30 Jan 2012

Kenapa Kaleb Kristen ??


Pertengahan 80-an, pertamakali kami sekeluarga  menginjakkan kaki di Kota Jakarta. Seingat saya waktu itu ‘toleransi’ masih merupakan pelajaran WAJIB disekolah, juga di lingkungan tinggal saya. Maka jika terjadi perselisihan dalam pertemanan anak-anak, ketika saya dihina dengan kata “gereja” maka adalah lumrah ketika saya membalas “mesjid” (demikianlah lagu berantemnya anak-anak jaman dulu :P, hehehe).  Ketika dikatakan “pendeta t*i”, kemudian tidak ada kesalahan berarti juga  jika saya mejawab “kyai juga t*i”. Dan demikianlah selanjutnya, dari mengata-ngatai fisik bangunan, orang ketiga yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan perkelahian kita (seperti si pendeta dan kyai itu) tapi demikianlah kami – anak-anak usia 7-10 tahun- tahun 1980-an bertengkar. Sering kemudian memaksa menarik benang merah ke unsur SARA.

Misalnya: Entah apa awal mulanya perkelahian itu, biasanya akan berujung pada kontak verbal seperti : dasar batak makan babi sekaleng, China matinya dibakar, China lo, Kristen Tuhanya tiga, orang batak gila. Jangan temenan sama China, jangan dekat-dekat yang makan anjing –haram–, orang kampung dan sebagainya. Mengingat waktu itu balas-membalas  juga bisa diterima kedua belah pihak, maka jarang (bahkan sejauh pengalaman saya tidak pernah sih) ada masalah seperti ini berujung pada keributan antara keluarga apalagi golongan. Sekalipun waktu itu tetangga kami hampir 99% adalah muslim dan mereka rata-rata pendatang dari tanah jawa.

Semakin bertambahnya tahun, atas nama demokrasi, Hak Asasi Manusia dan hukum, telah  dikeluarkan konvensi (karna dasar UU-nya yang mana saya tidak paham betul) yang melarang mengeluarkan statement-statement yang berisi unsur   SARA. Tapi kenyataanya hinaan, intimidasi, cela-an (semua sekarang dirangkum dalam satu kalimat: bullying) ini memang masih saja marak terjadi. Hanya sekarang dalam chasing yang berbeda: mayoritas kepada minoritas, yang berkusa kepada yang kurang berkuasa. Kalau jaman dulu mayoritas dan minoritas bisa sama-sama saling mengejek demi meluapkan kesal maka sekarang yang ‘boleh’ menghina, menyudutkan dan menjatuhkan hanyalah kaum mayoritas dan kaum yang lebih ‘merasa” kuat  dengan dalil kepentingan orang banyak.

Adalah Kaleb, anak lelaki  yang sejak kecil memang tumbuh dengan segala kelembutanya.  Dia biasa jadi bahan olok-olok temannya, karena tidak pernah memanjat pohon atau pagar,  tidak juga (saya biarkan) ikutan main layangan di jalan. Dia biasa jadi samsak sepupunya atau korban keusilan temannya.  Kuakui Kaleb sejak kecil termasuk anak iseng, misalnya menggoda anak perempuan (menyembunyikan mainan atau sendal), merecoki si kakak  jika bermain tanpa mengajaknya. Semua dengan kenakalan verbal (sejauh ini anak-anak ku tidak berbicara ragunan dan kasar) tapi ‘sepengetahuan’ kami  Kaleb bukan pemain fisik, sama sekali bukan!!

Tapi sejak kelas 3, sudah hampir 2 tahun ini. Saya beberapa kali dipanggil oleh Ibu guru karena tingkat kenakalan Kaleb sudah melebihi batas. Misalnya: dia sekarang mulai memalak, berani menyerang beberapa anak yang bergerombol, pernah membawa pisau lipat (entah dimana dia menemukanya, karena kami tidak mengenali barang itu), menilep uang yang dia bilang untuk bayar ‘sesuatu’ disekolah, belum lagi bejibun PR nya yang tidak mau disentuhnya.

Saya tidak bermaksud membela Kaleb, saya  tipikal orang tua yang  lebih suka menata ulang dapur sendiri daripada menyalahkan orang lain. ‘Membenarkan’ anak apapun alasanya bahkan sekalipun si anak  benar sama sekali bukan gaya saya. Saya orang yang mencoba mendidik anak saya untuk tangguh dengan ‘kekuatanya’ sendiri.  Tapi sebagai ibunya, saya ‘merasa’ cukup tahu karakter Kaleb. Dia masih dibawah 10tahun, saya tau siapa dia,,, Isengnya, iya. Malas, memang kadang-kadang, dan yang paling parah adalah menggoda orang (meledeki lebih tepat).

Seringkali  saya coba bicara hati ke hati kenapa dia melakukan semua ini. Sejak pertama kali  jawabanya adalah  “kesal selalu dikata-katai”, dan tidak terlalu saya gubris.  Tapi semakin dia besar, dengan tingkat kenakalan yang sulit saya toleransi,,  walaupun  gambaran yang berbeda-beda, jawabanya seragam!!
Dikata-katain, dihina dan dicela. Apa lagi yang bisa saya pikirkan ??? 
Kisahnya seringkali: abang kesal dikatain Yesus-Yesus mulu, banyak tikus dirumah Yesus, orang Batak makan babi, Kristen-kristen lo,,,  menurut cerita,  ejekan berbau agama lebih sering dilontarkan dari pada soal ras oleh teman-temanya.

Kaleb ber-TK disebuah TK umum, PAUD begitu tulisan spanduknya.  Tapi kenyataan, pelajaran  ilmu agama (bukan agama kami) lumayan banyak. Sejak awal dia sudah menunjukan kekesalannya, belum lagi  seragam-nya yang segmented. Namun dengan segala keterbatasan ekonomi kami tidak punya banyak pilihan. Maka dengan segala macam pengertian dan kisah perumpamaan kami terus membangun  paradigm-nya  bahwa: serupa bukan berarti samatinggal didalam bukan berarti menjadi.

 Tapi bagaimanapun, anak usia 7 tahun sulit menerima terpaan ledek-an yang nyaris tiap hari. Kebetulan kami tinggal didaerah semi perkampungan. –Umumnya–  dimana anak-anak ‘minim’ diajari toleransi tapi lebih ke fanatisme beragama.. 

Sekali lagi tanpa bermaksud membenarkan tindakan-nya. Karena semua hukuman tetap saya tanggungkan kepada-nya, baik secara verbal, time off, kurangi uang jajan sampai hukuman fisik.  Saya mengerti, selemah apapun Kaleb dia tetap laki-laki. Harga dirinya terusik karena status minoritas yang bukan pilihan-nya harus menjadi momok yang siap mengejarnya hampir tiap hari.

Berulangkali  melapor, guru tetap melihat Kaleb sebagai pelaku utama, tidak bisa juga kusalahkan. Kaleb setipe dengan ku –defensif–, jika bisa membalas dia akan cepat membalas. Jika tidak,  maka kenakalan-nya  semakin menjadi.  Ditambah laporan beberapa orangtua yang anaknya terimbas kenakalan Kaleb. 

Ibu guru angkat tangan, saya juga pasrah. Akhirnya yang (bisa) saya bilang adalah “kalau memang dia pantas dipukul, silahkan bu”. Dan kepada Kaleb “kalau ada yang ngatain agama lagi, lapor aja ke ibu Guru”,, padahal saya sangat  tahu,, ini tidak pernah berhasil!!! Karena bullying  adalah bagian dari bahasa pergaulan (golongan).

Mencoba mengingat cerita, beberapa pelajar  yang melakukan penembakan massal dibeberapa sekolah di luar negeri (yang  paling saya hapal adalah Virginia Tech), hal itu dilakukan oleh seorang pelajar  Korea yang sepanjang waktu selalu menjadi bulan-bulanan teman-temanya. Pada saat tertentu dia sampai pada batas kemampuanya menahan bullying dari teman sekolahnya.

Tidak berharap semuanya akan menjadi separah ini, hanya berharap dan TERUS menghimbau kita semua para ibu, para bapak, tante, kakak yang hidup dalam ruang dan budaya yang mejemuk, TOLONG ajari anak kita, saudara kita, adik kita.. berbeda  bukan menjadi alasan untuk saling menindas, membedakan dan mengkotak-kan apalagi mencela,  ke-mayoritas-an juga bukan pembenaran untuk menjadikan  batasan adalah milik kalian. 

Yang saya perlukan (sebagai minoritas) hanyalah biarkanlah  kehidupan saya, tanpa meminta kalian   –para mayoritas– untuk (bisa) menerima saya (baca:kami dan atau Kaleb).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar