26 Mar 2012

Apakah sukses itu??


Percakapan seperti ini biasa aku dan suami lakukan. Walau bukan tipikal keluarga model per-sinetron-an Indonesia. Dimana saat menjelang malam, semua anggota keluarga akan berkumpul didepan tivi. Dengan posisi Bapak yang asyik dengan pekerjaanya atau kebiasaanya baca-baca buku dan atau koran, lalu si ibu dengan hangat memeluk anak-anak sambil nonton tivi. Hihihi, drama dech.

My real world is… aku dan suami bisa bercakap-cakap ‘normal’. Walaupun suamiku sedang sambil mandi di kamar mandi. Yaps, dengan ukuran kontrakan kami, maka ini sama sekali bukan masalah. Dengan suara yang tinggi dan tidak saling melihat wajah, obrolan dan cerita-ceritaan kami bisa terus berlanjut.


Sekali lagi, memang bukan seperti sinetron Indonesia yang rumahnya 3 lantai. Tapi hal seperti ini bukanlah kemustahilan. *Sinis amat?? hehehe… Artinya, aku cuma mau mengingatkan kita semua.  Bahwa komunikasi, percakapan dan dialogue rumah tangga, baik soal pekerjaan, teman dan sekedar remeh-temeh bukan hanya milik sinetron, orang pintar atau keluarga dengan sikon yang ‘mendukung’. Ini seharusnya terjadi dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja dan dirumah model apa saja. We need to talk each other. Seperti yang aku biasakan dirumah.

Dengan keadaan letih setelah seharian berkuli, dan anak-anakku ngambrug didepan tivi kamar. Sesekali terdengar teriakan iseng si kakak dan tangis cengeng si abang. Ada juga suara rusuh oppung yang diganggu si adik didapur. Opung sedang ada urusan didapur, dan bayi ku yang tidak lagi mungil itu akan terus membuntutinya. Sesekali si oppung terdengar kesal sambil gemas.

Sebagai keluarga ‘biasa’ saja, aku dan suami biasa membahas masa depan, cita-cita dan hayalan tingkat tinggi kami secara ‘luar biasa’. Sebagai orang ber-Tuhan, kami sama-sama percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Perjalanan kehidupan kami sudah mengajarkan kami, bahwa keadaan akan selalu lebih baik. Walaupun seringkali, setelah badai yang tidak mengenakan menghampiri. Juga tidak langsung seperti harapan kami sebagai manusia biasa.

Perjalanan rumah tangga kami yang dari minus (bukan sekedar nol), benar-benar mengajarkan kami untuk selalu bersyukur atas setiap unsur kecil dalam kehidupan kami. Seperti pekerjaanku yang sekarang sedang kami bahas malam ini.  

Katanya, menurut interview yang aku hadapai dimuka dulu. Diperusahaan ‘mimpi’ku ini, ada yang namanya jenjang karir, juga regional exchange employee . Maka aku dan suami berandai-andai.
 “Wah, keren kali ya kalau gue bisa kerja di regional company…”, diawali aku yang  baru tau kalau disini ternyata walaupun ‘cuma’ staf  tapi bisa juga di mutasi ke luar negeri. Yah…  kelasnya memang baru Asia Tenggara. Tapi sebagai seorang yang (lagi-lagi aku akui..), luar negeri adalah satu dari sekian banyak mimpi liarku, maka berita ini langsung membuatku merasa berbunga-bunga.
“Keluarga dibawa khan?”, sambar suami-ku cepat.
“Yaelah,,,”,  balasku dengan agak kesal.

Menurut aku suamiku lebay. Dia berlebihan dengan ‘ketakutanya’ berpisah dengan aku dalam bentuk apapun. Ini bukan drama, kami memang tidak terbiasa saling berjauhan. Mungkin karena sindrom awal-awal pernikahan kami yang super sulit. Dimana keadaan memaksa aku dan suami banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Jadilah ini salah satu buah simalakama kami bersama, atau mirip juga lagu “Jatuh Cintanya” eyang Titik Puspa. Karena, kalau berjauh-an kami akan saling kebingungan, tapi kalau dekat bawaanya gerah. Hahaha…

Pokonya, kami memang tidak bisa jauh-jauhan dan untuk itu aku sepakat. Akan tetapi, demi rejeki bekerja di luar negeri gak masalah kale… kata batinku dengan sewot. Ya lah sewot, khan teorinya kalaupun, seandainya, semisal  aku sampe di ‘kontak’ bekerja diluar negeri, statusku tetap ‘cuma’ staf. Dimana-lah ada jatah staf  ‘paket keluarga’.

Nyebelin deh pertanyaan si abang ini. Aku jawab kemudian dengan gaya ku yang khas, panjang, melebar dan pake urat,,, *dikittt. Hehehe
“Lo lebay banget sih pak, mana ada sih staf punya jatah buat keluarga. Kalu gue manajer tuh baru. Dikirim ke luar negri pasti dapat jatah keluarga. Rugi-lah kalu staf juga pake bawa-bawa keluarga, siapa loh… Lagian kenapa sih, palingan kontak  2 tahun. Lagian juga Singapore  deket kali, sebulan sekali pulang juga gak bangkrut-bangkrut amat, kalau gak mampu ya naik kapal feri juga gampang”.
Hebat khan hayalan kami. Bukan hanya sampai berandai-andai tapi ke juga detailnya kami pikirkan, hehehe... “Yah, gak enak dunk. Percuma”, timpal suamiku dengan nada malas.

Tidak kalah ekspresi aku mendengus sambil kesal, “udah bagus ada jenjang karir Bang. Dimana-mana mah kalau orang mau sukses itu harus ada harganya kali. Emang lo gak mau gue naik status, emang lo keberatan kalu gue jalan sendiri. Kali aja balik dari luar negeri bisa nambah-nambahin kenalan. Siapa tau bisa jadi loncatan baru, siapa tau… siapa tau”, panjang lebar lebih mirip protes kalimat ku.

Btw, aku bisa memanggil suamiku dengan panggilan yang disesuaikan dengan sikon. Awalnya, -biasanya- bisa panggil sayang, babe,  dady, papa. Kalau sudah kebanyakan ngobrol bisa sampe ke kamu, abang, bapak. Dan kalau sudah panas bisa jadi elo bahkan ‘nama’nya. Hehehe,,, yaps that’s me :p.

Lama aku mencoba memahami pola pikir suamiku yang berpendapat, “enakan usaha sendiri dari pada kerja”. Karena prinsip aku, bekerja adalah gabungan dari: gajian, ekistensi dan pamor. Terlepas soal gaji. Karena umumnya, engga mungkin juga kita curhat soal gaji sama tetangga toh. Tapi suamiku selalu berprinsip, “pedagang sayur penghasilanya gak bisa ditakar, kalau orang kerja kebaca”. So,  bicara soal link, kenalan dan jaringan pertemanan yang ‘bermutu’  adalah  materi kami sejak dulu.

Aku melirik kesal, suamikumendadak diam. Seharusnya dia tau kalau keluar negeri adalah salah satu mimpiku yang paling liar. Kediam-annya membuatku memaksa sinis, “ngambek lo?”.
Dia menatap aku dengan tulus lalu menjawab pelan, “sukses itu apa sih?”, bolamatanya menatap plafon rumah dengan gamang. Gerundelku memanjang, apa-apaan sih manusia ini omelku sendiri. Pertanyaanya berkesan nyolot, menurut aku.

“Ya bisa punya gaji gede, jabatan bagus, naik pangkat, sekolah bagus”, balasku asal-asalan. Daripada aku jawab “muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga??” hehehe, khan bego. Tapi inti jawabanku ya emang asal saja. “Apa semua selalu soal materi?”, Tanya balik suami aku dengan pelan.
Commonly sih gitu pak. Istri/suami cakep, punya mobil, punya karir, anak-anak pinter dan berprestasi”.
Suami ku putar badan, lalu kami berhadapan. “Nah kaya kamu nih, semisalnya naik jabatan trus kerja di Singapore dengan gaji gede tapi tanpa bawa keluarga. Apa artinya?”.

Aku jadi bengong, “jangankan kamu, anak-anak engga akan aku kasih kost kalau sudah gede”.
“Wah, parah lo Bang. Lah kalu dia berjodoh sama orang bule. Jangan cetek lah”, aku sudah tidak lagi marah, lebih ke heran bin aneh. “Ya buat apa ‘denger’ anak sukses tapi gak bisa ngelihat dengan mata-kepala sendiri. Apa bedanya sama orang dunia yang kaya-raya tapi gak punya waktu buat keluarga”.
Aku bengong, garis tipis antara bodoh dan keikutan bingung *(terpana lebih tepat kayaknya), karena pada dasarnya aku pun bukan tipe manusia matrealisme. Tapi bicara karir dan luar negeri memang merupakan kacamata umum sukses toh? Setuju dunk!!.

“Nah sekarang menurut kamu sendiri, sukses itu apa?”, suamiku menggeleng dengan pertanyaanku.
 “Yah itu dia, sampai sekarang aku masih gak paham dengan kata ‘sukses’. Karena kebanyakan orang ya akan bicara seperti yang kamu bilang tadi, tapi menurut aku kalau cuma materi mah bukan sukses namanya. Orang komunis juga sukses, koruptor juga sukses dong, apalagi mereka. Perempuan mana yang mau deket-deket, pengedar narkoba juga sukses dong, mafia..bla bla bla”.
“Terus, menurut kamu apa dong?”, aku malah jadi bego sendiri.
“Aku gak tau. Beneran, dan sama sekali gak paham kalau orang pada bicara sukses-sukses. Aku gak ngerti, makanya aku nanya”, suamiku masih dengan raut wajahnya yang datar dan gamang.


Dan aku, yang biasanya bicara panjang dan melebar plus pake nyolot, hanya bisa diam dan mencoba mencerna (lagi) pemikiran suamiku. Pemikiranya yang sering kali (terlihat) begitu dangkal tapi dalam, begitu bodoh tapi penuh nilai.

*Kenyataan: didunia dan tempat yang aku tinggali. Bahkan ditempat ‘rohani’ sekalipun. Belum ada yang men-sejajarkan kesuksesan dengan: etika, keharmonisan, memberi tanpa pamrih, rumah tangga, kejujuran, falsafah hidup, non SARA, damai-sejahtera, kesehatan, tawa lepas, ucapan syukur dan aneka hal kecil lainnya.  Sukseskah itu??... fuihhh…

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar