15 Jun 2011

If Love Is Blind

Cinta itu Gila, Cinta itu Buta, Cinta itu Bodoh…

Kalimat yang menurut aku tidak seharusnya jadi aplikasi secara harafiah dalam hidup. Tapi kenyataanya, mata dan kepalaku menjadi saksi betapa gilanya cinta, betapa butanya cinta, betapa bodohnya cinta memilih atau dipilih...  I just don’t get it, I just think stupid love is belong to stupid person. :p

Adalah cinta masa muda, cinta yang pernah ada 12 tahun yang lalu. Cinta yang buat pria baik ini adalah cinta pertamanya. Berbeda dengan si perempuan yang sudah ‘mahir dalam perpacaran’. Ini semua istilah yang aku karang dengan sendiri, jadi tidak usah memaksa untuk menemukan artinya di kamus perbahasaan. Kami, demikian aku mengartikanya, karena kami adalah sekumpulan pasangan yang tidak jelas statusnya tapi mengkalim sebagai pasangan-pasangan yang kebetulan saling berteman. 

Tidak ada yang istimewa dari kisah-kisah percintaan ini. Seperti umumnya saja, ada berantem, ngambek, marah gak jelas, makan bareng, curi-curi ciuman dikampus kecil yang berbentuk ruko itu... (upss, sensor XXXX hehehe..). Juga cabut dari kelas gara-gara pasangan yang satu kebetulan ada dikelas yang sama kalu lagi ‘marahan’... Ow ow ow.

Tapi kisah kami 12 tahun yang lalu sangat istimewa. Karena disisipi banyak adegan yang menurut aku –sebagai anak rumahanagak-agak ekstrim. Misalnya, pertengkaran yang berakhir pemukulan, sampai berdarah-darah segala. Kekesalan (yang entah apa awal mulanya) yang kemudian aku tau adalah teman ku ini akan minum 5-10 macam obat warung yang terkenal dengan dosisi tinggi sambil minum bir, pencobaan bunuh diri, lempar-lemparan property mahasiswa, fuihh...

Kalau dimasa sekarang kebanyakan perempuan menjadikan rokok semacam gaya dalam  begaul. Maka dimasa 12 tahun yang lalu ini, aku melihat temanku perokok ini sebagai  perokok gila bukan ‘perokok gaya’.  Bagaimana tidak, dia akan merokok tanpa melentik-lentikan jarinya, dia akan merokok sambil berbaur dengan tukang-tukang ojek yang mangkal  tidak jauh dari tempat kami. 

Segala macam rokok akan dihisapnya tanpa tedeng aling-aling. Tidak jarang aku memergokinya menghisap rokok yang merk-nya  hanya dikenal di daerah pedalaman yang jauh dari peradaban... hahaha.  Mungkin perokok paling bersih yang pernah kukenal ya perempuan satu ini, hisapan rokonya akan benar-benar sampai di garis batas tembakaunya...

Hitam manis, bertubuh mungil, bibir seksi, rambut panjang. Walaupun otaknya pas-pasan aku selalu menilai teman ‘bokis’ yang punya hobby bohong dan nyanyi ini cantik. Kemudian, kita dan kami semua cuma bisa tertegun ketika  tau dia ‘jadian’ sama anak kelas sebrang yang wajahnya, dompetnya, otaknya… OMG!!



Tanpa bermaksud menjadi pengkotak- kotak orang, tapi sumpah tidak ada bagian yang bisa dibanggakan dari si cowok ini. Malahan isu terakhir, bahkan aku sendiri ikut menyelidikinya. Kalau si cowok ini sudah menghamili orang dan ber-anak (I saw the baby)... So, cinta apa nafsu (birahi) kah??. Aku masih mempertanyakan  ‘cinta’ mereka yang tetap berjalan tanpa geming.

Setelah 12 tahun terpisah, beberapa waktu yang lalu kembali kami berjumpa... Tanpa ada tetesan airmata. Kecuali teriakan-teriakan heboh dan tamparan-tamparan ‘persahabatan”. 

Maha daya Cinta,,, dengungku berkali-kali sepulang dari reuni kecil itu... Sepasang teman yang kisah percintaanya 12 tahun lalu dipenuhi darah dan air mata (bahasa hyperbola ku sih, hehehe..), sekarang sudah dikarunia 2 orang anak. And they just live happy now. 

Aku begitu exited melihat perubahan sikap si lelaki ini, hilang sudah kesombongan dan kekasaran masa mudanya. “Berubahlah Chu, udah tua udah sadar kali”, kata si istri, yang menurut cerita sekarang ambil alih control rumah tangga. It call love, menurut aku. "Sekarang dia takut ama gue", katanya lagi.

Satu kisah lama yang terjadi dengan teman ku yang lainya.
Hi apa kabar??”, sapa si lelaki dengan hangat dan mencoba akrab.
“Baik”, jawab si perempuan dengan pendek dan santai. Sangat sok cuek menurut ku.
Si lelaki mencoba untuk akrab dan memeluk, tapi dengan alasan “etika agama’ si perempuan menolak. Tidak ada obrolan  khusus antara kedua teman yang eks-an ini. Si perempuan nampak banyak mengalihkan bahasan dan perhatian dari yang dibicarakan… aku banyak menggoda keduanya.

Dalam percakapan-percakapan kami kemudian, banyak kali aku mencuri tatapan rindu dari si lelaki ini. Cinta yang pernah ada 12tahun lalu, aku bisa pastikan masih ada antara mereka. Si perempuan mungkin mencoba menafikkan, tapi dalam ekor matanya aku menangkap ‘masih ada cinta’. Si perempuan mencoba membanggakan anak-anak dan suaminya yang sepaham dengannya, bagaimana mereka begitu saling melengkapi dengan senyum dan canda tawa lepas. Terpaksa, menurutku.

Tapi entah kenapa dan bagaimana. Mungkinkah karena aku merasa bahwa aku sungguh-sungguh bagian dari drama ini, aku ada bersama dengan teman-teman ku ini sepanjang sejarah yang telah lalu. 

Seolah aku bisa  merasakan kemunafikan disana, aku seperti merasakan gairah cinta masa muda 12tahun yang lalu dalam bungkus 'etika'. Bola mata si lelaki dan perempuan ini jelas menyiratkan kerinduan yang dalam, kerinduan yang ingin dipuaskan tapi mungkinkah dan bagaimana bisa?. Kemudian, (sepertinya) mereka tidak tau harus bagaimana??.

Aku menangis dalam hati, seolah ikut menikmati  kegamangan  mereka. Kemunafikan tawa yang mencoba melawan perasaan. Aku seolah merasakan buncahan rindu yang tersedak di-dada… Kyaaa, nampak berlebihan kelihatanya tapi itu yang aku rasakan..

Hari itu aku bilang, maha daya cinta
Cinta masa 12tahun yang lalu, melukai kembali..
Cinta keluarga, memaksa untuk bertahan dalam norna..
Cinta bisa membuat gila..
Kalau tidak buta, bukan cinta namanya… katanya.

Fuihhh, mungkin aku bukan golongan pencinta sejati seperti itu. Akan tapi moment sesaat ini cukup membawaku untuk kembali mengingat  betapa cinta memang bisa membunuh…

(To my beloved dear friends... I love you all just the way you are, 052011)   

3 Jun 2011

3 Idiots

3 Idiots…
Untuk ke-2 kalinya aku menonton film India ini, dan perasaan yang sama kembali membuncah waktu aku melihat adegan per adegan. Pertama, hebatnya film ini adalah dimainkan oleh actor  kawakan India yang (pada jamannya-katakanlah aku -) bisa  dibilang paling ganteng, Amir Khan. 

Hebat ya, diusia kepala 4-an.. dia diubah jadi Rancho yang umurnya 20an. Tidak ada kesan maksa, tidak ada pula pias ketuaan pada wajah si ganteng itu.. Jalan ceritanya luar biasa, akting alami dan pesannya masuk akal, sedikit bikin sirik, banyak bikin kesal tapi sumpah I love it.. I Love it..and, I love it.

Apa yang membuat film ini istimewa?, buat aku pesan yang disampaikan “hampir” atau kalau mau jujur siy aku bilang "semuanya" (tapi kesanya aku kok  kayak sok tehe banget ya?? Hehehe)... persis apa yang aku pikirkan selama ini. Ketika (sering kali) Sekolah Tinggi itu Cuma jadi ajang  “harga diri”, kemudian mengesampingkan “nilai belajar” itu sendiri. Ketika kamu sesuai trend, ini disebut pintar tapi ketika kecerdasanmu diatas rata-rata orang justru akan bilang “kamu bodoh” bahkan ada yang bilang “bahaya”. 

 Lama aku hidup dalam pemikiran bahwa aku merasa cukup pintar dengan semua ‘kebisaan’-ku. Merasa aku pekerja keras, penuh inisiatif, siap dengan tantangan, tidak takut dengan tanggung jawab dan satu kelebihanku yang (tidak jarang) jadi kelemahanku juga adalah.. aku merasa berani memutuskan segala seuatu. Aku berani memutuskan sesuatu bahkan yang beresiko. 

Aku berfalsafah bahwa tidak ada kebenaran atau kesalahan yang abadi. Lalu yang perlu aku lakukan hanya-lah “memutuskan”, lalu kemudian biarkan waktu yang menjawab.

Tapi kemudian aku sadar cuma dengan bekal ijasah SMA, kepintaran-ku tidak akan pernah mengintip pintu lain untuk diberi kesempatan untuk memperlihatkan ‘apa yang bisa aku lakukan'. Sekolah tinggi tetap akan menjadi ‘syarat mutlak’, yang sampai hari ini pun aku masih menganggapnya sebagai suatu kemutlakan yang sangat bias..

Tahun 2007, aku putuskan untuk kuliah. Dengan harapan: sesuai dengan budjet-ku dan yang juga ‘sesuai keinginanku’... Ternyata sulit. Kemudian pilihan mengerucut pada 2 hal: biaya atau minat. 

Ketika kita memilih dalam kondisi yang sudah tidak sendiri lagi, banyak hal yang harus aku pikirkan... Dan klise, biaya menjadi pilihan utama. Lalu berharap suatu saat nanti dengan berbekal Sekolah Tinggi ini aku akan berjumpa dengan bidang ‘minat’ ku…

Banyak kalimat dalam film 3 Idiots yang membangkitkan gairah jiwa, tapi hanya sedikit yang sempat ku tulis. Kita perlu menantang hidup, karena kita buka robot... Hampir sama dengan kalimat Pastor Stephen Tong, hanya ikan mati yang ikut arus, ikan hidup akan melawan arus. Bukankah Salmon merupakan salah satu ikan paling mahal dan apa yang membuat Salmon begitu istimewa padahal didaratan kanada ikan ini begitu berlimpah?? (kalau lihat di chanel National Geographic, ini bahkan jadi santapan beruang). Salmon begitu dikenal sebagai ikan yang melawan arus, dia akan mencari hulu air terjun untuk menetaskan telur-telurnya.. Wahhh, ikan pintar khan?? (apa kurang kerjaan ya?? Hehehe.. cool).

Masalah tidak selalu selesai, tapi paling tidak kita tidak takut menghadapi masalah… keren khan?. Menikah muda, ‘terpaksa’ mandiri, hidup pas-pas-an, harus 'bisa'... semuanya sudah aku jalanani. Bahkan lebih banyak lagi dan sekarang aku telah sampai pada pemikiran ini.. masalah emang gak akan selesai, maka tabrak aja. 

Kembali mengutip kalimat ibu gembala Cipinang, “sepanjang manusia hidup, akan kontrak mati dengan persoalan!!”.  So what should I worried about?... 

Kyaa, gak seindah itu juga sebenarnya, banyak kali aku merasa takut dan bimbang. Tapi kemudian aku mencoba membangun diri dengan kalimat itu, “semua akan berlalu, masa expired masalah akan tiba segera”... kalau 3 Idiots bilang, “semuanya akan baik-baik saja”.

Kenapa kita mesti bersekolah hanya demi sebuat “gelar”? kasihan.  Fenomena yang umum terjadi saat ini. Kenapa kita tidak mencoba member makna pada gelaran S1 itu, kenapa kita tidak memberi nilai pada tiap buku yang kita baca, kenapa kebanyakan kita takut ‘bersuara’, kenapa kebanyakan kita bangga jadi follower sejati, bangga dengan sensasi yang tidak bermutu, kita takut dengan provocative yang tidak melulu salah, kebanyakan kita takut keluar dari zona nyaman… dan bla..bla... Kita banyak takutnya.

Aku merasa menjadi Rancho di film 3 Idiots ini. Rancho dengan segala sikap dan cara pandangnya terhadap hidup dan sekolah, kecuali  tentunya tingkat kecerdasan-nya jauh diatas aku. Hmmm. Ini mengingatkanku juga pada tokoh Lintang di buku Laskar Pelangi. Manusia-manusia dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa seperti ini selalu melekat dihatiku, bukan karena kepintaranya semata tapi bagaimana mereka memaknai kepintaranya.

Yah, mungkin Lintang tidak seberuntung Rancho (maklum film, semua harus happy ending..)... tapi aku tetap merasakan kesan yang kuat dari film ini. Kepintaran seakan mengangkat derajat manusia satu level dari yang lainya, tapi bukan kepintaranya yang membuat Rancho menjadi ‘istimewa’.  Dia hebat, selain karena dia orang miskin yang cerdas  adalah karena dia mau belajar, dia mau menjadi lebih dari yang dia bisa tanpa mejadi arogant. Akhir film juga tidak menggambarkan Rancho yang yang jadi pengusaha kaya raya karena ijasahnya, tapi dia bertambah pintar karena dia terus belajar.

Aku bermimpi dalam dunia nyata, aku dan kamu, dan kamu dan kamu… dan banyak dari kita mempunyai semangat Rancho. Semangat untuk pintar, untuk bisa, untuk tahu secara nyata.. bukan hanya nama dan gelar diatas selembar ijasah. Tapi dengan kepalan semangat untuk maju... dan tentunya tanpa harus menjadi sombong...