21 Apr 2011

Perempuan oh Perempuan...

Sering kali aku merasa kurang cerdas atau mungkin bahasa ‘kurang adil’ lebih  tepat, dalam menilai kaum ku, perempuan. So many times atau kalau bisa menyamaratakan-nya, kebanyakan kami ini jalan ditempat walaupun kami sudah menyuarakan langkah ke-3. 

Kenapa, karena dari banyak pengalaman aku dengan perempuan-perempuan disekitarku, mereka bahkan tidak tau cara menghargai diri sendiri. Kalimat aku ini bisa diartikan dualisme sebenarnya, tapi sebagai perempuan seringkali aku merasa  gerah dengan cara perempuan itu sendiri menempatkan dirinya.
Salah satu contoh yang ter dan paling simple adalah di toilet. Aku masih suka bingung dengan para perempuan yang ‘malu’ dengan desis suara pipisnya sendiri. Banyak dari teman-teman yang aku kenal akan mengeluarkan bunyi-bunyi lain untuk ‘menyamarkan’ suara  BAK-nya. Ada yang mem-flush berkali-kali, membuang air semprot-an dengan posisi tinggi bahkan ada yang berklining-klining berisik dengan tempat tissue roll. 

Buat aku ini kekonyolan kecil tapi tetap aja konyol. It’s our nature, nothing wrong with that! Mari coba bandingkan dengan para lelaki yang sesukanya bisa buang air kecil disegala pojok. Apa ada yang komentar, apa ada yang menyindir?? Mereka engga akan perduli. Aku tidak membahas ini dalam kapasitas alat reproduksi laki-laki dan perempuan, tapi bagaimana kita perempuan tidak memposisikan diri 'normal' walaupun ‘suara pipisnya berisik’.

Adalagi kebiasaan perempuan yang suka ’martir’ atas nama keluarga. Banyak perempuan, khususnya ibu-ibu yang sering kali kurang menikmati hidup, karena alasan yang  klise. Misalnya, banyak ibu-ibu yang merasa jalan-jalan ke mall, atau nonton bioskop sebagai hal yang 'luar biasa’ dan mendekati pantang.  Tapi waktu suaminya nonton dangdutan sambil saweran ini dianggap ‘biasa’.

Aku merasa, seharusnya perempuan BENAR-BENAR menempatkan dirinya sejajar dengan lelaki-‘nya’. Aku secara pribadi menegaskan ‘nya’ ini sebagai kata milik, entah suami, pacar, rekan sekerja, pokoknya 'nya' dimana kita selayaknya mempunyai ‘hak dan tanggung jawab’ yang sama.  
Ayolah para perempuan… menyisihkan  uang belanja untuk membeli tas bukan dosa, nonton bioskop dan menitipkan anak pada mertua juga bukan perkara jahat. Mari sedikit menikmati hidup dengan cara yang sederhana. Mari tetap tampil menarik dan cantik, walapun kita melahirkan dengan cara normal, walaupun gelambir sudah kentara dikulit. Jangan lagi pula ditutupi dengan daster kumal. Sedikit berteman dengan teknologi juga bukan sok-sok-an. Begitu memang kita seharusnya.
Ada pula hal lain yang sering membuat aku tidak kalah sedih melihat para perempuan. Korban iklan! Menurut pengalaman saya, perempuan lebih banyak dijajah oleh dunia komersialisasi. Fenomena  sesar, putih itu cantik, mahal itu sempurna, slim is cool, kaya itu bahagia… fuih. 

Yeah, buat sebagain kalangan mungkin ini lumrah. Tapi untuk perempuan-perempuan sekelas aku. Ini bisa jadi masalah, ini penyakit.  Dan ini banyak sekali  aku temui disekitar ku.
Para perempuan memaksa putih dengan krim pemutih murahan yang entah apa efeknya besok. Cara melahirkan sesar sudah menjadi trend karena mahal (padahal itu juga dibayarin asuransi kantor), dan alasan estetika semata. Paling tidak ada kebanggan mengucapkan “melahirkan sampai 15jt” atau “supaya suami lengket”… Kok mau dihargai cuma selebar 'jalan lahir' dan 'seputih' wajah?.
 
Hilang sudah norma kesusilaan. Karena alasan ingin kaya, ibu dan anak gadis saling mendukung dalam 'kehebatan matrealisme', demi lelaki kaya. Maka soal cinta, iman dan karakter jadi nomor kesekian.
Aku secara pribadi tidak anti dengan semuanya itu. Aku juga berharap anak gadisku akan tumbuh cantik nantinya, kalau bisa dapat orang kaya dapat pekrjaan yang bagus dengan jaminan asuransi kesehatan yang terbaik. Tapi harapanku, semua terjadi dengan apa adanya bukan karena aku “mempermak” atau mendoktrinya untuk menjadi seperti itu.
Ditempat yang ‘biasa’ aku lihat. Para perempuan ini ingin dicintai tapi kemudian focus hanya pada fisik (mari endapkan dulu soal inner beauty..). Diet mati-matian kemudian merasa cantik, padahal kalau kita jujur ternyata tidak semua orang cocok dengan tubuh kurus. Mengoles krim pemutih, putihlah wajahnya tapi lehernya tetap sama… khan maksa ini namanya. Apa yakin setelah semua “perjuangan” ini suami-suami akan tetap setia??
Banyak perempuan yang Ingin diperhatikan laki-laki tapi tidak mau bertanya, ingin diakui tapi diam, ingin sesuatau tapi diam, diam dan diam tapi jadi pendengar dan mau melaksanakan dengan patuh tanpa bertanya  semua ‘harapan’ si laki-laki.
Buat aku, perempuan itu seharusnya bersuara. Berkata-kata dengan lelaki-‘nya’, bersikap atas setiap kejadian yang terjadi, berdiri diatas kaki sendiri, berpijak karena keyakinan sendiri. BERINTERAKSI DAN MENGATUR RUMAHNYA.
Perempuan.. menjadi cantik bukan dengan  ‘memaksakan’ diri tapi menikmati hidup. Perempuan adalah penolong bagi laki-laki, seharusnya perempuanlah yang lebih kuat. Jangan mau dijajah oleh modernitas yang cuma memaksa kita dinikmati 'luar'nya oleh dunia. 

Padahal jauh sebelum tuntutan dunia metropolis ada perempuan memang sudah cantik. Kesuksesan seorang pria, dilahirkan oleh seorang wanita. Jadi jangan terbodohi oleh  anti-emansipasi yang terselubung dalam 'kepatuhan' sebagai perempuan.  

Mintalah dicintai laki-laki karena kita perempuan, karena kita memang layak dicintai, karena kita punya nilai. Bukan karena perangkat topeng  kita yang bernilai.
Kesempurnaan seorang wanita adalah
ketika dia dicintai apa adanya dengan sepenuh hati!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar