumur hidup engga akan gue lupa, tatapan bingungnya. Kelihatanya dia kasihan sama gue. “Nanti dekat rumah Abang Oo kakak belok ya”, ingatku berkali-kali. Lalu dia mengangguk dan berputar punggung dengan gue
Anak kurang dari 4 tahun man!! (gue ingat banget, karena waktu gue belum kerja, dan gue mulai kerja saat dia berumur  5 tahun lewat sebulan). Gila, gila dan gila... gue aja bingung sama gilanya gue, (teganya teganya teganya...). Dia beribu-bapak lho, bukan gelandangan yang terpaksa ‘berani’ karena keadaan, tapi memang Tuhan kasih gue anak yang amat sangat luar biasa.
Berapa banyak suami yang melek malam 100% untuk jaga bayi, atau masak nasi goreng meskipun lu mintanya tengah malam, masakin indomie plus teh manis sebelum lu bangun pagi. Atau ngurutin tiap kali lu kecapean, dan masih mau menasihati baik-baik ketika lu berteriak sama ibunya???
I’ve been bless with all these things, I’ve been graced by smart kids, I’ve been loved with purity.
Sampai sekarang gue belum kaya, hehehe….. pekerjaan suami gue juga belum membanggakan tapi bukan itu jawaban. 

Akhirnya setelah perjalanan panjang baru gue menyadari semua ucapan pendeta itu.  Makanya gue tidak pernah pusing dengan kaos gue yang harga 15rb-an, gue juga gak malu pamer sepatu gue yang harga 35rb-an, atau maksa pake henpon model sekarang walau (rasanya sih gue udah mampu). Juga gue tidak maksa kepingin seperti teman-teman gue yang hoby  ‘nyetarbuck'. Gue tidak pusing memilih tas buat dibawa kemanapun, yang penting ada dan gue tidak menyoal harganya yang 'hanya' 100rb per 3 biji.
Akhirnya, gue sampai juga pada pengetian, aku tau apa artinya kelimpahan dan apa itu kekurangan. Semuanya tetap dalam proses pertambahan kedewasaan juga siy,,, tapi secara manusia biasa yang normal yang juga punya banyak keinginan, gue merasa bahwa gue adalah type orang yang bersyukur, melihat kebawah, dan mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Artinya, gue gak perlu lagi melihat pager tetangga untuk menghitung seberapa banyak berkat dia. Karena ternyata   BERKAT GUE JAUH LEBIH BANYAK…. Dalam segala ucapan syukur gue, pastinya!!!

Bapak

Bapak saya itu orang yang skeptis, sinis, galak dan blak-blakan. Pokoknya sangat tidak menyenangkan. Begitulah saya menilai dia sepanjang diusia menjelang remaja. Dia bakal tega marahin teman atau tetangga yang bikin salah. Aduhh,,, pokonya bikin malu banget. 

Suatu ketika kakak saya bolos sekolah, dan ketika datang kerumah dibawanyalah salah satu temanya, berawal dari pertanyaan ringan. Entah gimana mulanya bapak ujug-ujug menuduh (walaupun menurut kami siy mungkin-mungkin aja), kalau dia adalah teman yang ngajakin kakak saya cabut dari sekolah. Dimarahilah anak itu, sampai disuruh pulang dan belajar sama orangtuanya dulu. Konyol khan???
Ada pula kisah sampah yang sembarangan dibuang orang ke got, dan tempat sampah yang udah penuh. Sebagai ketua RK dan memang bapak orangnya rajin, kemudian dia membersihkan sampah itu. Setelah bersih dibuatnyalah tulisan dipapan, “dilarang buang sampah disini kecuali anjing”. OMG, mama juga melotot sambil marah-marah, kami yang tidak berani protes ya Cuma bisa bergunjing dikamar. Keterlaluan!!
Suatu ketika saat sudah menikah, setelah temperamen saya mereda saya bertanya pada suami saya

Aku marahnya kaya bapak ya?”

Banget, kamu itu pesis sama amang”

Jawaban itu tidak coba saya debat, tapi cukup menjadi cermin kecil buat saya. Saya ini kesayangan bapak (entah dari mana awal kalimat itu), yang pasti sejak saya kecil sayalah yang digelari ‘kedan-kedannya’ bapak. Dan karena banyaknya kesamaan karakter kami, persinggungan kami jauh lebih tinggi dibanding dengan saudara-saudara yang lain.  Diawal tahun baru ditahun sekian, menjelang kami masuk SMP kami membuat perjanjian dengan bapak agar tidak lagi main tangan dalam menyelesaikan masalah.    

Oh ya, sejak kecil kami termasuk biasa dengan hukuman pukulan. Baik dengan fisik langsung juga dengan alat, dan karena memang itu terjadi hampir tiap hari, kami sebagai anak-anak tidak merasa itu adalah bentuk penganiayaan.
Tapi perjanjian itu tidak pernah berlaku buat saya. Hampir setiap bulan saya masih kena pukulan fisik. Sampai pada suatu klimaks ketika saya kelas 3 SMA. Kami ribut besar lalu bapak menampar dan mendorong saya ke dinding kamar. Karena memang dinding kamar kami hanya triplek, maka saya jatuh terpental kebelakang. 

Saya ingat sesudahnya saya bagun, dan saya tunjuk mukanya “inget ya, ini terakhir kali lu mukul gue, dan inget cuman gue satu-satunya perempuan batak yang bisa digebukin  bapaknya dan bisa maafin” kalimat saya dalam geram yang menyala.
Sempat saya merasa luka batin yang dalam karena semua sikap bapak. Sempat disatu masa saya berdoa supaya bapak lebik baik mati saja. Selalu ada saat dimana saya berpikir kalau bapak adalah manusia paling jahat didunia. Makanya seumur hidup saya 'menajiskan' laki-laki batak dalam list pacar.

Ketika menikah dan punya anak, orang yang selalu saya rindukan adalah bapak. Saya seperti  baru tersadar kalau selama ini bapak punya sisi yang lain. Sisi yang seringkali tidak mau saya akui. Saya seperti mengerti sekarang, bahwa semua yang dilakukan bapak cuma bentuk proteksi, perlindungan yang berlebihan. Dia terlalu sering melakukan hal yang salah untuk sebuah maksud baik. 

Mungkin karena sejak kecil sampai besar, 4 orang anak perempuan dan seorang anak laki-lakinya selalu ada dan bertumbuh dihadapanya. Bapak seperti lupa kalau kami ini sudah besar. Ternyata menjaga 1 anak aja bagiku terasa seperti menjaga telur emas, tidak jarang saya melakukan banyak kebodohan demi 'alasan' anak. Lalu bagaimana dengan bapak saya, yang ditanggungkan 4 orang anak perempuan.
12 December 2005,
10 hari sejak bapak jatuh dari pohon yang tidak tinggi. Beliau dibawa berobat ke dukun tulang di Ciawi. Dan hari itu rumah dibersihkan dan dipasangi tikar-tikar, karena bapak akan pulang. Dan rencananya, kami akan mengadakan ucapan syukur. 

Saya masih dikantor waktu adik saya telpon dari rumah. “Bapak, bapak, bapak. Chu bapak …” cuma itu kata-kata yang keluar dari mulut adik saya dan coba saya artikan sendiri. Kemudian saya mengerti bahwa sangat tidak mudah mengatakan kalimat yang tidak ingin kita katakan. Plan berubah 180°... Bapak menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan pulang.
Dalam banyak hal saya sangat bersyukur. Sejak melahirkan anak ke-2, saya banyak berekonsiliasi dengan bapak. Kami banyak membahas  masalah-masalah keluarga kami, kami mulai bertukar pikiran soal masa depan adik-kakak saya. Bahkan sebelum berangkat ke pengobatan, saya masih sempat membersihkan badan bapak dengan washlap dan membuang air seninya dari botol. Malahan bapak minta saya memimpin doa pagi itu sebelum dia dinaikan ke mobil.
Sekarang yang paling saya sesali adalah, kemana saya 10 hari terakhir itu. Kenapa saya tidak pernah mencoba disana. Menjaganya dan melihatnya. Kenapa selama ini saya tidak mau melihat  bapak dari sisi yang lain.  padahal saya tau sekali kalau bapak itu perhatiannya luar biasa, empatinya tinggi. Kenapa kami anak-anaknya belum bersatu waktu bapak pergi, kanapa saya belum bisa membanggakan apa-apa pada bapak. Begitu banyak kenapa??
Setelah bapak wafat. Kami menemukan bayak selipan-selipan kertas yang berisikan nama, tanggal lahir dan nomor telpon kami. Ada anak-anaknya, keponakanya, adiknya, kakaknya bahkan sampai sampai saudara-saudara-nya yang saya juga gak yakin kenal–. Ada juga potongan-potongan ayat alkitab.  

How he’s care!! seharusnya saya tahu kebiasaan ‘perduli’ bapak ini... kita semua tau, juga merasakanya. Tapi kenapa tahun-tahun yang terlewati kemarin keperduliannya seperti duri bagi kami, jadi momok yang menciptakan ‘sosok menyebalkan’ setiap hari.
Dalam kesemua semua itu, ada satu ayat yang setiap kali membacanya pasti akan membuat saya menangis terisak-isak. Kami temukan ayat ini di halaman depan alkitab yang biasa bapak pakai. Ternyata kerinduanya agar anak-anaknya mencari Tuhan sangat besar. Ternyata doa-doa dan aktifitas gerejanya selama ini bukan isapan jempol.  

He just has a strong and straight character. Tapi dia punya hati yang bersih, hati yang sungguh-sungguh mengasihi semua orang, hati yang selama ini mencari teman tapi tidak pernah didapatkan dari kami, dari anak-anaknya, juga tidak dari orang terdekatnya. Itu yang selalu saya sesali.     
Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, 
bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran (3 Yoh 1;4)

19 Apr 2011

Daddy'z

Kebodohan yang tidak akan pernah gue sesali adalah, menikah muda. Menikah dengan orang yang waktu itu juga gue gak yakin cinta atau tidak. Menikah dengan orang yang kerjaanya lagi gak jelas. Cuma 1 hal yang gue pegang kuat waktu itu. Gue satu iman sama dia, soal yang lain will see latter lah… kyaaa gila khan, so bukan contoh yang baik buat diikutin.
Ternyata, menikah muda gak seseram  yang digambarkan iklan-iklan, tipi-tipi sama pelem-pelem... Life is a choise, tapi gue juga gak  bilang ini mudah… Bukan perkara enteng, tapi gue selalu pegang keyakinan kalau ini bukan akhir dari dunia. Bukan banget!!!
Soal cemburu, ngatur,  maksa, ego… gue sih tidak langsung menganggap ini adalah 'tulah menikah muda'. Toh diusia berapapun semua itu adalah bagian dari karakter setiap orang. Semua urusan karakter dan kebiasaan jadi masalah??,, ya iya lah, jangankan sama orang lain, adik-kakak aja yang sudah hidup berdampingan bertahun-tahun masih bisa gak cocok. Orang tua aja yang sudah jelas-jelas berkorban buat kita, masih suka kita bantah.. So, buat gue waktu itu soal persepsi bukan harga mati.
Tapi dari pertama menikah, yang gue sangat tekankan sama suami gue  adalah, I am a woman with a strong character. Gue punya batasan sendiri!  so apapun yang terjadi antara kita, gue akan tetap jadi gue, gue yang punya pendapat, gue yang dominan (hehehe..penyakit nich).. intinya gue akan tetap sound my soul..:p
Gue tipikal orang yang dominan, gue gak suka dipaksa. walaupun pada dasarnya gue suka dengan aturan. Catet: aturan yang jelas, pasti, logis dan fair.. Keras kepala, pembangkang (gue suka aja  melawan arus), amat sangat tidak sabar, dan temperamen adalah masalah khas gue.. Dari sejak sekolah pun kalau gue marah gue suka banting-banting... This is really Mawar’s disease.. Oh ya, bawel dan sebangsanya itu... gue bangets.. *pake makser anti radiasi ah.
Suami gue, pendiam, sabar, banyak aturan, asal manut, skeptic, agak-agak sinis, pencemburu tapi pencinta sejati.. Tapi secara keseluruhan, orang kenal suami gue sebagai orang pendiam.
Tahun-tahun pertama pernikakan muda. Khas dengan permasalahan cemburu dan financial. Tapi honestly soal financial gue orang yang sangat open minded. Artinya, gue gak ngarep suami gue jadi jutawan. Asal dia kerja dan ada hasil, walaupun sedikit... enough banget buat gue.  

So, masalah 'pasti' kita dulu adalah kecemburuan suami, dan sifat gue yang gampang banget kesulut emosi sama tetangga. Jadi pada mulanya gue lebih banyak bentrok sama tetangganya daripada sama suami..hehehe :p
Ada satu prinsip suami yang mulanya bikin gue mendelik. “Ketika menikah, seharusnya seorang laki-laki  mencintai istrinya lebih dari pada mencintai anak-anaknya”. Waktu gue tanya kenapa gitu, jawabanya masuk akal sekali sih. “Karena istri adalah teman tua sampai mati, sedangkan anak-anak akan menjalani hidupnya sendiri ketika dewasa". "Anak cuma titipan sampai dia bisa memilih hidupnya sendiri".
  
Prinsip yang 180⁰ beda dengan prinsip kita, yang  asli dari Sumatera Utara. Yang bilang kalau “anak adalah harta ku”.
Tahun ke-3 pernikahan. Kondisi financial kita tambah carut marut. Suami totally jobless. Sempet sih ikut-ikutan jadi petinju professional, tapi kondisi ekonomi yang model gini bikin keyakinan kita kisut. Makanya, dikubur sudah mimpinya menjadi petinju professional sejati.
Seinget gue waktu itu masih minum pil KB sebagai alat kontasepsi. Juga masih menyusui bayi pertama, tapi ternyata gue hamil. Sejak telat bulan pertama, memang sempat feeling so bad. Tapi mengingat gue emang dari keturunan subur mungkin-mungkin aja pikir gue,, Lalu sampai kemudian kehamilan ini membesar, gue gak pernah secara khusus melakukan test kehamilan.

Kondisi kerohanian pun sedang mandek. Ada saat gue bener-bener merasa bahwa Tuhan itu cuma isapan jempol belaka. Pendeta-pendeta munafik, dan hidup ini engga adil sama sekali. Kondisi hamil bikin gue tambah illfeel. Sumpah semuanya terasa sangat-amat menjemukan. 

Tapi gue inget waktu itu. Bokap gue, yang sejak gue merit gak pernah lagi ngobrol sama gue, sempat berucap “semoga anakmu laki-laki”... Itu kemudian seperti suntikan kecil buat memompa semangat gue yang udah goyah banget itu.. Yah at list, ada secuil harapan diantara semua kejemuan ini.
Sepanjang keputus-asaan gue saat itu, suami gue gak bisa ngomong apa-apa. Yang dia lakukan saat itu cuma berdoa buat gue tiap malam, sambil menumpangkan tangan. Sering juga sih gue kebangunan waktu dia lagi doa sambil nangis sama Tuhan, dan tanganya diatas kepala gue. Tapi gue gak terenyuh tuh.. gue masih marah sama Tuhan.
Tibalah saatnya melahirkan anak gue yang ke-2. Sepanjang kehamilan ini, emang gue dan suami cuma punya kegiatan industry rumah tangga menjahit. So, kebanyakan aktifitas gue ya duduk. 

Mulai subuh gue udah mulai ngerasin kontraksi perlahan, tapi gue pikir better pergi setelah lebih menguat. Makanya pagi itu aktifitas gue masih biasa aja. Pagi-pagi nyuci, masak, jahit-menjahit dan tetek bengek lainya. Menjelang mahgrib barulah kita pergi kerumah bidan yang ditunjuk posyandu. Karena waktu itu kita masuk dalam golongan keluarga miskin, makanya pergi ke bidan yang pelayanan di posyandu kita.
Sampai jam 11 malam pembukaan engga ada kemajuan, tapi kontraksi sudah makin jadi. Jam 9 malam ada ibu-ibu lain yang masuk dan setelah jalan-jalan sebentar jam 12an kurang dia melahirkan.. Walaaah, perasaan gue tambah desperado. Suami gue tetep ada disamping gue, dia peganging tangan gue terus sambil ngingetin buat berdoa dan berdoa. 

Jam 1 atau 2 karena kelelahan, gue sempet ngucap sama laki gue “gue loncat ya dari tempat tidur”… Dia terus nyemangatin dengan terpaksa, karena muka dia sendiri udah kelelahan. Karena sepanjang dan sejak  gue masuk ruang bersalin dia selalu ada disamping gue.
Jam 3 dicoba lagi. Kata bidan pembukaan  gak ada kemajuan juga, padahal sejak jam 12 tadi udah masuk pembukaan 5. Posisi gue tiduran, karena si bidan juga mulai kecapean. Dia bilang sama laki gue, “kuat lihat darah khan, bantu saya dorong ya?”. Tanpa ada jawaban, then posisinya adalah suami gue mendorong perut gue dari posisi atas disamping kepala gue.
Jam 5, gue denger si bidan bisik-bisik sama suaminya (dia gak punya assistant). Terus nelepon temennya yang bidan juga. Beberapa saat kemudian, dipeganglah gue oleh 3 orang. 2 orang disamping kepala gue dan 1 bidan dekat kaki gue. Pun tidak jua ada hasil. 

Setelah bisik-bisik dengan temannya si bidan sounding ke kita, “kalau sampai jam 7 nanti tidak ada kemajuan dita kirim ke RS. Pasar Rebo ya”. Tapi itulah hebatnya bidan, dan salah satu alasan kenapa gue gak terlalu percaya sama yang namanya operasi sesar. Menurut gue, sesar itu indikasi medisnya palingan 10% selebihnya adalah masalah kenyamanan hubungan pasutri... atau pinter-pintenya dokter. *Opini gue lho,,, :p
Jam 7, sakitnya tambah luar biasa. Dan seperti sakit yang gue rasa, gue yakin kalau suami gue juga mengalami hal yang sama, karena dia terus disamping gue. Sepupu dan adik gue yang lagi nunggu diteras mulai pada ketakutan sambil nangis. Belum juga ada perkembangan. Lalu si bidan bilang, “kalu bisa sih jangan sampai kerumah sakit lah, kamu sudah berjuang dari semalam mending kita coba lagi ya??”.
Jam 9, dari luar  kedengaran suara ribut-ribut. Suara yang familiar banget buat gue. Bokab gue lagi ngomel-ngomel sama adik gue yang ada didepan. Juga sembari ngomelin tukang bajaj yang gak tau tempat itu. Gue nich anak kesayangan bapak sejak kecil, makanya tabiat beliau hampir 90% turun sama gue. Tapi gue menikah dengan suami gue tanpa restu beliau. Makanya suara ngomelnya itu kaya ngasih gue semangat baru. 

Entah bagaimana ceritanya, tepat bapak masuk kamar bersalin bayi gue lahir. Laki-laki 4kg. Bapak masuk bahkan keadaan gue masih berdarah-darah, dia elus kepala gue sebentar, berdoa lalu pergi kegereja. What amazing moment,,, kalau gue inget-inget lagi. Ternyata soul gue tuch sama bapak nyatu, bahkan anak yang gue lahirkan ini karakternya hampir gue banget... yeah.
Sepanjang kehamilan sampai kelahiran anak ke-2 gue itulah gue seperti bercermin. Siapakah yang bisa mencintai gue seperti ini? Siapakah yang akan tahan dengan semua keegoan gue?. Cuma suami gue lah, orang yang bisa menerima gue 100% walau kita gak selalu sepaham.
Banyak kejadian selalu membangkitkan karakter asli seorang Mawar. Lu jual gue beli, lu tereak gue tereak, lu tabok  gue tendang... kurang lebih model gitulah gaya gue.
Tapi suami gue tanpa berusaha menggurui, dia selalu bimbing gue untuk membenahi karakter. Dalam setiap kejadian dia tetap ada disamping gue, walaupun dalam kondisi dimana gue yang bikin gara-gara. Lagi-lagi tanpa menggurui, dia ngajarin gue untuk “mencoba merasakan posisi orang lain”...
Now. Gue secara pribadi merasa menjadi pribadi yang lebih baik, percaya diri dan optimis... Yach walau masih banyak yang harus dibenahi lagi. Tapi gue merasa, “menikah telah menjadikan gue pribadi yang lebih baik,, jauh lebih baik”. Semua luka, sakit, kemarahan yang dulu suka tiba-tiba datang dan bikin gue singit, sekarang akan gue ceritakan sama suami gue.  

Even jika sekarang dunia menolak gue. Gue udah tau harus kemana. Nyokab gue yang sepanjang hidup gue, gue merasa dia tidak pernah melihat satu kebaikan pun pada gue, sering bikin gue mimpi nangis karena ditolak. Sekarang dalam mimpi pun gue akan cari suami gue buat cerita… ini real.
Isn’t it call soulmate?? I said yes.
My husband is my soul, he’s me. Dia yang membimbing gue untuk makin cinta Tuhan, dia buat gue makin sayang sama keluarga, dia bikin gue merasa berharga dan penting. Dia ngajarin gue untuk waspada (buat yang ini kita masih kontra, hehe..), dia yang membangkitkan mimpi-mimpi yang dulu takut gue ucapin. Malahan sekarang mimpi gue makin tinggi, karena dia mau nemenin gue mimpi sampai kelangit. Sekarang gue bebas buat mengucapkan semua keinginan, semua hayal semua iman... Pokoknya, dia yang pasti ada dalam semua harap gue.
Dia, my lovely husband... Monang Siregar <3 <3

Si Sulung

Aku sangat menyukai nama Jean, nama dengan karakter kuat. Buat aku nama ini adalah gambaran perempuan kokoh, cerdas dan mandiri. Tapi waktu melihat-lihat kamus nama ini tidak ada, yang ada adalan Jane. 

Akhirnya suamiku mengajukan nama Jane, yang artinya hadiah yang indah dari Tuhan. Seolah menjadi jawaban atas pernikahan kami, aku setuju. Aku menyisipkaan nama Fena yang dikutip dari Trifena, kawan sekerja rasul Paulus. Aku dan suami sama-sama punya mimpi untuk memakai satu nama dari 12 bapak bangsa Israel. 

Terambilah nama Naftalie, yang berarti kemenangan. Dan kemudian kami menamakan bayi kecil kami dengan nama yang penuh kebanggaan dan harapan, karena kami  mendoakan nama ini.  

Fena Jane Naftalie, yang kemudian kami artikan menjadi “Hadiah kemenangan yang indah dari Tuhan”, dan harapan kami anak ini akan menjadi pekerja buat Tuhan.
Dulu kami berdoa untuk anak yang gagah dan kuat (walau kami sudah tau ini bakal perempuan) laksana Samson, dan berambut ikal seperti Manisha Koirola.
Jane kecil adalah anak paling manis yang pernah kulihat sepanjang hidup. Dia tidak pernah memasukan benda apapun kedalam mulutnya, sama sekali tidak cengeng, murah senyum, bisa membedakan bahaya atau tidak. 

Caranya?? Dikontrakan kecilku yang Cuma berukuran 3x3 semua aktivitas dilakukan ditempat yang sama. Sebagai ibu rumah tangga biasa, setiap hari aku masak, 2 hari sekali mencuci dan seminggu 2-3 kali menyetrika pakaian. Belum pernah sekalipun bayi ku menyenggol benda-benda bahaya tersebut. 

Aktifnya luar biasa. Sejak berumur 5 bulan aku sudah menaruhnya di baby walker. Hanya dalam hitungan detik dia sudah akan meluncur lincah kesana-kemari. Umur 9 bulan sudah bisa naik-turun tangga. Jane cerdas dan menyenangkan dalam kapasitasnya sebagai anak-anak. Meskipun bicaranya lama. Umur hampir 3 tahun baru dia lancar bicara, tapi semua hal bisa dia terjemahkan dengan sikapnya. Dimana menaruh piring kotor, bagaimana memakai baju, mana baju mama, mana baju papa, dimana tempat sepatu dan lainya.
Sebagai ibu, banyak kali Jane menohok aku dalam sikapnya yang polos. Banyak kejadian yang sepanjang hidup akan selalu kukenang. Jane berumur  2,5 tahun waktu punya adik bayi. Bulan-bulan menjadi sangat berat buatku karena dia menjadi cengeng. Kondisi mental yang labil dan ekonomi yang sulit membuat anak kecil itu sering menjadi lampiasan kemarahanku.
Pernah suatu siang, karena kecapean aku tidur. Sebelumnya dengan suara tinggi aku berpesan “mama mau tidur, jangan ganggu adik-nya”. Bangun tidur, kulihat celana adiknya yang 7 bulan sudah berganti dan ada kain kotor dipojok ruang. Ketika kutanya kenapa begini? Jawabnya dalam kepolosan “habis kata mama gak boleh bangunin, ya waktu ade kencing kakak ganti aja celananya”. Sebenarnya aku malu, tapi ‘kerepotan’ selalu menjadi senjata martirku.
Satu lagi kejadian hampir sama. Aku berpesan untuk tidak diganggu. Sebenarnya kami ada dalam satu tempat tidur saja dan memang aku hanya menggelar mainan anak-anak disampingku. Sore harinya ketika akan memandikan anak-anak, kulihat biru dipinggang belakangnya. “Kenapa ini?” tanyaku. Lagi-lagi dengan kekhasan sebagai anak kecil yang manis dia menjawab, “kata mama khan engga boleh berisik, jadi waktu tadi di gigit ade kakak nangisnya pelan-pelan”. Duh Gusti, itu bekasnya biru memerah dan besar pasti sakit sekali. 

Kalau mengingat-ingat kejadian itu sekarang aku masih suka malu sendiri, kupeluk kucium anakku yang sekarang sudah tidak kecil lagi itu malam-malam.
Banyak lagi kata-kata Jane sebagai anak kecil yang diluar pikiranku. Karena memang  my baby Jane bukan anak penceloteh, seperti kebayakan kepintaran anak sebayanya. Di usia 4 tahun pertanyaanya sudah sangat bijak.
“Apakah ini rumah kita, kenapa kita mengontrak?”
“Kenapa kita tidak menumpang saja di rumah ompung yang rumahnya lebih besar?
Kenapa teman aku bisa beli mobil?
Emang kita engga boleh milih agama?
Masak tutup pagar aja dibilang kerja?” komentarnya suatu hari pada mertuaku. Karena pernah dia kubawa kekantorku dan  suamiku yang kurir hari itu tidak ada hantaran. Jadi dia membantu security menjaga pintu. Maka seharian itu Jane melihat papanya 'hanya' buka-tutup pintu pagar.. hahahaha
Suatu hari, kami melihat pengemis. Dari matanya aku tau Jane berharap kami memberikan sesuatu. Lalu aku berikan Rp.1000, sejurus anakku itu menatap ku dan berkata “Ma, emang seribu bisa beli apa?”. Atau setiap kali ada pengamen, topeng monyet, ondel-ondel dan semua jenis pengamenan jalanan, Jane mesti akan pulang untuk meminta duit untuk menyawer. 

Diusia belum sekolah waktu itu aku tidak pernah secara khusus mengajarnya soal jiwa sosial tapi hatinya sangat penuh belas kasih. She just live with it
11 tahun sudah sejak kelahiran perempuan kecilku. Akhirnya menjelang SD rambutnya tumbuh, ikal seperti pernah kami harapkan tapi dia benci rambutnya. Hilang sudah kelucuan dan kepolosan anak-anaknya, tapi yang pasti dia penuh tanggung jawab. 

Sejak kelas 4 SD dia sudah tau cara menjaga adiknya jika kami pergi. Dia memasak nasi, memasak telur, merapihkan rumah dan semua pertanggungjawaban sebagai anak sulung. Kalau tersenyum rentetan giginya yang gingsul menyeringai, kalau disuruh makan matanya akan mendelik, tapi tetap menjadi anak yang ramah dan penuh semangat.
Jane Siregar, begitu aku membiasakan dia meringkas namanya. Sekarang telah menjadi salah satu atlit tinju amatir Junior  di KONI Bekasi. Harapanya begitu besar untuk meraih mimpi, mimpi untuk jadi Juara Nasional dan Internasional. Mimpi yang pernah ditinggalkan papanya.

My Marriage

Awal yang salah tidak selalu harus diakhiri dengan cara yang salah. Begitulah kurang lebih komitmen aku dan laki-laki, yang akhirnya menjadi suami aku. Menikah tanpa restu, bahkan lebih parah.. Aku tidak akan lupa kejadian “aneh” itu. Ya..ya, sekarang aku menyebutnya “aneh” tapi 10 tahun yang lalu, aku menyebutnya kejadian konyol paling tolol didunia. Dulu mengingatnya bisa membuat aku mengeram kesal.
Aku lari dari rumah untuk menikah dengan laki-laki yang ‘mau mengajak aku menikah’…  Ini serius! Pelarian aku waktu itu bukan karena aku mencintai laki-laki itu, bukan pula karena dia merayu aku dengan sejuta gombal, bukan pula karena dia beruang banyak.. Kyaaaa, sama sekali bukan..
Aku memilih dia karena, dia satu-satunya laki-laki yang secara serius berani bilang “mau gak kawin sama gua?”. Kondisinya saat itu aku baru lulus sekolah, ambil kuliah ektension satu tahun dan jobless.. Ternyata hidup tanpa kegiatan sama sekali bisa membuat kejenuhan yang luar biasa.. Itu yang aku alami.
Setelah lulus, kusadari ternyata mencari kerja bukan urusan gampang. Belum lagi teman-teman yang biasa ada disekelilingku mendadak hilang. Semua orang punya kegiatan, ada yang kuliah, ada yang kerja, ada yang berdagang. Luar biasa ini... pikirku waktu itu. Kalau dulu pusing bagi waktu buat berteman, eh sekarang setengah mati cari manusia. Tapi, tak ada barang seorang. Orang tua pun mulai merepet teratur, seolah kita ini lulusan Harvard dan nganggur.. Duh nyeselnya lulus pikir ku waktu itu.
Diantara masa kejenuhan itulah, aku meyerah pada nasib dan berikrar pada diri sendiri, "siapapun yang bisa mengeluarkan gue dari rumah ini, gue akan pergi"… Menikah sama sekali bukan opsi seorang Mawar yang cuek, tomboy, ngasal dan kasar. “Laki-laki pasti takut sama kamu” bukan satu dua orang  yang pernah ngomong model beginian sama aku. Orang tua aja sering.. jiaaaa. 

So, merit bukan Mawar banget. Tapi kejenuhan, muak, sedih, perasaan sendirian ku sampai pada titik nadir hidup. Aku tidak tau mengartikan ini, inikah putus asa (gak yakin juga)?. Cuma yang pasti jenuuuh, jenuh, jenuh....
Kaburlah aku dengan laki-laki, yang cuma bisa menjanjikan aku “demi Tuhan akan bertanggung jawab” atas hidupku. Oh ya, dari dulu aku sudah tau kalau dia cinta mati sama aku, tapi aku tidak cinta. Tidak suka, tidak ada hasrat sama sekali. Cuma satu hal yang aku pegang, kita satu iman!. Maka harapanya adalah, jika segala sesuatunya “mungkin” lebih baik, aku bisa membawa dia kekeluargaku..
Kami mendaftar digereja  lama-nya keluarga suamiku. Gereja waktu dia masih sekolah minggu. Daerah Bekasi, untuk menghindari keluargaku di Jakarta. 

Malam sebelumnya aku menginap dirumah saudaranya. Paginya kesalon untuk make up, lalu kegereja untuk pemberkatan. Disana wakil dari margaku yang sudah setengah mati dicari dan akhirnya ditemukan oleh calon ibu mertuaku sudah tersedia. Entah kenapa sampai tiba digereja dan ibadah berlangsung perasaan ku bilang, "kenapa semuanya terlalu mudah ya??". Kabur, persiapan, pemberkatan dan selesai… Perasaan itu terus menggelitik. Tidak mungkin semudah ini, kenapa bisa semuanya selancar ini. What will happen?? 

Jujur aku mengaku salah, aku dikenal sebagai anak kesayangan bapak. Kata orang pun wajah kami mirip tapi justru karena banyaknya kesamaan kami itu kami sama sekali tidak pernah akur. Beliau  teriak, aku teriak, dia protes aku protes.. Yups, karakter kami 11-12, dan ini jadi masalah buat kami. Dan aku sangat sadar kalau perbuatanku ini pasti menohok bapak sampai kedasar hatinya. 

Secara umum aku termasuk anak baik-baik. Pacaran bukan pilihan aku, apalagi sampai kawin diusia muda. Dikeluarga aku termasuk anak yang smart. Jadi secara khusus bapak punya pengharapan terhadap aku.
Tepat ibadah selesai dan akan masuk acara pemberkatan. Mendadak aku mencium aroma minyak angin yang khas sekali dipakai bapak. Aku tidak terkejut  tapi masih tetap mencoba menyangkali. Berharap ini Cuma perasaanku. 

Aku tidak berani menengok kebelakang, tapi mulai terdengar suara bisik-bisik riuh rendah dibelakangku. Tepat seperti  ‘dugaan’ku. Bapak sudah menyeruak masuk dengan tidak sopan dan langsung duduk tepat dibelakang kami. Menginterupsi sebentar lalu “mengancam” si bapak pendeta.
“Pernikahan ini tidak sah, dilakukan tanpa seijin orang tua. Saya bisa bikin nama gereja ini cemar. Pernikahan ini harus dihentikan” katanya dengan lantang.
Aku cuma diam, tidak menangis, tidak takut, tidak pula mencoba menenangkan bapak. Toh aku tidak cinta sama calon suamiku hari itu. Dan aku juga sangat-sangat sadar akan kesalahanku ini, dan dari semula  pun aku sudah merasa ‘ganjil’ dengan semua 'kemudahan' ini.  
Walau sudah coba dirayu dan dilakukan mediasi dengan para tua-tua dari pihak keluarga laki-laki, bapak tidak geming pada kekerasan hatinya. Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan, dan aku sudah dianggap mati!!!
Akhirnya hari itu, pulanglah kami dari gereja itu tanpa acara pemberkatan. Dengan menagis calon mertuaku hanya bisa melakukan acara adat kecil yang menyatakan aku sudah layak masuk rumah pihak laki-laki. Beberapa minggu kemudian, baru pendeta tersebut  akhirnya memanggil kami untuk melakukan peneguhan pernikahan.
Semua kejadian itu selalu mengingatkan kami pada kalimat suamiku “awal yang salah tidak berarti harus diakhiri dengan cara yang salah”. Sekarang mengingat kejadian itu membuat kami berpegangan tangan lebih erat. Karena ada harga mahal yang telah kami bayar. Harga untuk pernihakan ku adalah malu dan kecewa.

Kaleb

“Mirip siapa nih?”
Hehehe.. harusnya sih aku gak usah aneh sama kalimat itu, soalnya wajah Kaleb memang relative berbeda baik dari aku juga suami aku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah dan hidung yang mancung, oh ya pola wajahnya juga tirus. 

Simple word: he’s quite handsome, sayang aja sekarang dia lebih kurus jadi  kepalanya yang besar kelihatan kurang proporsional dengan tubuhnya, tapi secara umum orang tetap akan komentar Kaleb ganteng..
Kelahiran Kaleb merupakan awal cinta sejatiku pada suamiku. Bagaimana tidak, Kaleb lahir diantara harapan dan keputusasaan kami. Saat aku mengalami kemarahan pada Tuhan, kecewa pada gereja, ada  perasaan ditolak keluarga karena hamil dalam keadaan ekonomi hancur. Tapi dalam segala keadaan itu, suamiku semakin menujukan kasihnya.
Suatu hari ketika sedang memeriksakan kandungan di posyandu, tetanggaku yang baru saja melahirkan  bayi pertamanya sibuk melayani sapaan-sapaan ramah sesama ibu-ibu yang ada di posyandu.
“Wah teteh anaknya cakep” komentar banyak orang,
 Yeah seharusnya gak heran kalau anak si teteh Neneng itu dibilang cakep, toh ibu dan bapaknya memang punya bakat enak dilihat. Ibunya imut-imut dan cantik, bapaknya ganteng. Tapi kejadian sesaat itu membuat sedikit kecemburuan dihatiku. Sampai dirumah, aku meminta pada Tuhan, aku  tidak berdoa secara khusus karna waktu itu aku sedang “ngambek” sama Tuhan. 

Pintaku sama Tuhan hari itu,,,Tuhan, aku mau ketika lahir semua mata akan tercengang melihat bayi ini, saya mau semua orang bilang anak saya cakep, saya mau siapun yang melihat bayi ini nantinya terkagum-kagum, saya mau semua orang…
Demikianlah doa sederhana itu, dan…eng-ing-eng… bukan sulap bukan pula sihir, tapi (kayakinan) saya bilang..mintalah maka kamu akan mendapatkan, carilah maka kamu akan menemukan, ketuklah maka pintu akan dibukakan. Walau saat itu saya hanya meminta secara santai kepada Tuhan, Ternyata Tuhan perhitungkan sebagai “permintaan” yang datang dari hati. Waktu lahir, aku bisa bilang 92% yang melihat Kaleb  akan bilang “anak yang ganteng
Jadi kalau sampai hari ini, ada orang melihat Kaleb dan bilang “gak mirip lu bu” atau “anak lu beda??”.. hahaha, akan aku artikan yes, I have a hansome boy.. dapat dari mana??
Aku tidak perlu jelaskan bibit dan bebetnya, aku akan selalu teringat “permintaan” ku  hari itu pada Tuhan agar diberikan “anak cakep, anak yang ganteng”.. then I got it!!!
Selalu akan kuingat, Kaleb Putra Shalom Siregar… born in 23 June 2002, dengan kisah kelahiran yang lebih hebat lagi.. Mommie Loves You Boy.