Percakapan
seperti ini biasa aku dan suami lakukan. Walau bukan tipikal keluarga model per-sinetron-an
Indonesia. Dimana saat menjelang malam, semua anggota keluarga akan berkumpul
didepan tivi. Dengan posisi Bapak yang asyik dengan pekerjaanya atau kebiasaanya
baca-baca buku dan atau koran, lalu si ibu dengan hangat memeluk anak-anak
sambil nonton tivi. Hihihi, drama dech.
My real world is…
aku dan suami bisa bercakap-cakap ‘normal’. Walaupun suamiku sedang sambil
mandi di kamar mandi. Yaps, dengan ukuran kontrakan kami, maka ini sama sekali
bukan masalah. Dengan suara yang tinggi dan tidak saling melihat wajah, obrolan
dan cerita-ceritaan kami bisa terus berlanjut.
Sekali lagi, memang bukan seperti sinetron Indonesia yang rumahnya 3 lantai. Tapi hal seperti ini bukanlah kemustahilan. *Sinis amat?? hehehe… Artinya, aku cuma mau mengingatkan kita semua. Bahwa komunikasi, percakapan dan dialogue rumah tangga, baik soal pekerjaan, teman dan sekedar remeh-temeh bukan hanya milik sinetron, orang pintar atau keluarga dengan sikon yang ‘mendukung’. Ini seharusnya terjadi dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja dan dirumah model apa saja. We need to talk each other. Seperti yang aku biasakan dirumah.
Dengan
keadaan letih setelah seharian berkuli, dan anak-anakku ngambrug didepan tivi kamar. Sesekali terdengar teriakan iseng si
kakak dan tangis cengeng si abang. Ada juga suara rusuh oppung yang diganggu si
adik didapur. Opung sedang ada urusan didapur, dan bayi ku yang tidak lagi
mungil itu akan terus membuntutinya. Sesekali si oppung terdengar kesal sambil
gemas.
Sebagai
keluarga ‘biasa’ saja, aku dan suami biasa membahas masa depan, cita-cita dan
hayalan tingkat tinggi kami secara ‘luar biasa’. Sebagai orang ber-Tuhan, kami
sama-sama percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini.
Perjalanan kehidupan kami sudah mengajarkan kami, bahwa keadaan akan selalu lebih
baik. Walaupun seringkali, setelah badai yang tidak mengenakan menghampiri.
Juga tidak langsung seperti harapan kami -sebagai
manusia biasa-.
Perjalanan
rumah tangga kami yang dari minus (bukan sekedar nol), benar-benar mengajarkan
kami untuk selalu bersyukur atas setiap unsur kecil dalam kehidupan kami.
Seperti pekerjaanku yang sekarang sedang kami bahas malam ini.
Katanya,
menurut interview yang aku hadapai dimuka dulu. Diperusahaan ‘mimpi’ku ini, ada
yang namanya jenjang karir, juga regional
exchange employee . Maka aku dan suami berandai-andai.
“Wah, keren kali ya kalau gue bisa kerja di
regional company…”, diawali aku yang baru tau kalau disini ternyata walaupun ‘cuma’
staf tapi bisa juga di mutasi ke luar negeri.
Yah… kelasnya memang baru Asia Tenggara.
Tapi sebagai seorang yang (lagi-lagi aku akui..), -luar
negeri adalah satu dari sekian banyak mimpi liarku-,
maka berita ini langsung membuatku merasa berbunga-bunga.
“Keluarga
dibawa khan?”, sambar suami-ku cepat.
“Yaelah,,,”, balasku dengan agak kesal.
Menurut
aku suamiku lebay. Dia berlebihan dengan ‘ketakutanya’ berpisah dengan aku
dalam bentuk apapun. Ini bukan drama, kami memang tidak terbiasa saling berjauhan.
Mungkin karena sindrom awal-awal pernikahan kami yang super sulit. Dimana
keadaan memaksa aku dan suami banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Jadilah
ini salah satu buah simalakama kami
bersama, atau mirip juga lagu “Jatuh Cintanya” eyang Titik Puspa. Karena, kalau
berjauh-an kami akan saling kebingungan, tapi kalau dekat bawaanya gerah. Hahaha…
Pokonya,
kami memang tidak bisa jauh-jauhan dan untuk itu aku sepakat. Akan tetapi, demi
rejeki bekerja di luar negeri gak masalah kale… kata batinku dengan sewot. Ya
lah sewot, khan teorinya kalaupun, seandainya, semisal aku sampe di ‘kontak’ bekerja diluar negeri, statusku
tetap ‘cuma’ staf. Dimana-lah ada jatah staf ‘paket keluarga’.
Nyebelin
deh pertanyaan si abang ini. Aku jawab kemudian dengan gaya ku yang khas,
panjang, melebar dan pake urat,,, *dikittt. Hehehe
“Lo
lebay banget sih pak, mana ada sih staf punya jatah buat keluarga. Kalu gue
manajer tuh baru. Dikirim ke luar negri pasti dapat jatah keluarga. Rugi-lah
kalu staf juga pake bawa-bawa keluarga, siapa loh… Lagian kenapa sih, palingan
kontak 2 tahun. Lagian juga Singapore deket kali, sebulan sekali pulang juga gak
bangkrut-bangkrut amat, kalau gak mampu ya naik kapal feri juga gampang”.
Hebat
khan hayalan kami. Bukan hanya sampai berandai-andai tapi ke juga detailnya kami
pikirkan, hehehe... “Yah, gak enak dunk. Percuma”, timpal suamiku dengan nada malas.
Tidak
kalah ekspresi aku mendengus sambil kesal, “udah bagus ada jenjang karir Bang.
Dimana-mana mah kalau orang mau sukses itu harus ada harganya kali. Emang lo
gak mau gue naik status, emang lo keberatan kalu gue jalan sendiri. Kali aja
balik dari luar negeri bisa nambah-nambahin kenalan. Siapa tau bisa jadi
loncatan baru, siapa tau… siapa tau”, panjang lebar lebih mirip protes kalimat
ku.
Btw,
aku bisa memanggil suamiku dengan panggilan yang disesuaikan dengan sikon. Awalnya, -biasanya-
bisa panggil sayang, babe, dady, papa. Kalau sudah
kebanyakan ngobrol bisa sampe ke kamu, abang, bapak. Dan kalau sudah panas bisa
jadi elo bahkan ‘nama’nya. Hehehe,,, yaps that’s
me :p.
Lama
aku mencoba memahami pola pikir suamiku yang berpendapat, “enakan usaha sendiri
dari pada kerja”. Karena prinsip aku, bekerja adalah gabungan dari: gajian,
ekistensi dan pamor. Terlepas soal gaji. Karena —umumnya—, engga
mungkin juga kita curhat soal gaji sama tetangga toh. Tapi suamiku selalu
berprinsip, “pedagang sayur penghasilanya gak bisa ditakar, kalau orang kerja
kebaca”. So, bicara soal link, kenalan dan jaringan pertemanan yang ‘bermutu’ adalah materi
kami sejak dulu.
Aku
melirik kesal, suamikumendadak diam. Seharusnya dia tau kalau keluar negeri
adalah salah satu mimpiku yang paling liar. Kediam-annya membuatku memaksa
sinis, “ngambek lo?”.
Dia
menatap aku dengan tulus lalu menjawab pelan, “sukses itu apa sih?”, bolamatanya
menatap plafon rumah dengan gamang. Gerundelku memanjang, apa-apaan sih manusia ini
omelku sendiri. Pertanyaanya berkesan nyolot, menurut aku.
“Ya
bisa punya gaji gede, jabatan bagus, naik pangkat, sekolah bagus”, balasku
asal-asalan. Daripada aku jawab “muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk
surga??” hehehe, khan bego. Tapi inti jawabanku ya emang asal saja. “Apa semua
selalu soal materi?”, Tanya balik suami aku dengan pelan.
“Commonly sih gitu pak. Istri/suami
cakep, punya mobil, punya karir, anak-anak pinter dan berprestasi”.
Suami
ku putar badan, lalu kami berhadapan. “Nah kaya kamu nih, semisalnya naik
jabatan trus kerja di Singapore dengan gaji gede tapi tanpa bawa keluarga. Apa
artinya?”.
Aku
jadi bengong, “jangankan kamu, anak-anak engga akan aku kasih kost kalau sudah
gede”.
“Wah,
parah lo Bang. Lah kalu dia berjodoh sama orang bule. Jangan cetek lah”, aku
sudah tidak lagi marah, lebih ke heran bin aneh. “Ya buat apa ‘denger’ anak
sukses tapi gak bisa ngelihat dengan mata-kepala sendiri. Apa bedanya sama orang
dunia yang kaya-raya tapi gak punya waktu buat keluarga”.
Aku
bengong, garis tipis antara bodoh dan keikutan bingung *(terpana lebih tepat kayaknya), karena pada dasarnya aku pun bukan
tipe manusia matrealisme. Tapi bicara karir dan luar negeri memang merupakan
kacamata umum sukses toh? Setuju dunk!!.
“Nah
sekarang menurut kamu sendiri, sukses itu apa?”, suamiku menggeleng dengan
pertanyaanku.
“Yah itu dia, sampai sekarang aku masih gak
paham dengan kata ‘sukses’. Karena kebanyakan orang ya akan bicara seperti yang
kamu bilang tadi, tapi menurut aku kalau cuma materi mah bukan sukses namanya. Orang
komunis juga sukses, koruptor juga sukses dong, apalagi mereka. Perempuan mana
yang mau deket-deket, pengedar narkoba juga sukses dong, mafia..bla bla bla”.
“Terus,
menurut kamu apa dong?”, aku malah jadi bego sendiri.
“Aku
gak tau. Beneran, dan sama sekali gak paham kalau orang pada bicara
sukses-sukses. Aku gak ngerti, makanya aku nanya”, suamiku masih dengan raut
wajahnya yang datar dan gamang.
Dan aku, yang biasanya bicara panjang dan melebar plus pake nyolot, hanya bisa diam dan mencoba mencerna (lagi) pemikiran suamiku. Pemikiranya yang sering kali (terlihat) begitu dangkal tapi dalam, begitu bodoh tapi penuh nilai.
*Kenyataan:
didunia dan tempat yang aku tinggali. Bahkan ditempat ‘rohani’ sekalipun. Belum
ada yang men-sejajarkan kesuksesan dengan: etika, keharmonisan, memberi tanpa
pamrih, rumah tangga, kejujuran, falsafah hidup, non SARA, damai-sejahtera, kesehatan,
tawa lepas, ucapan syukur dan aneka hal kecil lainnya. Sukseskah itu??... fuihhh…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar