19 Apr 2011

Si Sulung

Aku sangat menyukai nama Jean, nama dengan karakter kuat. Buat aku nama ini adalah gambaran perempuan kokoh, cerdas dan mandiri. Tapi waktu melihat-lihat kamus nama ini tidak ada, yang ada adalan Jane. 

Akhirnya suamiku mengajukan nama Jane, yang artinya hadiah yang indah dari Tuhan. Seolah menjadi jawaban atas pernikahan kami, aku setuju. Aku menyisipkaan nama Fena yang dikutip dari Trifena, kawan sekerja rasul Paulus. Aku dan suami sama-sama punya mimpi untuk memakai satu nama dari 12 bapak bangsa Israel. 

Terambilah nama Naftalie, yang berarti kemenangan. Dan kemudian kami menamakan bayi kecil kami dengan nama yang penuh kebanggaan dan harapan, karena kami  mendoakan nama ini.  

Fena Jane Naftalie, yang kemudian kami artikan menjadi “Hadiah kemenangan yang indah dari Tuhan”, dan harapan kami anak ini akan menjadi pekerja buat Tuhan.
Dulu kami berdoa untuk anak yang gagah dan kuat (walau kami sudah tau ini bakal perempuan) laksana Samson, dan berambut ikal seperti Manisha Koirola.
Jane kecil adalah anak paling manis yang pernah kulihat sepanjang hidup. Dia tidak pernah memasukan benda apapun kedalam mulutnya, sama sekali tidak cengeng, murah senyum, bisa membedakan bahaya atau tidak. 

Caranya?? Dikontrakan kecilku yang Cuma berukuran 3x3 semua aktivitas dilakukan ditempat yang sama. Sebagai ibu rumah tangga biasa, setiap hari aku masak, 2 hari sekali mencuci dan seminggu 2-3 kali menyetrika pakaian. Belum pernah sekalipun bayi ku menyenggol benda-benda bahaya tersebut. 

Aktifnya luar biasa. Sejak berumur 5 bulan aku sudah menaruhnya di baby walker. Hanya dalam hitungan detik dia sudah akan meluncur lincah kesana-kemari. Umur 9 bulan sudah bisa naik-turun tangga. Jane cerdas dan menyenangkan dalam kapasitasnya sebagai anak-anak. Meskipun bicaranya lama. Umur hampir 3 tahun baru dia lancar bicara, tapi semua hal bisa dia terjemahkan dengan sikapnya. Dimana menaruh piring kotor, bagaimana memakai baju, mana baju mama, mana baju papa, dimana tempat sepatu dan lainya.
Sebagai ibu, banyak kali Jane menohok aku dalam sikapnya yang polos. Banyak kejadian yang sepanjang hidup akan selalu kukenang. Jane berumur  2,5 tahun waktu punya adik bayi. Bulan-bulan menjadi sangat berat buatku karena dia menjadi cengeng. Kondisi mental yang labil dan ekonomi yang sulit membuat anak kecil itu sering menjadi lampiasan kemarahanku.
Pernah suatu siang, karena kecapean aku tidur. Sebelumnya dengan suara tinggi aku berpesan “mama mau tidur, jangan ganggu adik-nya”. Bangun tidur, kulihat celana adiknya yang 7 bulan sudah berganti dan ada kain kotor dipojok ruang. Ketika kutanya kenapa begini? Jawabnya dalam kepolosan “habis kata mama gak boleh bangunin, ya waktu ade kencing kakak ganti aja celananya”. Sebenarnya aku malu, tapi ‘kerepotan’ selalu menjadi senjata martirku.
Satu lagi kejadian hampir sama. Aku berpesan untuk tidak diganggu. Sebenarnya kami ada dalam satu tempat tidur saja dan memang aku hanya menggelar mainan anak-anak disampingku. Sore harinya ketika akan memandikan anak-anak, kulihat biru dipinggang belakangnya. “Kenapa ini?” tanyaku. Lagi-lagi dengan kekhasan sebagai anak kecil yang manis dia menjawab, “kata mama khan engga boleh berisik, jadi waktu tadi di gigit ade kakak nangisnya pelan-pelan”. Duh Gusti, itu bekasnya biru memerah dan besar pasti sakit sekali. 

Kalau mengingat-ingat kejadian itu sekarang aku masih suka malu sendiri, kupeluk kucium anakku yang sekarang sudah tidak kecil lagi itu malam-malam.
Banyak lagi kata-kata Jane sebagai anak kecil yang diluar pikiranku. Karena memang  my baby Jane bukan anak penceloteh, seperti kebayakan kepintaran anak sebayanya. Di usia 4 tahun pertanyaanya sudah sangat bijak.
“Apakah ini rumah kita, kenapa kita mengontrak?”
“Kenapa kita tidak menumpang saja di rumah ompung yang rumahnya lebih besar?
Kenapa teman aku bisa beli mobil?
Emang kita engga boleh milih agama?
Masak tutup pagar aja dibilang kerja?” komentarnya suatu hari pada mertuaku. Karena pernah dia kubawa kekantorku dan  suamiku yang kurir hari itu tidak ada hantaran. Jadi dia membantu security menjaga pintu. Maka seharian itu Jane melihat papanya 'hanya' buka-tutup pintu pagar.. hahahaha
Suatu hari, kami melihat pengemis. Dari matanya aku tau Jane berharap kami memberikan sesuatu. Lalu aku berikan Rp.1000, sejurus anakku itu menatap ku dan berkata “Ma, emang seribu bisa beli apa?”. Atau setiap kali ada pengamen, topeng monyet, ondel-ondel dan semua jenis pengamenan jalanan, Jane mesti akan pulang untuk meminta duit untuk menyawer. 

Diusia belum sekolah waktu itu aku tidak pernah secara khusus mengajarnya soal jiwa sosial tapi hatinya sangat penuh belas kasih. She just live with it
11 tahun sudah sejak kelahiran perempuan kecilku. Akhirnya menjelang SD rambutnya tumbuh, ikal seperti pernah kami harapkan tapi dia benci rambutnya. Hilang sudah kelucuan dan kepolosan anak-anaknya, tapi yang pasti dia penuh tanggung jawab. 

Sejak kelas 4 SD dia sudah tau cara menjaga adiknya jika kami pergi. Dia memasak nasi, memasak telur, merapihkan rumah dan semua pertanggungjawaban sebagai anak sulung. Kalau tersenyum rentetan giginya yang gingsul menyeringai, kalau disuruh makan matanya akan mendelik, tapi tetap menjadi anak yang ramah dan penuh semangat.
Jane Siregar, begitu aku membiasakan dia meringkas namanya. Sekarang telah menjadi salah satu atlit tinju amatir Junior  di KONI Bekasi. Harapanya begitu besar untuk meraih mimpi, mimpi untuk jadi Juara Nasional dan Internasional. Mimpi yang pernah ditinggalkan papanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar