31 Jan 2012

Life is a journey not a destination #proverb


Menjadi kaya tidak pernah menjadi daftar keinginanku. Sejak kecil mamaku teramat sering mengucapkan kalimat ini “tahu diri ya kalian itu anak orang susah, jangan suka sok-sok berlagak seperti orang kaya”. Jadi menjadi kaya seolah adalah sebuah ‘ketidak mungkinan’ bagi kami. Kaya seperti sebuah kesombongan. Makanya sejak kecil kami sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan, apa adanya,tidak pernah maksa dan benar-benar terbiasa menikmati milik sendiri. 

Perjalanan hidupku, berumah tangga diusia muda, tidak pernah kuanggap sebagai kutukan. Karena dalam segala ketegaran tengkuk-ku dalam bersikap aku orang yang berkeyakinan:
selama kita mencukupi diri dengan apa adanya, maka kesusahan hanyalah masalah “keinginan”.

Terlepas dari semua dogma dan pengertianku soal menjadi kaya, ada satu hal yang merupakan ketidak-sengaan yang sebenarnya adalah curkat sedih seorang dosen. Tapi sampai hari ini kisah itu telah menjadi bagian dari paradigma ‘nasib’ yang aku anut.

 
1998. Masih dalam situasi krisis besar setelah penggulingan pemerintahan Orde Baru, bapak presiden Soeharto. Kerusuhan telah terjadi dengan hebatnya disemua lini kehidupan. 

Adalah seorang dosenku yang cantik, dengan tinggi 170cm. Kebetulan, ras batak dengan wajah kebule-bulean dan bertubuh proporsional ala model  tapi tetap berpenampilan simple dan bersahaja. Kami sebagai mahasiswa-nya sudah tau kalau bulan yang lalu Ibu Gultom ini baru saja melangsungkan pesta pernikahan di Sumatera.

Setelah bersalam-salam hangat dan sedikit intermezzo, dengan agak berat tapi tetap dengan nada bersemangat. Si Ibu ini tidak langsung masuk ke pokok pelajaran Bahasa Inggris kami, alih-alih dia malah curhat soal perjalanan pesta perkawinannya.

“Kebetulan suami saya anak tunggal”, awal kisahnya. “Jadi pihak keluarga mertua bermaksud mengadakan pesta  besar-besaran. Sudah sewa gedung, ketring, undang semua kerabat juga teman-teman mertua yang pengusaha-pengusaha China”. Aku tidak mendengar nada ‘pamer’ didalamnya. “Pakaian dan salon yang kami booking juga orang China, jujur kami lebih percaya dengan cara kerja mereka”. Kami menyimak cerita si Ibu dengan seksama.

“ Apa mau dikata, ternyata sejak semalam sudah terjadi kerusuhan. Penjarahan dimana-mana, jalan-jalan utama banyak ditutup. Semua orang mencongkel lumbung-lumbung dan banyak toko dijarah. Tapi kami tidak bisa mundur, jam 10 harus sudah siap digereja. Perias salon yang kami pesan tidak bisa datang, karena takut. Katanya banyak China-China yang dianiaya. Waduh... akhirnya saya sasak-an dengan salon seadaanya, orang batak... Aduh Tuhan, mau saya tampar rasanya, sakitnya bukan main. Tarik sana tarik sini... ah pokonya beda sekali-lah dengan cara kerja orang China”. Ini asli cerita Ibu Gultom, karena aku tidak biasa bersalon, jadi tidak terlalu paham bedanya, hehehe…  Sesaat kami terkekeh bersama.

“Baju pengantin yang dipesan juga tidak ada, akhirnya saya pakai yang seada-nya saja, mobil kawin yang sudah dipesan juga batal. Dan akhirnya kami beriringan dengan mobil seadanya, itu juga Puji Tuhan bisa berjalan, karena disebelah kanan-kiri, mata kepala saya melihat penjarahan dimana-mana”.
“Akhirnya kami sampai digereja, tapi sepi. Banyak tamu yang belum datang. Setelah pendeta memberkati kami, satu-satu datanglah teman mertua saya. Mereka datang dengan keadaan compang camping. ada yang datang dengan pakaian seadanya. Jadilah kami bertangis-tangisan", kisah si Ibu.

"Ada yang baru saja bangkrut hari itu, semua isi tokonya habis dalam hitungan detik. Ada yang dipaksa keluar dari rumahnya dan kendaraan-nya dibakar… Kamu bisa bayangin gak sih harga sebuah spare part?”, ujarnya sambil menjentikan jarinya. “Itu satu biji aja bisa ratusan ribu dan sekarang satu tokonya dijarah habis-habisan. Kamu bisa bayangkan pencarian seumur hidup orang hangus dalam hitungan detik, hasil keringat selama ini tidak bersisa sama sekali??”.

Zapp,,, seperti sebuah busa yang menyerap air dengan lembut, begitulah kisah si ibu  begitu mengena dihatiku. Semakin  memperdalam dogma ku tentang  ‘menjadi kaya’. Kisah ini  begitu kuat dan mengkristal dikepalaku sampai hari ini. Hidup ada perjalanan bukan tujuan semata... karena akan selalu ada syukur diatas syukur. :-)

30 Jan 2012

Kenapa Kaleb Kristen ??


Pertengahan 80-an, pertamakali kami sekeluarga  menginjakkan kaki di Kota Jakarta. Seingat saya waktu itu ‘toleransi’ masih merupakan pelajaran WAJIB disekolah, juga di lingkungan tinggal saya. Maka jika terjadi perselisihan dalam pertemanan anak-anak, ketika saya dihina dengan kata “gereja” maka adalah lumrah ketika saya membalas “mesjid” (demikianlah lagu berantemnya anak-anak jaman dulu :P, hehehe).  Ketika dikatakan “pendeta t*i”, kemudian tidak ada kesalahan berarti juga  jika saya mejawab “kyai juga t*i”. Dan demikianlah selanjutnya, dari mengata-ngatai fisik bangunan, orang ketiga yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan perkelahian kita (seperti si pendeta dan kyai itu) tapi demikianlah kami – anak-anak usia 7-10 tahun- tahun 1980-an bertengkar. Sering kemudian memaksa menarik benang merah ke unsur SARA.

Misalnya: Entah apa awal mulanya perkelahian itu, biasanya akan berujung pada kontak verbal seperti : dasar batak makan babi sekaleng, China matinya dibakar, China lo, Kristen Tuhanya tiga, orang batak gila. Jangan temenan sama China, jangan dekat-dekat yang makan anjing –haram–, orang kampung dan sebagainya. Mengingat waktu itu balas-membalas  juga bisa diterima kedua belah pihak, maka jarang (bahkan sejauh pengalaman saya tidak pernah sih) ada masalah seperti ini berujung pada keributan antara keluarga apalagi golongan. Sekalipun waktu itu tetangga kami hampir 99% adalah muslim dan mereka rata-rata pendatang dari tanah jawa.

Semakin bertambahnya tahun, atas nama demokrasi, Hak Asasi Manusia dan hukum, telah  dikeluarkan konvensi (karna dasar UU-nya yang mana saya tidak paham betul) yang melarang mengeluarkan statement-statement yang berisi unsur   SARA. Tapi kenyataanya hinaan, intimidasi, cela-an (semua sekarang dirangkum dalam satu kalimat: bullying) ini memang masih saja marak terjadi. Hanya sekarang dalam chasing yang berbeda: mayoritas kepada minoritas, yang berkusa kepada yang kurang berkuasa. Kalau jaman dulu mayoritas dan minoritas bisa sama-sama saling mengejek demi meluapkan kesal maka sekarang yang ‘boleh’ menghina, menyudutkan dan menjatuhkan hanyalah kaum mayoritas dan kaum yang lebih ‘merasa” kuat  dengan dalil kepentingan orang banyak.

Adalah Kaleb, anak lelaki  yang sejak kecil memang tumbuh dengan segala kelembutanya.  Dia biasa jadi bahan olok-olok temannya, karena tidak pernah memanjat pohon atau pagar,  tidak juga (saya biarkan) ikutan main layangan di jalan. Dia biasa jadi samsak sepupunya atau korban keusilan temannya.  Kuakui Kaleb sejak kecil termasuk anak iseng, misalnya menggoda anak perempuan (menyembunyikan mainan atau sendal), merecoki si kakak  jika bermain tanpa mengajaknya. Semua dengan kenakalan verbal (sejauh ini anak-anak ku tidak berbicara ragunan dan kasar) tapi ‘sepengetahuan’ kami  Kaleb bukan pemain fisik, sama sekali bukan!!

Tapi sejak kelas 3, sudah hampir 2 tahun ini. Saya beberapa kali dipanggil oleh Ibu guru karena tingkat kenakalan Kaleb sudah melebihi batas. Misalnya: dia sekarang mulai memalak, berani menyerang beberapa anak yang bergerombol, pernah membawa pisau lipat (entah dimana dia menemukanya, karena kami tidak mengenali barang itu), menilep uang yang dia bilang untuk bayar ‘sesuatu’ disekolah, belum lagi bejibun PR nya yang tidak mau disentuhnya.

Saya tidak bermaksud membela Kaleb, saya  tipikal orang tua yang  lebih suka menata ulang dapur sendiri daripada menyalahkan orang lain. ‘Membenarkan’ anak apapun alasanya bahkan sekalipun si anak  benar sama sekali bukan gaya saya. Saya orang yang mencoba mendidik anak saya untuk tangguh dengan ‘kekuatanya’ sendiri.  Tapi sebagai ibunya, saya ‘merasa’ cukup tahu karakter Kaleb. Dia masih dibawah 10tahun, saya tau siapa dia,,, Isengnya, iya. Malas, memang kadang-kadang, dan yang paling parah adalah menggoda orang (meledeki lebih tepat).

Seringkali  saya coba bicara hati ke hati kenapa dia melakukan semua ini. Sejak pertama kali  jawabanya adalah  “kesal selalu dikata-katai”, dan tidak terlalu saya gubris.  Tapi semakin dia besar, dengan tingkat kenakalan yang sulit saya toleransi,,  walaupun  gambaran yang berbeda-beda, jawabanya seragam!!
Dikata-katain, dihina dan dicela. Apa lagi yang bisa saya pikirkan ??? 
Kisahnya seringkali: abang kesal dikatain Yesus-Yesus mulu, banyak tikus dirumah Yesus, orang Batak makan babi, Kristen-kristen lo,,,  menurut cerita,  ejekan berbau agama lebih sering dilontarkan dari pada soal ras oleh teman-temanya.

Kaleb ber-TK disebuah TK umum, PAUD begitu tulisan spanduknya.  Tapi kenyataan, pelajaran  ilmu agama (bukan agama kami) lumayan banyak. Sejak awal dia sudah menunjukan kekesalannya, belum lagi  seragam-nya yang segmented. Namun dengan segala keterbatasan ekonomi kami tidak punya banyak pilihan. Maka dengan segala macam pengertian dan kisah perumpamaan kami terus membangun  paradigm-nya  bahwa: serupa bukan berarti samatinggal didalam bukan berarti menjadi.

 Tapi bagaimanapun, anak usia 7 tahun sulit menerima terpaan ledek-an yang nyaris tiap hari. Kebetulan kami tinggal didaerah semi perkampungan. –Umumnya–  dimana anak-anak ‘minim’ diajari toleransi tapi lebih ke fanatisme beragama.. 

Sekali lagi tanpa bermaksud membenarkan tindakan-nya. Karena semua hukuman tetap saya tanggungkan kepada-nya, baik secara verbal, time off, kurangi uang jajan sampai hukuman fisik.  Saya mengerti, selemah apapun Kaleb dia tetap laki-laki. Harga dirinya terusik karena status minoritas yang bukan pilihan-nya harus menjadi momok yang siap mengejarnya hampir tiap hari.

Berulangkali  melapor, guru tetap melihat Kaleb sebagai pelaku utama, tidak bisa juga kusalahkan. Kaleb setipe dengan ku –defensif–, jika bisa membalas dia akan cepat membalas. Jika tidak,  maka kenakalan-nya  semakin menjadi.  Ditambah laporan beberapa orangtua yang anaknya terimbas kenakalan Kaleb. 

Ibu guru angkat tangan, saya juga pasrah. Akhirnya yang (bisa) saya bilang adalah “kalau memang dia pantas dipukul, silahkan bu”. Dan kepada Kaleb “kalau ada yang ngatain agama lagi, lapor aja ke ibu Guru”,, padahal saya sangat  tahu,, ini tidak pernah berhasil!!! Karena bullying  adalah bagian dari bahasa pergaulan (golongan).

Mencoba mengingat cerita, beberapa pelajar  yang melakukan penembakan massal dibeberapa sekolah di luar negeri (yang  paling saya hapal adalah Virginia Tech), hal itu dilakukan oleh seorang pelajar  Korea yang sepanjang waktu selalu menjadi bulan-bulanan teman-temanya. Pada saat tertentu dia sampai pada batas kemampuanya menahan bullying dari teman sekolahnya.

Tidak berharap semuanya akan menjadi separah ini, hanya berharap dan TERUS menghimbau kita semua para ibu, para bapak, tante, kakak yang hidup dalam ruang dan budaya yang mejemuk, TOLONG ajari anak kita, saudara kita, adik kita.. berbeda  bukan menjadi alasan untuk saling menindas, membedakan dan mengkotak-kan apalagi mencela,  ke-mayoritas-an juga bukan pembenaran untuk menjadikan  batasan adalah milik kalian. 

Yang saya perlukan (sebagai minoritas) hanyalah biarkanlah  kehidupan saya, tanpa meminta kalian   –para mayoritas– untuk (bisa) menerima saya (baca:kami dan atau Kaleb).

27 Jan 2012

Setengah hati yang lain


Teringat percakapan  dengan beberapa teman yang adalah ibu-ibu dimeja makan kantin beberapa hari belakangan ini, membuatku merasa seperti manusia setengah dewa (setengahnya lagi iblis dong?? hehehe). 

Sesungguhnya perasaan ini bukan ada karena terpancing omongan para ibu-ibu baik itu dijam makan siang. Karena pada dasarnya sejak pertama kali kejadian di Tugu Tani dibicarakan dan aku menyaksikan (di tivi) bagaimana dasyatnya akibat yang telah diakibatkan oleh sipelaku, aku (masih) sempat memikirkan: bagaimana ya perasaan oranguanya??

Dan ini jugalah yang akhirnya dilontarkan beberapa teman kerja yang adalah ibu-ibu dijam makan siang kami, sambil terus menyaksikan siaran tivi yang masih saja gencar menyiarkan berita ini. Apa gerangan yang dihati si ibu, bagaimana gejolak perasaanya waktu tahu anaknya sudah menwaskan 9 orang,, bagaimana jiwanya menerima semua ini??

Bagaimana ya perasaan si ibu, perempuan yang selama ini mengenal anaknya sebagai anak yang baik, bahkan merupakan contoh bagi si adik (begitu kata berita lho). Bagaimana luka diatas luka, takut diatas takut dan khianat diatas khianat. Demi Tuhan!! seperti geramnya aku pada pelaku, aku juga merasakan bulu kudukku meremang membayangkan hantaman kekecewaan dan kaget-nya si ibu ini. 

Sempat juga aku coba menafikan perasaan iba ini dengan bermacam praduga pura-pura (tradisi di Indonesia, ibu-ibu jualan air mata dan kerudung didepan media jika sedang ditimpa masalah), tapi tetap saja isak si ibu membuatku ikutan menitikan air mata. Masya Allah, isak si ibu berkali-kali. Serasa begitu berat tanggungannya.

Teman-teman sesama ibu-ibu kembali menyadarkan ku (yang tadinya mencoba pingsan, hmm). Perasaan semua ibu memang sama, perasaan perempuan memang akan meleleh jika melihat  perempuan lain terluka. Ku coba bayangkan perasaan si ibu yang sudah dibohongi, padahal ibu sudah mencoba memahami anaknya dengan baik, katanya: saya kenal teman-temanya, mereka semua baik-baik walaupun mereka suka pulang malam tapi itu hanya karena pekerjaan. Begitulah kira-kira bela sang ibu. 

Si sudah ibu dihianati, segumpal kotorang paling najis telah dilemparkan si anak wajah ibunya yang masih juga memikirkan yang terbaik, sebongkah batu bata telah dengan telak dilempar si anak ke kepala ibunya, dan si ibu tidak juga kehilangan keyakinan (dengan tetap memberika dukungan pada si anak).

Seperti pepatah Job Steve: sometimes life hits you in the head with a brick – don’t lose faith. Dalam segala marah dan dendamku (entah untuk apa dan untuk siapa, aku hanya merasa masih marah pada si pelaku, si anak jahat ini). 

Tapi sisi lain ku, sisi perempuanku yang juga ibu membuatku ingin berbisik kuat ditelinga si ibu baik hati ini: don’t lose faith mom… 

Karena aku tau dukungan adalah hal paling utama yang diperlukan seorang perempuan yang gundah, andai aku bisa ikut memeluknya, merasakan sedikit getir yang terus mebuncah dihatinya, memegang tangannya dan bilang “saya juga ibu..saya juga ibu, dan saya tau doa ibu buat anaknya”,,,

26 Jan 2012

1,2,3,4,5,6,7,8,9.. jangan memaki



Tragedi Tugu Tani yang baru saja terjadi, —diluar konteks kejadian— sedikit membuat saya kesal dengan beberapa stament ‘mulia’  yang bilang “jangan memaki”. Malah  banyak juga yang berucap : “intropeksi diri”,, ayolah buka mata hai dunia!! 9 orang mati ditempat tanpa melakukan kesalahan (karena mereka memang sudah berjalan di jalur MANUSIA) ditabrak pula,,,

Intropksi??? SAYA SETUJU tidak ada 1 orangpun didunia ini berharap ada kejadian seburuk itu terjadi,, tapi buka mata HAI DUNIA,, itu supir kesetanan, itu supir gila, itu supir bukan orang. Sekali lagi,, ayolah DUNIA, kita bisa lihat di tivi bagaimana polosnya muka mba supir setelah keluar dari mobilnya yang baru saja menggilas 14 orang HIDUP.

Ini bukan masalah sok suci dan tidak ngaca: ini masalah spontanitas ketika kita melihat suatu kejadian yang luar biasa kemudian ditanggapi dengan biasa saja oleh si pelakunya.. #panas gak siy.
Kita khan gak tau hati dia??,, yang komen juga gak bawa sampe mati kok, gak ngoceh sampe ke WC juga kaleee. Yang jelas at the time, (gw lah mewakili para pemaki) merasa marah, kesal, terluka, aneh, sedih, emosi jiwa, kecewa, terkagum, amazing dan semua rasa yang tidak bisa ditawarkan dengan satu kata “karena takdir”..
kami marah, saya marah dan banyak mulut lain yang marah dan tanpa sadar memaki dengan hebat.

Jujur, kalau bahasa (makian) saya masih sekitaran kebun binatang  dan saya termasuk yang tidak setuju dengan makian berbasis fisik, (toh soal fisik bukan ukuran mentalitas apalagi moral),, berasa juga gak sih disebut-sebut “tragedy Xenia”,, kenapa pula pakai type mobil. Karena Xenia itu (paling tidak sejauh saya melihatnya) adalah mobil kelas 3 atau kelas 2-kah? (yang biasa dipakai para ekonomi menengah dan biasanya juga sebagai mobil operasional kantor, karena keefisienannya). Kalau typenya yang ‘mahalan’ kira-kira jadi brand juga gak ya??

Pernah lihat gak siy para penonton konser yang nangis bombay, atau penonton dangdut yang otomatis goyang pinggul (padahal dari rumah udah sumpah mampus gak akan ikutan joget), bagaimana terpananya orang menyaksikan penampilan boyband/girlband yang  tidak (saya) bisa lihat dimana mutunya, pernahkah menangis karena  liat sinetron atau  tivi … ada kah yang salah???

Itulah spontanitas kami (sekali lagi kalau yang lain tidak setuju, minimal saya) yang amazing dengan tragedy few second tapi akan membawa duka sepanjang masa baik bagi keluarga korban juga pelaku. Jadi saya tidak bermaksud untuk menjadi hakim yang sok suci, hanya luapan perasaan ibu yang menjerit  (jika) anak 2.5 tahun tewas dengan menggenaskan, emosi jiwa yang (gak kebayang) jika 4 orang kerabatnya meninggal disaat yang bersamaan.  Jika suami, saudara bahkan kenalan saya adalah satu dari para korban.

Dan kali ini saya masih mau memaki sekali lagi, dengan hukuman 6 tahun dan bayar denda 12 juta,,untuk 9 orang nyawa.. 1,2,3,4,5,6,7,8,9… God for shake!!   *mau teriak sekuat  tenaga rasanya. Bahkan tidak 1 nyawapun dihargai lebih mahal dari sebuah handphone… Arghhttt!!!
Dear all, ajari saya kepada siapa tepatnya saya melemparkan makian ini, atau ajari saya mengekang mulut ini dengan semua  makian yang siap terlontar diujung lidah.

24 Jan 2012

Indonesia my lovely country


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya!!,,, begitu kalimat yang diserukan oleh bung Karno.

Tapi,,, tanya (kan) kenapa??

Bangsa yang besar adalah bangsa yang hobi ikut-ikutan.  (Sepertinya) capek dengan semua yang berbau kebule-bulean, sekarang anak-anak mudanya disibukkan dengan trend keputihan (pek tay kalii, hahaha) para artis korea yang udah jelas-jelas internet bilang mereka gak ada yg original. 

Bangsa yang sudah 7 turunan dijajah Belanda. Bangsa yang keranjingan sama semua made in barat.  Sadar gak sih sepatu merk Barat itu kebanyakan tuh diproduksi  di Indonesia. Oleh para buruh Indonesia, dengan gaji sebanding dengan harga sepotong rotinya si Tiger wood, yang jadi bin(a)tang iklan-nya. kok sewot sih?? iya nih belakang kita tau khan, kalau duit si jago golp sedunia itu ternyata habis buat para PSK-nya yang bertebaran dimana-mana.

Bangsa yang malas menjaga ‘ciri khas’nya, sukanya liat yang galamour kaya dibarat sana. Giliran orang lain mengagumi atau bluffing langsung panas ‘sok nasionalis’. Bangsa yang sibuk ngurusin negara orang lain, tapi gak sadar juga disisi lain anak bangsa tiap hari diperkosa massal. Oleh bapaknya, anaknya, kakeknya juga oomnya. Mungkin juga oleh tetangganya. Aku masih bingung soal ‘kemufakatan’ pemerkosaan ini, apa janjian dulu di bb group apa gimana ya?? Tapi kisahnya sama: perkosaan massal!!!

Bangsa yang bicara keadilan social yang berazaskan Pancasila, dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Bahkan tidak berani menindak perampas hak keyakinan umat lain dirumahnya sendiri. Para 'petugas negara', yang hanya jadi penonton di kursi panas. Yang jadi pemandu sorak bagi tindakan premanisme berspanduk “TUHAN”. Bangsa yang pemain sepakbola dihargai karena ‘agamanya’.

Pejabat bangsa yang baru akan pakai produk local saat akan pemilu dan turun tahta. Para anggota parlemen bangsa yang hobi makan uang rakyat kecil dengan alasan ‘demi penunjang TUGAS’ .  Kejaksaan yang seneng-nya menuntut pencuri sandal, pencuri kelapa, pencuri voucer pulsa yang 10-rb tapi mendadak kurang bukti jika menuntut koruptor kelas kakap.

Hampir seriap hari kita disuguhi adegan tawuran di segala lapisan masyarakat. Ddari kuli tak bersekolah sampai pelajar berpendidikan tinggi, tapi entah kenapa aku (barangkali pengetahuan umumku tidak cukup luas) belum menemukan satupun orang indonesia yang menjadi juara dunia diajang martial art,,,*please,, correct me if I am wrong...

Pemimpin bangsa yang akan sempat-sempatin mengomentarin artis yang katanya ditawan sama suaminya. (ditawan kok ya nempeeel trus kaya perangko) Tapi tidak secuil kalimatpun keluar ketika anak bangsa sejati yang mati dibunuh oleh dosennya karena niat mencuri hak ciptanya. Kalau aku gak salah si pemimpin ini juga sempat mengkomentarai foto pornonya si artis, “yang tidak mengaku juga”. Tetapi aku tidak melihat ‘bapak beliau yang terhormat’ ini mengeluarkan pernyataan ketika para TKW sudah bernasib diujung parang, (sampai kemudian ada yang mati ).

Bangsa yang 350 tahun dijajah, kemudian 32 tahun dibodoh-bodohi. Dan banyak tahun dalan kebohongan publik. Bermental pembantu, ABS, sukanya cari aman sendiri. Selama gue masih makan ngapain ngurusin begituan, gak ada untungnya (apa-apa dilihat untung-ruginya). 

Dengar orang (baca:teman) naik status, kepala langsung pening (tapi janji semanis madu,,), giliran  ada yang komentar dibilang LANCANG/IRI. 

Paling anti dengan kritikan (usil dan sirik: bahasa khas-nya) tapi mabuk dengan pujian. 
Maka pengkritik=sirik karena tak mampu, si pemuja=jujur dan mengerti... Tidak berbuat apa-apa, tapi bilang (sedang) sabar (menunggu).  Sukanya tarik selimut dan lanjutkan tidur dengan nyenyak dan ‘ngedumel dibelakang --dengan alasan image--  jika dipaksa bangun. Giliran komentar opositer menang, semua anti dan sekutu menimpali komentar “seperti yang saya pikirkan juga” halaah,,,  

Indonesia my lovely country,,, Indonesia yang dengan sengaja dan tidak, juga mencipakan manusia-manusa bawel dan rese seperti aku, *pasang seringai kesal dengan tertahan --demi untuk (ikutan) jaga image -- ,,, #follower mode on.  
Hanya berani berkata-kata di dunia maya-ku yang punya pengunjung tidak banyak ini,,

21 Jan 2012

Candu Tipi

Aku tidak bermaksud melecehkan industry hiburan Indonesia dengan tulisan ini, aku hanya menumpahkan kejenuhan yang rasanya makin memuncak. Beberapa kali temanku memasang MP3 di PC, dan beberapa kali itu pula aku menanyakan, “lagu siapa tuh?”.  Lalu disebutlah nama ini dan itu. Dan bagian dimana aku paling disoraki adalah, ketika ‘katanya’ itu adalah lagunya Afgan,, Oh, hanya itu balasku enteng.  Seperti di komando beberapa teman ini langsung menyemburku dengan semprotan, “gila lo Afgan gak tau?”... Menurut aku sih, “so what gitu lho?”. Pusing gak sih lihat begitu berjibunnya para artis-artis pendatang baru yang instant, dan tau-tau sudah mengeluarkan 3-5 album. :p

Anyway, walaupun aku gak tau lagunya paling tidak khan aku sudah tau nama  si artis. Bukannya begitu cara ‘naik’ diindustri per-entertainment-an Indonesia?..  Gak perlu prestasi, yang penting segudang sensasi, hehehe.

“Kok sinis sih...” (kata banyak orang), 
"engga juga kalee", serasa interview gue. *ngarep jadi selebritis juga dong..kwkwk. 

Habisnya, aku —merasa sebagai banci tipi, I was. Aku mulai males dan capek  liat  tipi yang isinya, mulai dari persinetronan, pernyanyian dan percintaan dan permasalahan selalu diisi oleh artis yang dia lagi-dia lagi, masalah ini lagi - ini lagi. Baru aja tenang berapa minggu eh besoknya bersambung, maksudnya apa ya??  

Belum lagi kisah-kisah ‘karangan’. Bisanya ini sih buatan anang (artis nanggung), yang dah ngebet mau melesat cepat bak meteor dan menteror. Baru ‘kasak-kusuk’ marahan eh tau-tau dah pelukan, baru aja sambit-sambitan statement eh ‘ketangkep’ jalan bareng. Ramai bikin ‘sesuatu’ dengan konsep “konsumsi Pribadi”, tapi ‘sadar’ suatu saat akan kebuka…  maksudnya apa lagi niy?? Halaah.

Berasa gak sih, banyak artis yang kita gak pernah kenal segment-nya apa, terus gara-gara banyak gossip ana-ini mendadak booming trus kemudian main filem, jadi MC , punya album, lalu ... punya acara sendiri.  

Nah, sebagai banci tipi (I was a television addicted, beneran deh). Waktu itu,  aku sukaaa bangeet sama beberapa artis −jaman dulu, pastinya−. Akan tapi, untuk ngeliat dia muncul tuh susaaaah banget. Karena (biasanya) mereka cuma muncul di 1 judul, itu juga seminggu sekali, itu juga kalau tidak disisipi “berita khusus TVRI”, itu juga kalau hari sabtu gak keburu mati lampu, so harus sabar menunggu masa yang akan datang lagi, untuk liat si bintang ini... jiaah, lebay banget.  Ho oh.

Malah kadang-kadang di film itu, walaupun sudah dibuat pemeran utamanya adalah si Sarap dan si Bedul... Bisa lho adegan mereka ini langka, malah kadang gak muncul sama sekali hari itu. Tambah penasaraaan lagi khan?. Pokonya jaman dulu, film itu begitu adil pada semua pemainya (mau dia bintang utama apa pembantu, semua muncul sesuai takaran-nya). Tapi sama sekali tak berpihak pada penonton yang udah pada dag-dig-der –dut penasaran. *curhat mode on,, hihihi

-- my favorite one --
Bandingkan dengan sinetron (atau  film)  jaman sekarang, yang hanya berpihak pada ‘beberapa wajah’ dan selalu muncul disemua jenis layar. Apakah para production house itu tidak mau mengerti betapa muaknya kami (apa hanya aku sajakah?? Aw aw aw,,) dengan si wajah itu lagi-itu lagi. 

Serupa dengan acara  permusikan: ada dia lagi (entah dia nyanyi pake suara apa itu), ada juga yang membuka mulut tanpa pernah benar-benar mengeluarkan suara. Heran si MC pasti aka bilang “berbakat”,,, OMG apakah aku harus belajar lagi sama JS. Badudu apa arti berbakat secara harafiah bukan ‘goodwill’. Sangat standard!!
Di bagian per-film/sinetron-an: jam sinetron siang hadir lagi ‘siwajah’ itu, sinetron lepas magrip muncul kembali wajahnya, prime time again dia−. Belum  lagi selingan-selingan impoten-tainment nya: they back..(again)

Lebay gak segitunya kali.. (pasti ada yang komen gini), ya ya ya.. —kalau aku salah— please name me: 20 nama artis yang jadi ‘tokoh utama’ disinetron/film. Khan sekarang menjamur banget tuh judul-judul film/sinetron. Paling hebat kamu hanya bisa kasih aku 5 nama. Karena apa? karena setelah sinetron ini habis tidak lama kemudian mereka ganti judul dan pemainya: still the same bebeh,,,

Aku tidak bilang mereka tidak berbakat (tar dibilang sirik tanda tak mampu lagi,, hadeeeh). Katakanlah mereka memang berbakat (secara aku gak hoby liat sinetron jadi gak ngapalin juga which ‘bisa’ dan ‘tidak’, tapi sering terpaksa ‘terjajah’ juga karena mertua nonton, kyaaa).  Tapi mbok ya jangan hiper, luber, tumpahan, berlebihan, banjir  kek… It’s you again, again you, you again what?? (kamu lagi apa??) Hehehe..

karakter pemain curam abis, anak SMP sudah disetel jadi ‘dewasa’. Sedangkan artis-artis yang (setau aku sepantaran aku...), sekarang karakternya jadi ibu-ibu dengan anak usia 20-an... Tak ada lagi budaya (sudah jelas pake baju-baju jawa) kok dipanggilnya ‘Oma’. So what’s wrong with:  mbah, eyang, kakek /nenek atau opung.. 

Soal kisah standar lah: harta, tahta dan wanita. 3 TA.
Tokoh utama: kaya, cantik, baik hati dan terjajah atau ketuker. Si anatagonis: jahat, sadis, bangkrut, dengan mata gede-gede. Pasangan yang disukai si jahat biasanya  ‘memilih’ si pemeran utama… #ambil helm buat tutup muka.

Kadang rasanya pengen banting tipi kalau sudah keseel banget liat acara-acara kacangan itu (hiiyyy), tapi berasa sayang aja. Ya iyalah, dia enak bego-begoin publik dapat untung, nah aku udah kesel, rugi pula,, engga banget khan. Hahaha,,

BTW ada yang punya perasaan sama kaya aku gak sih??

Like Son Like Mother ??


Walau sadar punya banyak kesamaan dengan  Kaleb  —my middle and the only male kids —  sering  aku merasa sikap Kaleb  sangat menganggu, membuat kesombongan ku bilang kita beda. Kaleb dan aku TIDAK SAMA.

Kaleb anak  kecil sok gagah yang fragile  tapi mandiri, yang galak tapi pencinta sejati, cuek tapi sangat perhatian even to the small details. Kaleb orang yang sangat menikmati hidup bahkan sampai ke-hal yang kadang tidak (perlu) kita lihat atau sesuatu yang (terlihat) tidak penting  but then he just care than he will share it...

Misalnya, kemarin dengan tergopoh-gopoh dia membawa DVD dengan judul yang belum aku lihat sinopsisnya di media apa-pun. Aku membacanya Ai Pi Men (tulisanya Ip Man) ternyata ejaannya sama dengan tulisannya. Ini adalah masalah speling China menjadi  internasional (lafal Inggris IP dan YIP di bunyi China). Sebelum aku tau, Kaleb sudah terus  ngotot kalau ini dibaca Ip Man

Yups,, selesai soal nama, kemudian pikirku “siapa juga Mr. Ip ini?“ rasanya tidak penting banget film ini untuk dipamer. Akhirnya dari internet  aku tau siapa si Ip Man ini. Ternyata dia adalah (bakal) gurunya  Bruce Lee. Entah dari mana pengetahuan ini  Kaleb dapat. Kalau aku baru mencari tau setelah mendengar celotehnya tentang kehebatan si Ip Man ini. It’s (seems) just a simple and not important things at all, tapi sosok Bruce lee yang kenamaan jelas membuatnya ‘bangga’ mengetahui kalau Mr. Ip Man adalah gurunya.  Makanya anakku begitu senang membagikan ‘info tidak penting ini’. hehehe

Waktu musim sepatu plastic dengan harga bombastic, beberapa kali Kaleb protes dan meminta dibelikan. Terlepas soal harganya, aku memang tidak terlalu tertarik dengan modelnya, However,  he just a kid of nature. Demi melihat sepupunya punya dia mulai terusik. Pergilah kami ke pasar dan mall  untuk memenuhi rasa ingin taunya, kubiarkan nuraninya berbicara dan menimbang. Then he just  came to near me and said. .”wah mahal banget ya ma, ya sudahlah abang beli yang dipasar juga gak papa, yang penting khan punya ya”… dia bilang tanpa aku ajarin, dia menimbang dengan kacamata bagaimana ‘sederhananya’ aku biasa hidup…

Kisah lain, dia ingin punya sepatu gunung yang bagus, sekalian biar bisa dipakai gereja pikirku dan dia menyetujuinya. Apadaya dengan gaji  yang pas-pasan aku harus melewatkan beberapa kali gajian untuk mampu membelinya. Suatu malam itu tanpa rencana kami iseng main ke pasar malam dekat rumah, lalu dia melihat sandal gunung (wanna be) yang jelas kelihatan -mungkin tidak sampai beberapa bulan- juga bakal hancur. Tapi waktu itu memang baru sampai itu kemampuanku. Aku menawarinya dan apa yang terjadi: dia tetap menerimanya dengan penuh rasa bangga seolah-olah aku telah membelinya dari mall, dia mengapresiasi ‘sendal murahan’ itu dengan gesture yang sama ketika menerima perlengkapan untuknya di hari Natal. Menjaganya dengan (sangat) hati-hati sampai beberapa waktu, meletakannya disamping tempat tidur  dan he just don't really care for the style  yang nanggung, harga yang buntung, dia hanya menginginkan sandal. Dan dia mendapatkanya.

Bajupun tak pernah menuntut, asal jangan berwarna ‘perempuan’. Pun  jika ‘memang’ harus, aku hanya butuh alasan dan bukti yang tepat. Tapi untuk ukuran anak cerewet dan perfectionist,     —menurutku —  kaleb benar-benar anak yang apa adanya soal materi. Makanpun simple, harga pun tak mengerti mematok, waktu dia menginginkan bola blister (selesai musim piala dunia) dan aku hanya membelikanya bola kulit-kulitan yang 15ribu-an (itupun lamaaaa kemudian),, andai bisa ku gambarkan lagi raut kebahagianya. Huuuu,,

Atau ketika dia melihat mobil-mobilan-an kecil di tipi dan minta dibelikan, tapi aku (hanya) membelikanya mobilan (biasanya dijual diplastik transparan dan bergantunga seperti kacang), atau mobilan yang diberi orang atau yang ‘nemu’ di loak-an… dia tidak tergangu, walau tetap berharap. Dia tau cara menghargai ‘yang ada’ meski dalam paket yang lebih sederhana.

Begitupula dalam mengagumi yang dia lihat beyond ordinary. Seperti  guru sekolah minggu yang sabar, anak-anak yang pemberani, anak yang nakal, anak yang manis, anak yang pintar, anak yang ‘berbeda’.. dia tau menilai (walaupun masih dalam sudut pandangnya yang cetek) tapi dia selalu mengakui kelebihan orang lain, kekurangan orang lain dan dia mampu menakar kekurangannya atas kelebihanya dengan orang lain.

Selama ini sering aku merasa (walaupun sadar he just part of my character) kesal dan terganggu dengan segala kecerewetan Kaleb yang sok tau, komentar tidak pentingnya  dan ‘nerimo’nya yang pasrah.

Belum lama ini aku seperti dihadapkan dengan cermin. Iseng membongkar-bongkar ‘harta karun masa lalu’, ternyata kartu ucapan natal teman nyaris 20 tahun yang lalu  —selalu kuingat sebagai ‘perhatian yang tulus’ walau kenyataanya menjadi jerat bagiku —, kartu ucapan HUT dari teman kuliah di tahun ’98, kartu nama ‘kenalan’ ditahun ’95 —bahkan kita tidak pernah jumpa darat —masih saja kusimpan. Seperti ada memory ‘khusus’ didalamnya. Padahal sejak tahun 1999 sampai hari ini aku sudah mengalami pindah rumah sampai 6x  —3x pertama masih satu daerah —.

Sembari mebuka-buka ‘tas memory’ itu, pikiranku semakin melayang-layang:
Teringat seorang teman SMP yang tanpa dia sadari ‘telah mengajariku’ mengenal kantor pos, pasar inpres, kesan “jangan sekali-kali menonton telenovela”, jangan pernah bikin gank, be cool  dalam banyak hal, di tahun 93-94. Semuanya masih terekam dikepalaku dengan kuat.

Di tahun’96, teman lain (ingat nasihat teman jangan pake nama sembarangan,, hihihi) yang baru kukenal ditahun ajaran baru SMA  —dia anak pindahan —. Juga keseharianya (telah) mengajariku menjadi orang yang percaya diri, tidak takut menjadi ‘beda’, jangan takut bermimpi, bertoleransi tingkat tinggi, berbagi,  menyisipkan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari kami, dan sedikit bohong itu perlu  (yes dear, I learn this from you..hehe) masih aku pegang sampai sekarang.

1999, tempat pertama yang aku singgahi ketika akan menikah. Selimut yang dipinjamkan, CD Britney Spears yang tidak takut ku pegang-pegang (padahal kami belum kenalan hari itu).

2004, para TKW yang nakal, susah diatur dan menyebutku “ibu paling cerewet”,, miss you all dear  :0

Gelas Tupperware dari ibu manajer (yang waktu itu aku dapat karena kita niat manas-manasin ibu GA, hahaha) walau bendanya sudah hilang  dan hari-hari terakhir kami tidak lagi hangat, masih aku ingat selalu. Kejadian bullying waktu itu juga menyisakan ‘pesan moral’ khusus buat aku.

Tahun 2005. Sapaan yang ramah dari  Satpam dihari pertama aku joint di perusahaan Jepang, dan seorang Satpam ‘sok akrab’ dan supir baik hati —yang sebenarnya kami juga pernah berselisih —yang kemudian (tetap) menjadi teman curhatku (sampai hari aku menulis ini). Hehehe,,,

Pertemanan kerja yang isinya penuh dinamika, sepanjang 2005-2010. Bagaimana ‘mengalah dan pasrahnya’ HRD pada nasib dan kelakuanku.hahaha... Yes, aku tidak perlu jadi putri Cinderela untuk tahu kalau dalam banyak hal HRD ‘terpaksa’ mengalah dengan argumenku,, tengkyu pak.. :p

Senyum ramah mbak receptionist di perusahaan Eropa,, senangnya. Aku mengartikan: tawaran pertemanan.

Pemberian, pemberitahuan, teguran, ajakan, undangan, ajaran teman, sapaan, tawaran —bahkan dari siapa saja, sekalipun dari orang yang tidak (pernah) aku duga sama sekali — selalu berarti banyak buat aku. Sering “mereka” melakukanya dalam kapasitas ‘kewajiban/sambil lalu/niat/ketidak sengajaan’ tapi kemudian aku menyimpulkanya sebagai perhatian (walau sering dalam tanda kutip), yang mungkin suatu saat menyenangkan jika di kenang kembali.

I am not a kind of person yang hanya akan ingat; pemberian mahal, janji yang manis, pertolongan-pertolongan ‘besar’ aiiihh,,,  aku merasa setiap orang punya 2 sisi hidup. Seperti aku menyadari 2 sisi karakterku yang sering diartikan salah (atau mungkin karena sentimental, I just don’t know, hoho..) aku cukup mengerti bahwa siapapun orang itu, dia bisa menjadi guru, bisa menjadi inspirator, menjadi  pemberi, menjadi pemimpin, menjadi penerima, menjadi musuh tapi tetap meninggalkan ‘kesan’.

Tanpa dia harus punya alasan: orang pintar, orang kaya, orang berpendidikan, orang bule (yeah, kita adalah orang-orang timur yang selalu merasa “barat” adalah tolok ukur semuanya) orang baik, suku apa, agama apa… sepanjang aku merasa bisa ‘memetik’ ilmu sekalipun dalam hal yang tidak aku setuju. Akan ku simpan sebagai Ilmu Pengetahuan Umum,,

Then  ketika aku  menemukan kalimat ini: “orang yang berbahagia bukanlah orang  yang hebat dalam segala hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan mengucap syukur by  Roger Lowenstein” , lalu aku merasa perlu mengucap: thanks God, I know that meaning..

20 Jan 2012

Double Jeopardy


Salah satu film yang memperlihatkan kekuatan  seorang perempuan adalah film Double Jeopardy.  Film lawas yang dibintangi artis Ashley Judd ini,  sekalipun tidak di-isi dengan kehebatan aksi (seperti layaknya tokoh Xena) atau keseksian yang mematikan (seorang agen bernama Elektra). Kecerdasan seorang perempuan yang dikhianati laki-laki dimainkan dengan sangat baik oleh artis ber-bibir sexy  ini.

Bagian yang paling aku sukai adalah ketika dengan sadar dia muncul di pesta lelang sang suami, yang seolah-olah adalah pembeli rahasia. Tidak ada digambarkan dia ‘klepek-klepek’ dengan  mantan suami yang sekarang sudah jadi jutawan. Tidak ada pula scene dimana wanita ini kemudian terbuai oleh rayuan si mantan ini.  Tujuanya jelas dan tidak melebar, ingin meminta hak atas anaknya untuk dikembalikan dan sedikit penjelasan “why you do this to me??”…. setelah perjalanan rumah tangga yang selama ini tanpa masalah.

Aku tidak bermaksud membahas film ini secara menyeluruh, hanya mengagumi kegagahan sosok perempuan yang dihianati dan dibuang tanpa penjelasan apa-apa oleh sang suami. Sekembalinya dari penjara Libby (Ashley Judd) tidak menjadi mellow dengan nasibnya, tidak pula mengemis cintanya yang hilang.

Dia kembali dengan kepercayaan diri yang terbangun  sebagai orang yang ‘ditikam dari belakang’ untuk mengejar haknya yang (telah) dirampas dengan paksa oleh orang terdekatnya. Libby mengejar semua dalam ke-papah-nya sebagai seorang bekas narapidana dan ibu yang (nyaris) terlupakan. Dan dia tetap mengejarnya. 
I love this kind of woman's spirit, VIVA!!  


Mau ketemu bapak menteri,,,


Entah kenapa, meskipun aku bisa paham tapi masih suka aja sedih bin kesel dengan statement-statement orang yang terlalu sinis dengan demo. Menurut aku demo tidak melulu berarti buruk. Yah.. ada juga demo yang menurut aku tujuannya terlalu munafik dan TIDAK beralasan: yaitu, demo dengan bawa-bawa keyakinan dan menafikan keyakinan orang lain, sambil mulut meneriakan nama Tuhan dan tangan merusak property orang lain  juga sambil ngatur-ngatur ‘moral’ orang. Terlepas soal agama apa itu, that’s a such of stupid dummy things for me.

Tapi kalau ada keramaian demo buruh?,
sebagai ‘mantan buruh’.  Ya jujur, sekarang aku merasa sudah ‘sedikit’ keluar dari istilah buruh secara kontekstual. Walaupun aku sekarang masih buruh (bekerja untuk orang lain dan masih bergantung dari gaji), —minimal aku sudah duduk dibelakang computer— (tidak mau sok merendah  dengan bilang ‘semua juga buruh’ tapi ‘sadar  jabatan’ dan apatis dengan aktifitas buruh).

Aku bukan penyuka anarkis, sama sekali bukan. Aku bukan pula pendukung kerusuhan... bukan pula aktifis kemanusiaan atau aktifis pembela hak pekerja. Tapi cukup mengerti –karena lama diposisi ini... mungkin– kenapa sebagian besar buruh ‘suka’ berdemo. Aku miris dengan komentar-komentar petinggi dan non-buruh yang sinis dan skeptic. Bahkan banyak yang kotbah dengan dalil agama, bagaimana sebab-akibat dari sebuah demo... iya aku tidak bilang ini selalu benar, tapi cobalah buka mata dan lihat kenyataan bagaimana nasib buruh di Indonesia.

Menurut aku, apakah ini karena aku tipikal orang yang sok humanis, atau memang kerena aku lahir dikeluarga buruh. Hmm, ataukan memang aku marah dengan ketidak adilan ataukan karena jiwa rebelism itu memang ada didarahku. Aku (merasa) tidak takut berdekatan dengan para pendemo, karena menurut aku niat mereka hanya ‘menuntut kelayakan’. 

Dan yang perlu kita lakukan hanyalah MENUNJUKAN  ‘kerjasama’ dan ‘dukungan’. Kalaupun (kenyataanya)  —mungkin, kita merasa sudah cukup dengan kehidupan kita—. Mari tunjukan kita Peduli.
Karena banyak dari mereka (memang) BELUM menikmati kelayakan, toh yang mereka tuntut hanya “sampai biaya kelayakan hidup”.
 
Maka seandainya pun kita masih belum bisa saling memahami, mbok ya mari sedikit ‘mengalah’ dengan massa-nya (lupakan mereka ‘buruh’). Yang pasti mereka (seperti kebanyakan para pendemo lainya) merasa sedang dalam ‘perasaan’ terbuang, terlupakan dan termarjinalkan. Maka ‘terpaksa’ kita ‘harus’ mengalah dan perlu banyak bijaksana dalam menyikapinya. Karena kita tau bagaimana (bisa) buas-nya jika perasaan luka itu diabaikan…

*Hidup buruh!!! Aku masih berfikir bagaimana caranya agar demo bisa berjalan tanpa ada tindakan anarkis (sekecil apapun) dan juga ada kerjasama yang baik (dari semua pihak).

Ada yang bisa mempertemukan aku dengan bapak menteri tenaga kerja??? Fuiihhh,,,

19 Jan 2012

STOP BULLYING


Aku lihat acara Mata Najwa semalam (18-Jan-2012) tapi yang membawa acara adalah Mba’ Kania Sutisnawinata (semoga spelling-nya benar, hehe) terpana dengan bahasannya: TUNJUK KUASA. Bagaimana tradisi bullying semakin marak tapi terselubung di sekitar kita.

Yang aku tau sejauh ini, bullying itu adalah: tindakan secara fisik terhadap orang lain karena  dasar ‘rasa tidak suka’, nah batasan tidak suka ini sulit didefinisikan. Tapi semalam aku mendapatkan jawaban yang lebih tepat dan persis seperti apa yang aku pikir selama ini tapi tidak berani terucap karena berkesan asumsi: orang ‘menekan’ orang lain pasti karena alasan kekuasaan.

Teringat kisah temanku yang selalu dibulan-bulan Ibu GA atau kisah ku dengan Ibu Manager yang berusaha menekan aku sekuat kekuasaanya. Aku mengerti sekarang: AKU MENOLAK DI BULLY, itulah sebabnya mereka (semakin) berusaha keras menjatuhkan aku.

2005 awal, masuk kantor baru dengan suasana ‘aneh’. Ada tokoh central diperusahaan ini (perempuan, usia matang, belum menikah) dan entah apa yang dia miliki —yang aku tau kelebihanya hanyalah: dia orang lama— tapi semua orang (serius kata ini bukan majas hiperbola) nyaris tunduk kepadanya. Segala sesuatu harus berdasarkan ‘maunya’, semua seijin ‘nya’, segala   sesuatu entah itu berkenaan dengan departemen GA (waktu itu kita belum punya HR) atau TIDAK semua WAJIB atas sepengetahuan beliau.

Acara makan siangpun demikian, jika dia melangkah ke ruang meeting, serentak semua  (yang tidak banyak ini) akan mengekor, kalau tiba2 dia sedang malas bergerak maka beberapa ‘perempuan’ —dulu aku mengumpamakan mereka dayang-dayang— akan langsung stay disampingnya. Memanggil orang sesuka hati, bahkan berteriak sekehendak, memerintah semau gue.  Sebagai anak baru, aku sempat menjadi korban, merapihkan storeroom yang isinya document dari semua departemen diruangan kecil yang ada dibawah tangga dan pengap berdebu. Belakangan aku tau,  kerapihan tiap-tiap arsip (sebenarnya) diatur oleh dept. masing-masing. Sebagai anak baru, waktu itu aku hanya pasrah (walau dalam beberapa kesempatan aku tunjukan kepadanya aku tidak suka ini).

Tidak perlu waktu lama, tidak pula sampai bertahun-tahun untuk  aku menyadari bahwa perempuan ini ingin menunjukan kekuasaanya. Sadar tindakanya untuk SHOW UP POWER, ditambah sindiran-sindirannya, celetukan-celetukannya yang menjatuhkan, aku memilih menjadi diri sendiri. Jika dia makan diruang meeting, aku pilih menyendiri, ketika dia mengajak ‘gerombolan’ untuk duduk di loby, aku pilih ke musolah, saat dia berteriak-teriak uku balas dengan ‘pura-pura’ menelpon dengan suara keras pula. Ini awal mula ‘menantang’ ku dengan perempuan yang sampai hari dia keluar aku masih menghormatinya sebagai saudara seiman, tapi aku tidak mau larut dalam plot per’ploncoan’nya.

Ibu Manager adalah ‘tantangan’ utama dan paling berat buat Ibu GA, orang Batak pula cing.. jelas lebih galak dan sangar. Semasa mereka bersanding, terjadilah saing-bersaing dan sikut menyikut yang tersembuni tapi kami semua tau. Segan dengan jabatan ‘Manager’ Ibu GA ciut, sungkan dengan kesenioran Ibu GA si Manager masih jaga kuda-kuda.

Bullying ke-2 dimulai, ternyata (prediksiku selama ini benar) tidak lama sejak Ibu GA (akhirnya) resign.  Ibu Manager mulai menunjukan taringnya. Bentak sana, bentak sini (sedikit lebih berkelas dari pada Ibu GA yang bicara macam diterminal), atur sana atur sini, sedikit-sedikit ‘jual’ nama manajemen -Director- (akhirnya sesuai petunjuk manajemen dept GA menjadi HRD), tapi entah kenapa HRD tetap kalah gigi dengan Ibu Manager.

Moody style on, kalau lagi bĂȘte dan banyak kerjaan, siapa yang mendekat dilibas, entah apa dan bagaimana yang kami tau kemudian si Ibu manager bertambah kekuasaan (atau hanya gajikah,,) yang jelas taringnya memanjang, gaya bossy-nya meletup-letup. Seperti kuda manis keluar dari kandang si Ibu manager semakin memperluas sayap kekuasaanya dengan garang.
Semua jajarannya yang selevel ditaklukan, setiap staf yang agak-agak kurang segan dan hormat mulai digosok. Aku salah satunya, sejak semula mataku terbuka, GA dan Manager 11-12, hanya tunggu waktu (tapi tidak nyangka lebih parah). Aku termasuk yang membaca situasi dan memilih untuk tidak tunduk sama sekali. 

Aku menyebut ini “dia minta diakui eksistensinya sebagai Bos”.. dan buat aku yang sadar diri (demi Tuhan aku sangat sadar diri) cuma level staf aku merasa tidak perlu “menjilat”  beliau untuk menunjukan hormat toh sudah jelas dia Manager jer, aku cuma staf, gaji dia aja berkali-kali-kali-kali gajiku, nothing to proof at all. Aku memilih untuk ‘menjaga jarak’. Aku tidak mau membodohi diri dengan menjadi ‘pura-pura manis’ demi memberikan beliau kenyamanan yang menurut aku sebenarnya tidak penting aku berikan, toh posisisinya memang sudah di atas daun,,   Semakin dia memasang aksi kuasanya, semakin aku menjauh, aku menolak duduk disampingnya dijemputan, aku memilih tidak menyapanya dengan basa-basi (lagi) karena biasanya aku menyapa beliu, tapi seperti biasa jika mood nya lagi rusak sapaan orang bisa dibalas makian “ hallah pura-pura”, “mau ngejilat”, “munafik”, “topeng” dan sebagainya.
Lama-lama aku jenuh dan muak, so aku memang orang yang ‘jarang’ menyapa nya. Malas juga mengomentari kacamata barunya, potongan rambut barunya, stoking hitamnya, mobil barunya, jalan-jalan ke Amerikanya.

Lho kok aku tau semua, ya iyalah khan engga buta, punya telinga punya mata: karena (tadinya) sering dengan tampang bloon aku sudah datang ketempatnya dengan maksud menayakan atau sekedar menyapa, tidak jarang dapat jawaban “War, tar aja nanyanya gue lagi kesel”, “tanyanya nanti aja gue masih jet leg”, “gue lagi  engga mood”, “gue masih ini, masih itu”,,
Mungkin waktunya engga tepat?? iyalah sesekali mungkin, tapi kalau kita (terus) harus ‘membiasakan’ diri menunggu mood dia tenang. What the he** is going on here!!!
 That’s why then, aku memilih untuk menghindri beliau.

Kisah indah dengan kasus (ternyata) bullying: khan sudah ada ditulisan blog ku terdahulu…(bulan April 2011)

Bagian yang mengingatkan dengan Mata Najwa:  TERJADI PEMBIARAN MASSAL atas setiap aktifitas bullying/tunjuk kuasa/premanisme dengan mengatasnamakan kewajaran, seolah-olah it’s nothing.. It's nature,,
Toh dari yang ‘berkuasa’ kepada yang ‘tidak’ berkuasa, bagian dari ‘seni’ hidup dan tidak ada aktifitas fisik didalamnya. 

Kebanyakan orang memilih meringkuk nyaman didalam 'kerang'nya. Kita lupa: orang kecil, orang terlupakan, orang marginal, orang rendahan juga punya hati, punya rasa, punya mau!!

Ini yang aku alami. Orang lebih mengingat aku sebagai ‘pemberontak’ padahal mereka semua sadar kalau telah terjadi “pem-ploncoan” dalam kegiatan kita bekerja. Nyata ada orang-orang yang MENUNJUKAN KUASA dengan cara yang berlebihan, mereka juga merasakan kalau SIKAP dan TINDAKAN para ‘penguasa’ itu tidak benar. Tapi konsentrasi mereka lebih tertuju pada minoritas yang pembangkang, seseorang yang tidak patuh, seseorang yang merusak  “ketenangan”…