27 Apr 2012

End of April 2012, and 100 story


April 2012,
Tepat setahun gue gabung di perusahaan impian gue. Walau banyak hal  yang pada  kenyataanya jauh dari ‘paket’ yang gue harapakan. Tapi please deh, life has it own rule ya bow, and its abseloutly bukan harus seperti mau gue. Secara kalau ngikutin semua gue punya mau... hancur minah kali, hehehe.  Suami  selalu ngingetin gue, “lain ladang lain ilalang, dan setiap orang seharusnya ikutin aturan main yang ada aja.” Agak susah, tepatnya susah banget deh buat orang yang idealisme-nya sering kali kurang realistis seperti gue untuk benar-benar menerima stament model gini dengan penuh kelapangan dada. But I have to.

Dalam setahun ini  sudah banyak hal—mulai dari yang penting, sampai gak penting, sampai yang gak pernah gue pikirkan sama sekali—sudah tercapai. Just in short this April to April.  Wow… gue suka nyengir sambil exhale nafas dengan terperanjat. In this 12 month bikin gue makin berani bermimpi.

April 2012,
Segitu banyaknya hal yang terjadi, blogging merupakan salah satu rancangan Tuhan yang indah buat gue. Ya… tahun 2007-an gue mulai kenal blog. Waktu itu gara-gara gue kesengsem sama musiknya bang Vicky Sianipar trus entah link-an apa yang gue klak-klik, eh kebuka blognya Vicky Sianipar. FYI ya bow, jaman dulu gue jadi staf  perusahaan sono noh, namanya interet sama email itu mahaaaaal banget, jadi gue lumayan bego dan norak.

Di blog VS ini gak ngerti juga sebenarnya apa yang gue baca. Harap maklum dech, Internet Expoler itu biasanya bisa ‘bocor’ setelah ada regular maintenance computer oleh Mr. IT yang dilakukan sekitar 1-2X sebulan. Nah ketika terjadi kebocoran itu, kalaplah gue dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dan se-sok tau-sok taunya men-klak-klik semua hal yang gue mau tau. Nah khan, Kebuttttt man!!

Jadi waktu itu, gue rajin banget searching Wikipedia. Cari tau soal  Nazi—1 hal yang gue suka banget— serta sejarah dan perjalananya. Juga soal bedanya syiah dan suni—yang bahkan para muslim sendiri suka gak paham kalau gue tanya—, para tokoh-tokoh dunia. Intinya waktu itu gue lebih ke banci pelajaran deh. Padahal  engga semua juga bisa gue baca, jadi setiap data-data yang gue dapat akan gue save di word trus gue simpan. Halaah, pokoknya lebih ke sok pinter deh. Maklum ex-SMEA jadi pelajaran sejarahnya kurang banget. Hehehe…

Dari hasil ‘ngintip’ blognya bang VS, lalu gue iseng bikin blog. Isinya ter-inspirasinya dengan novel Laskar Pelangi. Gue kok  terkesan dengan cara ‘jujur’ si Ikal ini menggambarkan semua tokoh yang ada dengan seadanya. So pure and honest—dari kacamata dia lho—. Terlepas soal kisahnya yang secara keseluruhan memang mengugah ya, tapi  bagaimana dia bisa bilang temen ini begini dan begitu, si ini baik tapi… si ini ada buruknya tapi…  si ini indah tapi… etc etc dech. Si oportunis, si bodoh, si  aji mumpung dan si sok tau. Gue sih meng-enterpreture-kan gambaran si Ikal begini…

Maka dengan sok-sok an pula  gue menuliskan hal yang sama (menurut gue) di blog itu. FYI, SUMPAH ABISSSS, setelah menulis sekali itu, gue TIDAK PERNAH lagi bisa menemukan link blog ini. God know how I’ve tried to looking for it, but I always fail. GUE TIDAK PENAH NEMU LAGI BLOG INI.

April 2012,
Bertahun-tahun kemudian,  setelah membuat blog lain di April 2011. Seorang teman protes KERAS, karena dalam sebuah blog ini ada sebuah kisah yang memang  gue sebut namanya. GOD FOR SHAKE,  there is no bad thing actually in that  blog. Tapi dengan gayanya yang  anggun— gue hapal banget  teman gue yang satu ini—dia ‘tegur’ gue dengan banyak kalimat  ‘dear’, tapi  intinya:  blog gue selalu annoying.

Oh Gosh, kalu ada kalimat yang salah gue bikin… gue rela dicium Adam Levine sampe jontor deh. Hehehe, lagi addict sama dia nih.  Nothing, nothing man…  just  named her as my best  friend yang  selalu dekat tapi jauh, seperti benci  tapi rindu, because I love her. So, memanjanglah komplen ini sampe  ke-blog  gue yang dolooo itu, dikasih link-nya segala bow.  Dan dunia maya menjadi saksi, kalau pencarian gue terhadap blog ‘curcol’ (*curang en colongan, hehehe)  itu akhirnya berakhir. Bukan karena gue cari, bukan pula karena ada komen pembaca… tapi karena gue di ‘omelin’ teman dengan banyak kalimat ‘dear’nya.  Anoying Blog, kata beliau.

Ditambah dengan nasihat indah, “gue pikir hidup loe sudah cukup berwarna.” HALLOOOOO… kalu gue salah koreksi  ya teman. Tapi kok kalimatnya seperti penghinaan buat gue, betapa kehidupan gue yang hitam-putih ini ini gue warnai dengan annoying teman-teman lama.

April 2012,
Privilege yang gue terima diperusahaan ini lumayan banyak, Free IE salah satunya dan  gue tidak menyia-nyiakan ini dengan membuat blog. Kebetulan  perusahaan gue ini lebih oriented ke result  bukan aturan-aturan cara kerja. So, gue bisa punya cukup waktu buat nge blog. Hai hai hai.

Waktu itu gue belum sadar ‘dosa’ blog lama dan memang gak nemu.  Sempet  gue mikir sendiri, buat apa sih gue ngeblog? Iya gue suka nulis sejak SMP, malah kertas coret-coretan-nya gue masih gue simpen sampai sekarang. Tapi gak kebayang gue kasih liat orang baca itu (kebanyakan sih cerita fiksi). Back to blog, sampai beberapa bulan kemudian pun gue masih belum pernah ‘pamer’ itu blog. Cuman gue ketik, gue baca sendiri, gue nangis sendiri atau gue nyengir sendirian.  Pokok-nya blog itu dari gue, untuk gue dan oleh gue seorang lah... kwkwkw.  Republik Mawar gitu lho.

Gue jago ngebacot— yang kenal gue tau pasti itu—tapi gue gak gak pinter merayu, speak-speak manis,  janji manis dan sok lelembutan kaya Suzana di film kuntilanaknya... (inget khan jargon: bang satenya sepuluh ya bang, hehehe). Hmmm, intinya yang smooth and tender itu bukan dari gue lah.  Gue gak hobi cerita betapa gue juga punya sisi lembut,  gue gak suka ngumbar  ‘kelemahan’ gue  *dalam arti sifat lho, bukan kesalahan. Gue lebih dikenal sebagai  perempuan garang, kasar, berani dan menjurus ke provocative.

Because of my toughness, bahkan sampai di beberapa masa suami gue masih selalu berfikir, “you never in love with me, you never ever had this feeling.” Yes he still announce that,  bahkan setelah gue beranak 3 kali.  Males gak sih, gue sih bukan tipe perempuan yang bakal bales... “Oh darling that's not true, of course I love, I need you, I want you and  bla bla...”  That is not me.  Buat gue kebaikan, kemanisan, keindahan, kekaguman yang terlalu sering diumbar  berkesan basi. Sikap-sikap inggih-inggih, haha-hihi,  tebar pesona  kebaikan, jaga image... bukan gue banget.

Pemikiran dan ide gue sih, kalimat pujian itu cukup sedikit tapi guna, daya, manfaat, kena, tepat, nancep, terpatri, halahhhhh … apa sih :P, nah kalau soal bertindak baik dan gak cari muka semata, I think I am on it already, ceilee. Hahaha.   Tapi kenyataanya setiap kali ribut soal RT, kalimat itu selalu aja di semburkan laki gue dengan penuh kepiluan, padahal sesungguhnya gue-lah yang terluka dengan pertanyaan bodohnya itu.

Suatu kali, kayanya udah hampir penghujung  tahun deh. Gue bilang aja sama suami supaya baca blog gue. Rada ngilu juga perasaan gue waktu ngomong. Ya iyalah, itukan dunia gue yang belum mau gue bagi, itu khan ‘kartu AS’ gue, itu khan Mawar disisi yang lain. Gue engga minat dikomentarin, engga siap dipuji, lebih engga siap lagi dikomplen, hehehe. Dan gue pesen KERAS sama dia, “loe baca jangan waktu ada gue, dan aturan ini pasti atau gak usah baca sama sekali.” :D

Kemudian, keesokan harinya. Reaksi pertama dia adalah layar terkembang eh salah dink, senyum terkembang. He got my point already. Dan memang untuk itulah alasan  gue bikin blog pada mulanya. Gue BERHARAP DIMENGERTI.  Walau belum sampai pada tahap minta ‘diperhatiin’.  Di blog,  gue memang menunjukan sisi seorang Mawar yang sesungguhnya. Gue yang sakit hati, gue yang ketakutan, gue yang tulus, gue yang lemah gue yang minta ditemenin, gue yang sesungguhnya tidak selalu sekuat apa yang gue pertontonkan. Gue yang memang  sudah ‘belajar’ pada kehidupan diusia yang sepantasnya gue masih bersenang-senang.  Semua pengalaman  buruk, pahit, getir, marah, bangga, bahagia dan banyak keterpaksaan  yang engga semuanya bisa gue ceritakan dengan bahasa lidah. Ohhh..

April 2012,
Ada juga blog yang isinya  geregetan. Geregetan dengan spot sight yang baru aja gue dapat.  Lalu dengan terburu-buru ngegambarin kembali  sudut pandang gue secara pribadi, apakah itu setuju atau justru beda banget. Pokoknya I  just wanna tell it, walau kadang-kadang saking ‘napsu’nya, penyampaiannya malah jadi aneh…  gue aja berasa begitu apalagi yang orang lain yaks?

Ada juga yang—kata laki gue sih engga jelas alias gak enak dibaca—...  Usut punya usut,  itu ceritanya gara-gara gue—dengan segala kerendahan hati— berbagi dengan seorang teman.  Setelah diawali dengan kritikan dan kritikan,  karena sepanjang kenal dengannya, nyaris belum pernah gue merasakan pujiannya—dia lebih common ngeceng-in, ngeledekin dan protes— .  (Sampai pada suatu masa gue berhenti berpikir kalau memang  that what  friends are for).  Dia bilang kalau tulisan itu harus ada ‘nasihat’ didalamnya.  Entah kenapa, as I always  said “ friend is a teacher” so I follow her advice. Makanya ada beberapa tulisan gue yang sok nasihatin.

Dan setelah suami gue baca dia malah bilang, “aku gak suka yang ini, ini dan ini… agak-agak gimana ya??”. Owh, protes dong gue, menurut gue nasihat temen gue itu bener dong, harus ada pesan, synopsis, nasihat  didalam sebuah tulisan. Sebagai ‘penyuka’ nulis, bukan pengamat ya bow!  Gue merasa ‘nasihat’ itu bener  kok. Kemudian ketika sedang ‘on my  writer mood’ dan gue baca ulang beberapa tulisan, gue kok ngerasa… ihh, bukan gue deh dengan gaya begini. Kemudian gue compare  penilaian laki gue dengan perasaan gue, “tulisan itu sok ngajarin banget ya babe, kaya baca Koran?”. Yaps mom, jawab laki gue.

So again, kembali ke muasalnya gue mau nulis blog. Ini khan blog gue, ini dunia gue, ini pengalaman gue, ini cerita gue dan inilah perasaan dan gaya gue. Kenapa gue mesti terganggu dengan gaya penulisan ‘baku’ dan pesan ‘moral’ secara ekplisit.  Kalau orang mau cari pesan dan kesan yang  tertulis, yah sering-sering aja baca kitab suci. 

Blog ini, memang pada mulanya adalah penyampaian perasaan seorang Mawar terhadap dunia yang dikenalnya,  perjalanan hidup yang dialaminya dan segala cerita yang dihadapinya. INI MEMANG SUDUT PANDANG SEORANG MAWAR PRIBADI.  Terutama dan most of all, ini adalah sudut pandang Mawar yang sosialis dan liberal bertemu dengan pribadi Monang Siregar yang conservative abis. Suami gue yang sering banget kontra dengan pikiran gue. Need him to know my view deeper and deeper,,,
       
April 2012,
Tidak ada maksud apalagi niat bikin tulisan sampe 100 kisah dalam 1 tahun. But waktu gue lihat dipenghujung april ini gue sudah bikin 99 tulisan. Kemudian gue berfikir, kenapa gak gue genapin aja nih sampe 100. Hmmm, jadi  100 kisah tepat dalam satu tahun. Lalu Tutup.

April 2012,
Ternyata berbagi blog itu menakutkan, bisa jadi berkat, bisa jadi cibiran bahkan bisa jadi pedang buat diri sendiri. Tapi sekarang, bahkan lebih nyakitin kalau gak ada yang baca, hehehe.  But for me, from April 2011 to April 2012, finally I know better  why I love to blogging.  karena sesunggunya this is my passion, this is my desire from a very long long time ago. Even the time I haven’t realize it.

Happy blogging Mawar*berasa kaya Mr. Bean yang ngerayain natal sendirian sambil menghibur diri, Hahaha.  

23 Apr 2012

I am Vertigo Now,,,

 “Mba, kayanya elo jarang sakit yach,” sebuah kalimat lama ini mendadak jadi signal baru dikepala saya. Kalimat ini dulu kala diucapkan oleh seorang teman—yang waktu itu masih gadis, tidak pula pekerja keras (apa hubunganya coba, hehehe)—tapi sering banget sakit. Memang sih sekedar sakit-sakit flue dan pusing, tapi menururut saya ini cukup mengganggu skejul saya juga.

Menganggu, maksudnya apa ya?? Ya kalau dia sakit, karena waktu itu dia adalah salah satu teman baik saya berbagi juga bertengkar—saya tidak pernah berdebat dengan dia, karena dia tidak sepandai saya berbicara. Tapi dia jago menyudutkan dan ‘memaksa’ orang untuk bercerita... maka sering akhirnya saya ‘terpaksa’ bercerita sambil marah-marah karena merasa kalah dengan desakanya, hihihi—maka jika dia absen,  bisa-bisa seharian dikantor saya hanya serius bekerja. Gak penting sih kelihatanya, tapi sebagai seorang story teller (bahasa halus untuk whisper blower alias biang gossip, hahaha) ini lumayan membuat mulut saya berbau untuk beberapa jam. Kebanyakan mingkem, :p.


Saya sering memarahi dia, karena hampir 2 atau 3 bulan sekali dia pasti mengambil cuti sakit. Mulai dari batuk, pilek, flue, sakit kepala dan penyakit ‘ringan’ lainnya. Biasanya dia memang kesal dengan komplen saya dan membalas, “Ih mba loe mah aneh, siapa juga yang mau sakit”.

Betul, otak waras saya  juga setuju dengan kalimat itu. Tapi menurut saya lagi nih, ada obat diatas obat, ada ‘non obat’ sebagai penyangkal penyakit ‘ringan’ yang sering diabaikan orang. Misalnya makanan, jangan stress dan jangan banyak ngelayap. Nah biasanya saya akan lanjut mengkotbahi-nya dengan dalil saya ini. Mesti ada yang dilalaikan, cerocos saya.

Soal sakit ini, dia hampir tidak pernah membantah saya. Dia mengakui kalau saya memang termasuk yang jarang sakit. Tanpa bermaksud mendahului kuasa Tuhan Yang Maha Esa, untuk ukuran bekerja selama 5 tahun lebih, rasa-rasanya saya bisa menghitung dengan jari tangan kanan saja berapa kali saya pernah cuti karena sakit.

Biasanya saya mengambil  cuti lebih karena alasan lain, seperti mengantar suami ke dokter, mengantar mama menjenguk saudara, iseng-iseng shoping ke blok M atau sekedar ada acara keluarga/gereja. Intinya saya hanya pernah 2x1 hari benar-benar mengambil cuti karena sakit. Selebihnya lebih ke ‘mencuri’ cuti haid untuk urusan Pribadi. Saya juga tidak hoby bohong pakai alasan sakit. Takut banget kualat.

Alasan saya merasa selalu sehat adalah, yang pasti dan pertama adalah, kebiasaan saya melahap semua jenis makanan. Kata mama saya, yang tidak suka makan—karena perokok dan pengopi berat—makanan apalagi nasi adalah obat pertama kalau sakit, makanya beliau termasuk yang jarang makan tapi kalau sudah sakit beliau akan ‘memaksa’ diri untuk makan teratur.

Kesibukan dikantorsebagai assistant alias pembantu beberapa orang sales dan marketing dan senangnya sekaligus susahnya, saya adalah tuan rumah di departemen ini, baik dari urusan ISO, form/surat/amplop/alamat, prosedural dan tetek bengek admin lainya. Ini mengharuskan saya harus sering-sering stand by dikantor demi customer satisfaction. Ceile, prikitew, hahaha. Dunia bekerja selalu meyenangkan kah?? Tidak juga (see my another previous blog ), gaji juga jauh dari kata cukup. Tapi memang tanggung jawab sepertinya ‘membuat’ saya terpaksa harus jarang sakit. Apa siyy??? :p

 
Kurang dari 6 bulan sejak bekerja diperusahaan ‘baru’ saya. Dengan kondisi pekerjaan yang jauh lebih baik, banyak teman—lebih banyak dari yang terdahulu—, privilege-nya lumayan lebih lumayan daripada lumanyun dulu, angkutan juga tidak sulit, makan pun ada pilihan, pekerjaanpun hanya 1 macam (beda dengan perusahaan terdahulu, dimana saya biasa multi tasking). Kebetulan juga bos disini ‘melarang’ saya melakukan tasking-tasking lain yang tidak berhubungan dengan admin ini.

Waw, bagi orang-orang yang suka kenyamanan, mungkin ini adalah pekerjaan impian semua orang. Hanya focus pada 1 path, wah wah wah… ini bakal menyenangkan, saya akan explore semua ilmu ke’admin’an yang saya bisa dengan lebih gigih. Batin saya waktu itu.

2 minggu pertama. Saya diare berat, setiap habis minur air kantor saya pasti ke toilet. Meeting dengan toto keramik, hehehe. Okelah, lama-lama saya mulai bisa beradaptasi dengan si air minum ini, yang beda merk dengan air mineral yang biasa saya konsumsi. Matter of  adjustment nampaknya.

Tidak sampai beberapa bulan, kapala saya sering pening. Ini tidak biasa saya alami dulunya. Hidung bisa meler sampai berminggu-minggu, tenggorokan cepat sekali panas dan meradang. Opss, ini menyebalkan sekali. And then, setelah seharian saya memaksa untuk bekerja, padahal badan sudah terasa sudah sangat ngilu dan kepala rasa berputar sejak kemarin-kemarin. Siang itu saya ijin cuti setengah hari.

Sepulang dari dokter dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya, (dari banyaknya baca-baca dan buka internet) kata dokter tanda-tandanya jelas: vertigo. Iam vertigo now, Mawar got Vertigo.

Dan sejak di-duga vertigo itu, hampir setiap bulan kepala saya membawa saya untuk menikmati perputaran dunia dengan cepat dan serangan kelebat yang memaksa tenggorokan saya untuk memuntahkan isinya. And now, untuk kesekian kalinya lagi. Saya menolak ajakan serangan jaring laba-laba itu untuk beristirahat.

Memaksa diri untuk bangun dan beraktifitas seperti biasa. Dan setiap kali serangan itu datang, ia menarik mata saya untuk terpejam, dan reflek menekan telapak tangan dikepala. Kemudian kata-kata teman saya beberapa tahun yang lalu seperti sebuah radio usang  yang berusaha menghibur saya.

“Mba, kayanya elo jarang banget sakit ya?”. Yes I am darling, :)

20 Apr 2012

Grace di suatu sabtu

Sabtu pagi.
Seperti biasa kalau libur begini aku memilih untuk bangun siang. Kebiasaan baru, mertuaku—yang biasanya jadi rekan tendemku dalam mengurus bayi Grace—sekarang setiap sabtu malam, bahkan kadang-kadang jumat malam atau malah bisa juga minggu siang pergi kerumah saudara yang rutin menghadiri pesta-pesta  Batak. Intinya beliau  tidak ada di sabtu pagi itu.

Pagi itu suamiku akan pergi karena ada urusan. Sekitar jam 7-an kurang, jauh-jauh sebelum berangkat dia sudah mengingatkan aku.
               “Dek aku mau pergi, kakak udah jalan sekolah. Grace masih tidur tapi jangan sampe dia bangun duluan dari kamu...”
                “Hmmm,” jawabku sembarangan, masih ngantuk.


Please deh jangan bilang I am a  lazy mother—walaupun ini bukan kesan yang baik—hehehe. FYI ya, setiap pagi bus jemputan kantor sudah tiba antara jam 5.50 sampai 6.00 pagi, so sekitar 30 menit sebelumnya aku sudah harus berangkat dari rumah. Secara juga aku ‘kasihan’ kepada si mba tukang cuci, maka biasanya jam 4 sampai 4.30 pagi aku masih disibukkan dengan mencuci baju-baju yang kira-kira bisa masuk ke mesin cuci. 

Makanya teori-ku selalu, sabtu seharusnya adalah hari libur. Time to wake up late, and this is for sure.

Sekali lagi sebelum berangkat suamiku ‘mengingatkan’ aku (lagi) soal bangun ini, dia tau siapa aku dan kita seharusnya sama-sama tau bahayanya jika bayi Grace bangun terlebih dahulu.
“Iya, jangan lupa tutup pintu,” pesanku lagi, masih juga dengan kemalasan.

Sepertinya waktu belum lagi berjalan 5 menit sejak peringatan suamiku tadi  waktu kudengar suara teriakan dari luar. Memang  tidak bisa dibilang heboh lah, tapi lumayan membangunkan aku yang masih tidur.  Meloncatlah aku dari tempat tidur dan memburu si suara tadi. Pintu depan sudah terbuka, dan eng ing eng…

                “Kak  si Grace tuh…,” sambut tetanggaku yang ABG agak panic.
Yang dimaksud malah lari ketawa girang sambil meloncat lincah kecentilan, Grace kabur menjauh dengan kaki tanpa alas. Kantuk ku langsung hilang, pemandangan didepan mata begitu menyeramkan,,, hehehe #lebay mode on. Yang jelas bisa bikin tekanan darah naik mendadak lah, :p. 


Grace menuang semua makanan ikan ke aquarium, asal tau aja…  makanan itu MASIH satu toples ukuran 600 ml penuh. Baru 2 hari yang lalu dibeli, isinya tumpah kesemua penjuru sekitar aquarium. Efek: bau amis dan banyak semut dimana. Hmm,,,


Semua perangkat (sepatu, helm, keset) yang ada ditempat lebih tinggi bertebaran dilantai. Semua itu kelihatan dijatuhkan dengan cara kasar, atau di seret kah atau di julek dengan pakai sapu kah?? Yang pasti berantakan dan kacau.


Sepatu kami memang sudah kehabisan space, bukan karena kami kebanyakan sepatu tapi memang kami tidak punya cukup space untuk menyimpan. Apalagi memisahkan, yang mana sepatu harian, mana sepatu gereja mana sepatu khusus, mana pula sepatu ½ rusak tapi belum tega membuangnya.
Halaah, all in here dan hari itu Grace menyempurnakanya dengan ‘mengepel’ semua sepatu yang terjangkau kain pel-an. Semua sepatu basah kuyup.



Disini, sepertinya  dia mencoba hobbynya yang selama ini kami larang yaitu mencuci baju. Alhasil yang mana cucian yang mana kain lap semua teraduk jadi satu. Belum lagi sandal-sendal yang dia maksud bersihkan, mungkin lho?  Ataukah dia memang menginjak-injak cucian itu (karena pernah melihat cara aku mencuci sprei/selimut tebal kah?). Semua kemungkinan aku praduga-duga…


Ini tutup aquarium, yang—menurut saksi mata, secara sekilas— diturunkan Grace dengan cara menaiki sepeda si kakak dan abang yang tersandar disamping aquarium.

Fuihh, ini bagian yang paling aku takuti setelah mencoba mengolah TKP.  Ceilee, bagaimana coba kalau sepeda itu merosot, gimana kalau dia ketiban aquarium, gimana kalau kepalanya terantuk aquarium, gimana kalau… kemudian ketakutan ku menjadi Thanks God dan sorry my husband, I am sorry for my laziness. Hiks hiks.   

2 Apr 2012

Dangdut is the music of...


 Sesungguhnya lagu dangdut begitu melekat dihati saya. Hmm, sedikit sombong yah… walaupun muka saya agak-agak kebule-bulean lho (karena rajin ngecat rambut maksudnya), hahaha. Tapi, sesungguhnya musik dangdut itu memang sangat dekat dengan kehidupan saya.

Pertama transmigrasi ke Jakarta, kami bertetangga dengan para mas-mas penjual mie ayam dan soto mie. Tanpa ada niat untuk mengecilkan golongan penikmat musik dangdut ini, ehem ehem *goyo ne rek. Mereka memang benar-benar pendengar setia musik dangdut lho.

Kebetulan, mama saya orang yang bertoleransi tingkat dewa, kalau sama orang lain. Jadi walaupun tetangga biasa menyetel lagu sekeras-kerasnya mama tidak pernah komplen, apalagi membalas memasang lagu pop dan Batak kesukaanya dengan rese. Sama sekali tidak!.  Padahal posisi rumah kami saling menempel dengan tembok setengan bilik dan separo triplek. Kalaupun  tiba-tiba di ‘selip’ dengan dangdut yang menggangu, sekalipun, padahal, kami yang lebih dulu memasang musik. Mama akan menyuruh kami mematikan tape.

Yang ada, sepanjang mulai memasak maka para pedagang itu akan menyetel lagu dangdut. Kami baru bisa aman sekitar jam 9 sampai 3 atau 4 sore. Karena begitu kembali, para mamas dan mamang ini akan melakukan aktifitasnya dengan diiringi lagu dangdut lagi. Hai hai hai, bukan Cuma dangdut bro…  juga ada irama lagu-lagu tarling. Oh man!!! :-p.


Artis yang paling sering disebut-sebut adalah; Rhoma Irama, Mansyur S, Hamdan ATT, Megi Z dan Evitamala. Nama-nama artis besar melayu ini begitu akrab ditelinga saya. Akan tetapi, karena di era 80 sampai 90-an lagu dangdut itu begitu berkesan ‘kampungan’, setengah mati saya coba mengingkari bahwa saya tau banyak lagu dangdut.

Ada kisah yang agak unik soal dangdut ini pula. Sebegitu kesohornya seorang Rhoma Irama,   kami (sekeluarga) paling alergi sama artis satu ini.  Trademark-nya sebagai seorang ‘pencinta wanita’ berbungkus  polygami membuat kami sekeluarga menghindari apapun yang berbau Rhoma Irama. Percaya atau tidak, tapi bapak dan mama pasti akan selalu mematikan tivi ketika beliau muncul. Bapak dan mama saya anti kejahatan kelamin. Begitu saya mengistilahkanya. Hehehe,,,

Jadi, walaupun saya tau kalau Rhoma Irama punya banyak lagu–selain dengar  dari radio tetangga, juga ‘curi-curi’ nonton film bang Oma di tipi–. Saya tidak pernah khusus ‘kenal’ lagu si abang  Haji ini. Kalau lagu-lagu mansyur S malah jauh lebih terngiang ditelinga saya. Begitu juga dengan keunikan syair-syairnya seorang  Megi Z.

Belasan dan puluhan tahun kemudian.

Okey… Sejak ABG sampai menjadi ibu-ibu saya masih keranjingan dengan lagu-lagu Barat. Di SD lagu Wind of change-nya Scorpio adalah band barat pertama yang saya gandrungi.  Tambah umur, tambah gaya, tambah sok tau dan tambah pula artis barat yang saya gandrungi. Malah dimasa-masa ini bisa dibilang musik  favourite saya ya barat. Musik  barat dan barat. Lagu Indonesia aja emoh apalagi dangdut.

Maka lupalah saya sama-sekali, malah seperti tak punya memori sama sekali soal dangdut. Nyebut namanya aja berasa kampungan apalagi menyanyikannya. Oh, sory  dory  mory  strobery cuyyy... hahahaha.

Suami saya khas anak muda tahun 90-an. Penyuka lagu-lagu Iwan Fals (kayanya semua angkatan  emang suka bang OI kali yaks…hmmm),  selebihnya dia cuma tau beberapa lagu yang sedang nge-top abis. Tapi kalau saya bisa gambarkan, kayanya dia gak tau lah itu lagu-lagu pop ‘cewek banget’ tahun 90-an.

Setelah berumah tangga, saya masih tinggal diaerah ‘kampung’. Lagi-lagi lagu dangdut mengelilingi saya dengan hangatnya. Walah sekarang dengan tambahan baru, yaitu lagu kasidahan. Tapi kasidahan pop ini  lumayan ‘tidak’ terlalu Islami, jadi saya masih sering juga mendengungkannya.

Saya mulai bekerja dan pergaulan agak-agak naik kelas ke menengahan dikiiiit, ceile :p. Sering saya terlibat dalam beberapa acara sebagai emsi dan–kadang– sebagai penyanyi juga. Sebagai orang yang (masih) keranjingan lagu barat, jelas lagu barat selalu jadi andalan saya. Beberapa applause sering bikin kepala agak bengkak.

But, akan tetapi, namun demikian… However, ternyata acara selalu hidup dengan lagu dangdut. Nyanyian saya bisalah membuat orang senyam-senyum sebentar,  tapi lagu dangdut yang gak jelas dan patah-patah dan gak hapal dan gak pasti syairnya itulah yang selalu membuat acara hidup. Sepenggal-sepenggal-nya lagu dangdut PASTI  membuat semua orang akan bangun dan berhippi-hippi ria.

Kemudian teringatlah saya dengan kata-kata suami ketika kami baru menikah. “Aku suka lho lagu-lagunya Rhoma Irama”, katanya waktu tetangga menyetel CD-nya Soneta. Membuat saya membeliakkan mata dengan penuh kejijikan. “Coba deh sekali-kali kamu dengerin, lagu-lagu Soneta emang beda dengan lagu dangsut pada umumnya. Musiknya bagus, kata-katanya bagus, m emang lagu Rhoma Irama  bukan dangdut kampung, music dia itu melayu dangdut.

Cibiran saya memanjang dan telapak tangan berpindah ke jidat, OMG… my husband likes music dangdut. “Dia layak disebut Raja Dangdut, karena dia belajar sampai ke Amerika. Dan menurut aku Rhoma Irama memang tak tergantikan”.  Saya Speechless, suami sedang promo Rhoma Irama. Sang artis yang  sedari kecil,  kami dilarang ‘mengenalnya’  oleh bapak dan mama.

Paham suami ini mulai agak saya lunak-kan, ketika saya membaca buku Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Dimana ke-Raja Dangdut-an seorang  Rhoma Irama telah meninggalkan dampak besar dalam kehidupan per-idola-anya.  So,  saya sempat berfikir…  mungkin karegory ‘hebat’ nya suami saya ya sama seperti pemikiranya si Ikal ini.

Now, ketika kerajinan saya di per-emsi-an (walaupun kelasnya masih kalangan sendiri) semakin melebar. Kok saya mulai berfikir ya… I need dangdut, I have to know dangdut more and more, I must sing dangdut.

Karena  saya juga memang bukan penyanyi, maka gak penting sebenarnya ketidak selarasan dayu-dayu dan oktafisasi suara saya. Yang saya butuhkan adalah  lagu dengan ‘energy’.  Saya butuh ‘mantra’  yang membuat semua orang merasakan sensasi yang merakyat. Dan itu bisa saya dapatkan dari musik dangdut.


Kemudian saya teringat masa lalu saya, puluhan tahun yang lalu. Dimana sesungguhnya musik  dangdut itu begitu dekat dengan kehidupan saya.
Rhoma Irama is big parts of my childhood and memories, kata suami saya berkali-kali. 
Oh, Dangdut:-)

29 Mar 2012

Mereka memanggil saya


Di peradaban –atau peradatkan kah?– orang Batak, ada sebuah konvensi yang menjelaskan bahwa seseorang yang sudah menikah apalagi kemudian punya anak, PANTANG  untuk dipanggil nama aslinya. Misalnya saya nih, nama kecil saya adalah Lenchu. Setelah menikah dan kemudian punya anak, maka ‘sebaiknya’ saya dipanggil dengan ditempeli nama anak saya. Mama Jane.

Ini diberlakukan untuk semua orang, bahkan kepada orang yang lebih tua daripada saya sekalipun. Apakah dia sepantaran mama saya bahkan sampai setua opung saya. Malahan,  tante atau teman atau saudara saya yang lainya, walaupun misalnya umurnya jauh diatas saya, alangkah ‘tidak sopan’nya jika dia masih memanggil saya dengan nama asli.

Kebetulan, walau saya orang yang tidak pernah percaya adanya ‘kebetulan’ dalam hidup ini. Kakak saya berjodoh dengan nyong Ambon. Dimana mereka punya gaya hidup dan tradisi  pemanggilan yang bertolak belakang dengan kebiasaan Batak.  Kedua keponakan saya biasa memanggil saudaranya yang lebih tua bahkan sampai nenek/kakek dengan namanya. Seperti, “Oma Santi, Opa Yan, tante Mery, tante Ciang”… Yah, pokonya ada nama tersisip dibalik embel pemanggilan itu. Looks not so big deal?  In Batakness  it’s a horrible man. :p


Maka Nona dan Nyong itu sering memanggil saya “tante Lenchu”. Meskipun bukan keluarga yang saklek dalam tradisi, jelas ini menganggu kenyaman mama saya. “Ai aha do halak on, hera dang maradat. Pese-pese dope nga manggoari”. Yang artinya kurang lebih: kalian ini gak sopan banget, masak anak kecil juga  manggil nama. Hmmm,,,

Adalah si Caroline kami yang mulutnya ceriwis setengah hidup. Anak Karo yang ibu-bapaknya pendiam kelas berat. Bingung khan?? Wong saya aja masih suka heran tuh anak dapat ilmu bawel dari mana. Hehehe...

Demi sok kebarat-baratan, mungkin begitu orang akan menilainya. Tapi niat saya dan mama Oline adalah membuat ‘gaya khas’ sendiri. Maka kami mengajari Oline kecil untuk memanggil saya Aunty daripada Mamatua. Karena dia punya dua orang Mamatua.

Antara latah dan keblibet dengan pemanggilan 2 anak ambon tadi, dan entah siapa yang memulai. Apakah Oline atau 2 anak kakak yang Ambon. Mereka jadi memanggilku dengan sebutan: mama Aunty.Ini belum begitu aneh kedengaranya khan?  Mereka juga memanggil suamiku dengan sebuatan: Om Papa. Hahaha…

So, inilah mark kami didepan semua saudara. Mama Anti dan Om papa.

Papa Oline super pendiam. Orang Karo yang modern apa kampungan kah model begitu? Saya tidak tau mendefinisikanya. Hehehe.  sewaktu dia masih pacaran dengan adik saya. Semua anak-anak biasa memanggilnya Om Bakti. Demi sulitnya memulai komunikasi tentang kepantasan pemanggilan dengan si Om Bakti ini. Sampai hari ini, setelah anaknya- 2 pun, kami bersaudara dan anak-anak memanggilnya dengan om Bakti.


Kami memanggil suami si kakak juga dengan pemanggilan  'ala' Ambonse..

Lebih puluhan kali mama sudah mengingatkan. Bahkan beberapa saudara ada yang menaggapinya dengan enteng,  walau juga ada yang berkomentar ‘berat’ sekali. Sampai berlanjut dengan ceramah.

28 Mar 2012

Piece of (much) unpredictable


Perpanjangan tangan Tuhan yang paling berasa tuh, menurut gue…  bukan karena gedenya atau banyaknya pertolongan itu dikasih. Karena, kadang-kadang ada orang yang emang Tuhan kirim just in time nya kita butuh. Pun kadang ini bukan kebutuhan yang amat sangat mendesak dan Urgent. But tetep harus diakui, saat ini ‘diinginkan’ maka that small things will mean a lot.  

Dan buat gue, yang merasa sebagai ‘penikmat’ kehidupan even in small package, I love to be there. Dan seperti gue pengen bisa nolong orang disaat yang tepat, gue juga akan sangat thank full saat pertolongan tak terduga itu datang.  Apalagi datangnya dari orang yang engga pernah gue pikirkan.

Semisalnya, waktu jaman-jamannya gue nganggur. Asli, terharu-sangat dengan sms beberapa teman-teman yang engga gue ‘perhitungkan’ sama sekali, dan mereka kasih support  dengan bilang, “sabar ya”...  Lalu , soal itu sandiwara atau bukan, gue engga mau jadi hakim disini. Just thank God ada yang inget gue. Swear, it felt like life in live.

Ini juga mengingatkan gue juga pada suatu kejadian Natal dan Tahun Baru beberapa tahun yang lalu. 

Sebagaimana keuangan gue yang agak-agak langka, maka bikin kue diwaktu Natal cuma hayalan buat gue. Suatu kali teman-teman serombongan gereja bilang kalau mereka mau  datang Tahun baru-an. Tentu gue persilahkan dengan senang hati,  padahal gue engga bikin kue apa-apa.

Dengan entengnya gue minta ‘sumbangan’ kue sama nyokab gue, yang kalau Natalan biasa bikin kue kayak buat sekelurahan.  Kayanya nyokab masih terngiang-ngiang, karena dulu tinggal dilingkungan ramai yang  98% masyarakat-nya muslim.  Dimana kalau lebaran kita akan kebanjiran kue lebaran sampai selemari penuh, so kalau natal kita wajib ‘kerja keras’ ngebagi-bagi kue buat semua tetangga itu. I called it, tolerance.
Nah sekarang, dengan tetangga dekat yang kurang dari 10 keluarga,  nyokab masih suka lanjut dengan kebiasaanya itu.  Tapi ini rejeki juga buat gue sebenarnya, pikir gue.

Maka dengan tanpa malu-malu gue minta kue sama nyokab buat menjamu para tamu gue. Pikiran gue, gak lucu juga beli (walaupun sebenarnya bisa dengan kue-kue yang agak murahan). karena  menurut gue,  (lagi-lagi pikiran sepihak bow…)  ada kue nyokab yang sangat banyak itu, dan pasti jauh lebih pantas dan enak buat dihidangkan.

Ternyata eh ternyata, jawaban nyokab kayak belati yang langsung merobek jantung gue. Hehehe…  Lebay deh. Tapi asli, setelah pulang dari rumah nyokab, air mata gue terus bercucuran.  Perasaan sih gue engga pengen nangis, tapi kok air mata jatuh dan jatuh aja.  Hati berasa  perih banget.  Jantung  gue deg-degan tingkat keluarahan, rasanya nyesek, muka terasa panas demi menahan malu yang  tak berperi. Karena nyokab ngomong didepan sodara dan adik gue. Gue berasa kaya kambing yang salah masuk kandang terus diusir dengan kasar.

“Pede banget kau minta-minta kue, emang ada yang kau kasih”, begitu kata nyokab gue dengan mimik muka yang angkuh dan mendelik. Dan sampai detik ini, gue gak ngerti kenapa, bagaimana emak gue yang biasa ‘baik hati’ sama orang sekampung  itu bisa ‘takut’ kuenya gue  pinjem atau pun  minta.


Mulak balging, kata orang batak. Yang artinya kurang lebih pulang dengan kesia-siaan. Gue pulang dengan (perasaan) sih, perasaan gue legowo. Nyokab gue emang suka agak-agak ‘nyelekit’ kalu ngomong sama gue. Mungkin menurut  dia karena gue orangnya  kasar dan keras kepala, so gak bakal punya stok air mata dan ‘sakit hati’. Hiks hiks… kyaaaa, hehehe.. :p

Tapi ternyata sepanjang jalan air mata gue berderai-derai. Gue berasa kayak  pelem India yang habis putus cinta. Padahal gaya gue sok tegar dan muka  juga sok cuek, tapi ternyata…  gue nangis bombay tanpa suara.

Tiba-tiba datanglah tetangga gue ngedeketin. Seorang ibu gendut yang di per-tetangga-an kami agak-agak dianggap menjengkelkan. Karena dia itu suka banget bertamu, minjem, nebeng, numpang, yach…   pokonya segala kegiatan yang lumayan annoying tetangga lainnya. Dari minjem sabun lah, minjem Indomie, minjem shampoo, rinso, bayklin, minta sayur,  minta lauk ...  apa aja lah yang sedang dia butuhin. Sukur-sukur  kalau dia  inget mulangin kalu engga,  dan seringannya sih engga.  Hanya Tuhan dan dia lah yang tau-tau semua itu. Hmmm,,,

Dia juga suka pamer bikin kue ini, kue itu, bisa begono, bisa begini tapi gak pernah sekalipun tetangga ‘mencicipi’. Tapi kalau ibu beliau ini, halaaah… rasanya semua dapur orang sudah ditandanginya. But secara umum, gue tau dia baik, gue akuin dia suka nolong. Tapi sebagai pemberi?  sama sekali tidak!!

“Kenapa mak Jen?”, sapanya lembut.  Mengimbangi air muka gue yang merana. Tambah sedihlah gue ditanya gitu. Maka dengan isak dan sesegukan gue ceritakan kejadian beberapa menit yang lalu itu. “Ya ampun, jangan nagis dong sayang. Nih bawa kue aku”, dia bangun lalu menyodorkan 2 toples kue kering. Dia pinter bikin kue, jadi sudah pasti kue dia lebih enak dari bikinan nyokab gue yang cuma ‘bisa’ bikin kue.

Hati gue rasanya kayak diperas, seperti ampas santan yang sudah kehabisan minyak. Tapi kali ini beda makna, gue terharu, gue begitu ditelanjangi dengan paradok gue soal ibu ini selama ini. “Udah gak papa bawa sana, nanti khan tamu kamu mau datang. Mandi sana sudah jangan sedih. Engga usah dipikirin, aku bikin kue banyak kok”, sambungnya lagi. Padahal gue tau pasti, dia bikin kue palingan 4-5 toples. Sedangkan dirumah emak gue, kalu ditoplesin model ginian kue bisa jadi 20-an toples. Lebih malah, karena macamnya yang banyak.

Sampai para tamu berdatangan, entah kenapa air mata gue terus aja bercucuran. Padahal gue sama sekali engga kepengen nagis.  Sampai ada seorang teman bilang, “wah ibu Mawar semalam acara Tahun Baruanya seru ya, masih terharu aja kayanya”.

Only God knows, haru-biru dan sakit-hati  jadi satu hari itu. Pertolongan ‘kecil’ tapi tepat pada waktunya, dari orang yang sama sekali engga gue perhitungkan.

26 Mar 2012

Apakah sukses itu??


Percakapan seperti ini biasa aku dan suami lakukan. Walau bukan tipikal keluarga model per-sinetron-an Indonesia. Dimana saat menjelang malam, semua anggota keluarga akan berkumpul didepan tivi. Dengan posisi Bapak yang asyik dengan pekerjaanya atau kebiasaanya baca-baca buku dan atau koran, lalu si ibu dengan hangat memeluk anak-anak sambil nonton tivi. Hihihi, drama dech.

My real world is… aku dan suami bisa bercakap-cakap ‘normal’. Walaupun suamiku sedang sambil mandi di kamar mandi. Yaps, dengan ukuran kontrakan kami, maka ini sama sekali bukan masalah. Dengan suara yang tinggi dan tidak saling melihat wajah, obrolan dan cerita-ceritaan kami bisa terus berlanjut.


Sekali lagi, memang bukan seperti sinetron Indonesia yang rumahnya 3 lantai. Tapi hal seperti ini bukanlah kemustahilan. *Sinis amat?? hehehe… Artinya, aku cuma mau mengingatkan kita semua.  Bahwa komunikasi, percakapan dan dialogue rumah tangga, baik soal pekerjaan, teman dan sekedar remeh-temeh bukan hanya milik sinetron, orang pintar atau keluarga dengan sikon yang ‘mendukung’. Ini seharusnya terjadi dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja dan dirumah model apa saja. We need to talk each other. Seperti yang aku biasakan dirumah.

Dengan keadaan letih setelah seharian berkuli, dan anak-anakku ngambrug didepan tivi kamar. Sesekali terdengar teriakan iseng si kakak dan tangis cengeng si abang. Ada juga suara rusuh oppung yang diganggu si adik didapur. Opung sedang ada urusan didapur, dan bayi ku yang tidak lagi mungil itu akan terus membuntutinya. Sesekali si oppung terdengar kesal sambil gemas.

Sebagai keluarga ‘biasa’ saja, aku dan suami biasa membahas masa depan, cita-cita dan hayalan tingkat tinggi kami secara ‘luar biasa’. Sebagai orang ber-Tuhan, kami sama-sama percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Perjalanan kehidupan kami sudah mengajarkan kami, bahwa keadaan akan selalu lebih baik. Walaupun seringkali, setelah badai yang tidak mengenakan menghampiri. Juga tidak langsung seperti harapan kami sebagai manusia biasa.

Perjalanan rumah tangga kami yang dari minus (bukan sekedar nol), benar-benar mengajarkan kami untuk selalu bersyukur atas setiap unsur kecil dalam kehidupan kami. Seperti pekerjaanku yang sekarang sedang kami bahas malam ini.  

Katanya, menurut interview yang aku hadapai dimuka dulu. Diperusahaan ‘mimpi’ku ini, ada yang namanya jenjang karir, juga regional exchange employee . Maka aku dan suami berandai-andai.
 “Wah, keren kali ya kalau gue bisa kerja di regional company…”, diawali aku yang  baru tau kalau disini ternyata walaupun ‘cuma’ staf  tapi bisa juga di mutasi ke luar negeri. Yah…  kelasnya memang baru Asia Tenggara. Tapi sebagai seorang yang (lagi-lagi aku akui..), luar negeri adalah satu dari sekian banyak mimpi liarku, maka berita ini langsung membuatku merasa berbunga-bunga.
“Keluarga dibawa khan?”, sambar suami-ku cepat.
“Yaelah,,,”,  balasku dengan agak kesal.

Menurut aku suamiku lebay. Dia berlebihan dengan ‘ketakutanya’ berpisah dengan aku dalam bentuk apapun. Ini bukan drama, kami memang tidak terbiasa saling berjauhan. Mungkin karena sindrom awal-awal pernikahan kami yang super sulit. Dimana keadaan memaksa aku dan suami banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Jadilah ini salah satu buah simalakama kami bersama, atau mirip juga lagu “Jatuh Cintanya” eyang Titik Puspa. Karena, kalau berjauh-an kami akan saling kebingungan, tapi kalau dekat bawaanya gerah. Hahaha…

Pokonya, kami memang tidak bisa jauh-jauhan dan untuk itu aku sepakat. Akan tetapi, demi rejeki bekerja di luar negeri gak masalah kale… kata batinku dengan sewot. Ya lah sewot, khan teorinya kalaupun, seandainya, semisal  aku sampe di ‘kontak’ bekerja diluar negeri, statusku tetap ‘cuma’ staf. Dimana-lah ada jatah staf  ‘paket keluarga’.

Nyebelin deh pertanyaan si abang ini. Aku jawab kemudian dengan gaya ku yang khas, panjang, melebar dan pake urat,,, *dikittt. Hehehe
“Lo lebay banget sih pak, mana ada sih staf punya jatah buat keluarga. Kalu gue manajer tuh baru. Dikirim ke luar negri pasti dapat jatah keluarga. Rugi-lah kalu staf juga pake bawa-bawa keluarga, siapa loh… Lagian kenapa sih, palingan kontak  2 tahun. Lagian juga Singapore  deket kali, sebulan sekali pulang juga gak bangkrut-bangkrut amat, kalau gak mampu ya naik kapal feri juga gampang”.
Hebat khan hayalan kami. Bukan hanya sampai berandai-andai tapi ke juga detailnya kami pikirkan, hehehe... “Yah, gak enak dunk. Percuma”, timpal suamiku dengan nada malas.

Tidak kalah ekspresi aku mendengus sambil kesal, “udah bagus ada jenjang karir Bang. Dimana-mana mah kalau orang mau sukses itu harus ada harganya kali. Emang lo gak mau gue naik status, emang lo keberatan kalu gue jalan sendiri. Kali aja balik dari luar negeri bisa nambah-nambahin kenalan. Siapa tau bisa jadi loncatan baru, siapa tau… siapa tau”, panjang lebar lebih mirip protes kalimat ku.

Btw, aku bisa memanggil suamiku dengan panggilan yang disesuaikan dengan sikon. Awalnya, -biasanya- bisa panggil sayang, babe,  dady, papa. Kalau sudah kebanyakan ngobrol bisa sampe ke kamu, abang, bapak. Dan kalau sudah panas bisa jadi elo bahkan ‘nama’nya. Hehehe,,, yaps that’s me :p.

Lama aku mencoba memahami pola pikir suamiku yang berpendapat, “enakan usaha sendiri dari pada kerja”. Karena prinsip aku, bekerja adalah gabungan dari: gajian, ekistensi dan pamor. Terlepas soal gaji. Karena umumnya, engga mungkin juga kita curhat soal gaji sama tetangga toh. Tapi suamiku selalu berprinsip, “pedagang sayur penghasilanya gak bisa ditakar, kalau orang kerja kebaca”. So,  bicara soal link, kenalan dan jaringan pertemanan yang ‘bermutu’  adalah  materi kami sejak dulu.

Aku melirik kesal, suamikumendadak diam. Seharusnya dia tau kalau keluar negeri adalah salah satu mimpiku yang paling liar. Kediam-annya membuatku memaksa sinis, “ngambek lo?”.
Dia menatap aku dengan tulus lalu menjawab pelan, “sukses itu apa sih?”, bolamatanya menatap plafon rumah dengan gamang. Gerundelku memanjang, apa-apaan sih manusia ini omelku sendiri. Pertanyaanya berkesan nyolot, menurut aku.

“Ya bisa punya gaji gede, jabatan bagus, naik pangkat, sekolah bagus”, balasku asal-asalan. Daripada aku jawab “muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga??” hehehe, khan bego. Tapi inti jawabanku ya emang asal saja. “Apa semua selalu soal materi?”, Tanya balik suami aku dengan pelan.
Commonly sih gitu pak. Istri/suami cakep, punya mobil, punya karir, anak-anak pinter dan berprestasi”.
Suami ku putar badan, lalu kami berhadapan. “Nah kaya kamu nih, semisalnya naik jabatan trus kerja di Singapore dengan gaji gede tapi tanpa bawa keluarga. Apa artinya?”.

Aku jadi bengong, “jangankan kamu, anak-anak engga akan aku kasih kost kalau sudah gede”.
“Wah, parah lo Bang. Lah kalu dia berjodoh sama orang bule. Jangan cetek lah”, aku sudah tidak lagi marah, lebih ke heran bin aneh. “Ya buat apa ‘denger’ anak sukses tapi gak bisa ngelihat dengan mata-kepala sendiri. Apa bedanya sama orang dunia yang kaya-raya tapi gak punya waktu buat keluarga”.
Aku bengong, garis tipis antara bodoh dan keikutan bingung *(terpana lebih tepat kayaknya), karena pada dasarnya aku pun bukan tipe manusia matrealisme. Tapi bicara karir dan luar negeri memang merupakan kacamata umum sukses toh? Setuju dunk!!.

“Nah sekarang menurut kamu sendiri, sukses itu apa?”, suamiku menggeleng dengan pertanyaanku.
 “Yah itu dia, sampai sekarang aku masih gak paham dengan kata ‘sukses’. Karena kebanyakan orang ya akan bicara seperti yang kamu bilang tadi, tapi menurut aku kalau cuma materi mah bukan sukses namanya. Orang komunis juga sukses, koruptor juga sukses dong, apalagi mereka. Perempuan mana yang mau deket-deket, pengedar narkoba juga sukses dong, mafia..bla bla bla”.
“Terus, menurut kamu apa dong?”, aku malah jadi bego sendiri.
“Aku gak tau. Beneran, dan sama sekali gak paham kalau orang pada bicara sukses-sukses. Aku gak ngerti, makanya aku nanya”, suamiku masih dengan raut wajahnya yang datar dan gamang.


Dan aku, yang biasanya bicara panjang dan melebar plus pake nyolot, hanya bisa diam dan mencoba mencerna (lagi) pemikiran suamiku. Pemikiranya yang sering kali (terlihat) begitu dangkal tapi dalam, begitu bodoh tapi penuh nilai.

*Kenyataan: didunia dan tempat yang aku tinggali. Bahkan ditempat ‘rohani’ sekalipun. Belum ada yang men-sejajarkan kesuksesan dengan: etika, keharmonisan, memberi tanpa pamrih, rumah tangga, kejujuran, falsafah hidup, non SARA, damai-sejahtera, kesehatan, tawa lepas, ucapan syukur dan aneka hal kecil lainnya.  Sukseskah itu??... fuihhh…