Pertengahan 80-an, pertamakali kami sekeluarga menginjakkan kaki di
Kota Jakarta. Seingat saya waktu itu ‘toleransi’ masih merupakan pelajaran
WAJIB disekolah, juga di lingkungan tinggal saya. Maka jika terjadi
perselisihan dalam pertemanan anak-anak, ketika saya dihina dengan kata
“gereja” maka adalah lumrah ketika saya membalas “mesjid” (demikianlah lagu
berantemnya anak-anak jaman dulu :P, hehehe). Ketika dikatakan “pendeta
t*i”, kemudian tidak ada kesalahan berarti juga jika saya mejawab “kyai
juga t*i”. Dan demikianlah selanjutnya, dari mengata-ngatai fisik bangunan,
orang ketiga yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan perkelahian kita
(seperti si pendeta dan kyai itu) tapi demikianlah kami – anak-anak usia 7-10
tahun- tahun 1980-an bertengkar. Sering kemudian memaksa menarik benang merah
ke unsur SARA.
Misalnya: Entah apa awal mulanya perkelahian itu, biasanya akan berujung
pada kontak verbal seperti : dasar batak makan babi sekaleng, China matinya
dibakar, China lo, Kristen Tuhanya tiga, orang batak gila. Jangan temenan sama
China, jangan dekat-dekat yang makan anjing –haram–, orang kampung dan
sebagainya. Mengingat waktu itu balas-membalas juga bisa diterima kedua
belah pihak, maka jarang (bahkan sejauh pengalaman saya tidak pernah sih) ada
masalah seperti ini berujung pada keributan antara keluarga apalagi golongan.
Sekalipun waktu itu tetangga kami hampir 99% adalah muslim dan mereka rata-rata
pendatang dari tanah jawa.
Semakin bertambahnya tahun, atas nama demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
hukum, telah dikeluarkan konvensi (karna dasar UU-nya yang mana saya tidak
paham betul) yang melarang mengeluarkan statement-statement yang berisi
unsur SARA. Tapi kenyataanya hinaan, intimidasi, cela-an (semua
sekarang dirangkum dalam satu kalimat: bullying)
ini memang masih saja marak terjadi. Hanya sekarang dalam chasing yang berbeda: mayoritas kepada minoritas, yang berkusa
kepada yang kurang berkuasa. Kalau jaman dulu mayoritas dan minoritas bisa
sama-sama saling mengejek demi meluapkan kesal maka sekarang yang ‘boleh’
menghina, menyudutkan dan menjatuhkan hanyalah kaum mayoritas dan kaum yang
lebih ‘merasa” kuat dengan dalil kepentingan orang banyak.
Adalah Kaleb, anak lelaki yang sejak kecil memang tumbuh dengan
segala kelembutanya. Dia biasa jadi
bahan olok-olok temannya, karena tidak pernah memanjat pohon atau pagar,
tidak juga (saya biarkan) ikutan main layangan di jalan. Dia biasa jadi samsak
sepupunya atau korban keusilan temannya. Kuakui Kaleb sejak kecil
termasuk anak iseng, misalnya menggoda anak perempuan (menyembunyikan mainan
atau sendal), merecoki si kakak jika bermain tanpa mengajaknya. Semua
dengan kenakalan verbal (sejauh ini anak-anak ku tidak berbicara ragunan dan
kasar) tapi ‘sepengetahuan’ kami Kaleb bukan pemain fisik, sama sekali
bukan!!
Tapi sejak kelas 3, sudah hampir 2 tahun ini. Saya beberapa kali
dipanggil oleh Ibu guru karena tingkat kenakalan Kaleb sudah melebihi batas.
Misalnya: dia sekarang mulai memalak, berani menyerang beberapa anak yang
bergerombol, pernah membawa pisau lipat (entah dimana dia menemukanya, karena
kami tidak mengenali barang itu), menilep uang yang dia bilang untuk bayar
‘sesuatu’ disekolah, belum lagi bejibun PR nya yang tidak mau disentuhnya.
Saya tidak bermaksud membela Kaleb, saya tipikal orang tua
yang lebih suka menata ulang dapur sendiri daripada menyalahkan orang
lain. ‘Membenarkan’ anak apapun alasanya bahkan sekalipun si anak benar
sama sekali bukan gaya saya. Saya orang yang mencoba mendidik anak saya untuk
tangguh dengan ‘kekuatanya’ sendiri. Tapi sebagai ibunya, saya ‘merasa’
cukup tahu karakter Kaleb. Dia masih dibawah 10tahun, saya tau siapa dia,,,
Isengnya, iya. Malas, memang kadang-kadang, dan yang paling parah adalah
menggoda orang (meledeki lebih tepat).
Seringkali saya coba bicara hati ke hati kenapa dia melakukan semua
ini. Sejak pertama kali jawabanya adalah “kesal selalu
dikata-katai”, dan tidak terlalu saya gubris. Tapi semakin dia besar,
dengan tingkat kenakalan yang sulit saya toleransi,, walaupun
gambaran yang berbeda-beda, jawabanya seragam!!
Dikata-katain, dihina dan dicela. Apa lagi yang bisa saya pikirkan
???
Kisahnya seringkali: abang kesal dikatain Yesus-Yesus mulu, banyak tikus
dirumah Yesus, orang Batak makan babi, Kristen-kristen lo,,, menurut
cerita, ejekan berbau agama lebih sering dilontarkan dari pada soal ras
oleh teman-temanya.
Kaleb ber-TK disebuah TK umum, PAUD begitu tulisan spanduknya. Tapi
kenyataan, pelajaran ilmu agama (bukan agama kami) lumayan banyak. Sejak
awal dia sudah menunjukan kekesalannya, belum lagi seragam-nya yang segmented. Namun dengan segala
keterbatasan ekonomi kami tidak punya banyak pilihan. Maka dengan segala macam
pengertian dan kisah perumpamaan kami terus membangun paradigm-nya
bahwa: serupa bukan berarti sama,
tinggal didalam bukan berarti menjadi.
Tapi bagaimanapun, anak usia 7 tahun sulit menerima terpaan
ledek-an yang nyaris tiap hari. Kebetulan kami tinggal didaerah semi
perkampungan. –Umumnya– dimana anak-anak ‘minim’ diajari toleransi tapi
lebih ke fanatisme beragama..
Sekali lagi tanpa bermaksud membenarkan tindakan-nya. Karena semua hukuman tetap saya tanggungkan kepada-nya, baik secara verbal, time off, kurangi uang jajan sampai hukuman fisik. Saya mengerti, selemah apapun Kaleb dia tetap laki-laki. Harga dirinya terusik karena status minoritas yang bukan pilihan-nya harus menjadi momok yang siap mengejarnya hampir tiap hari.
Sekali lagi tanpa bermaksud membenarkan tindakan-nya. Karena semua hukuman tetap saya tanggungkan kepada-nya, baik secara verbal, time off, kurangi uang jajan sampai hukuman fisik. Saya mengerti, selemah apapun Kaleb dia tetap laki-laki. Harga dirinya terusik karena status minoritas yang bukan pilihan-nya harus menjadi momok yang siap mengejarnya hampir tiap hari.
Berulangkali melapor, guru tetap melihat Kaleb sebagai pelaku utama,
tidak bisa juga kusalahkan. Kaleb setipe dengan ku –defensif–,
jika bisa membalas dia akan cepat membalas. Jika tidak, maka
kenakalan-nya semakin menjadi. Ditambah laporan beberapa orangtua
yang anaknya terimbas kenakalan Kaleb.
Ibu guru angkat tangan, saya juga pasrah. Akhirnya yang (bisa) saya bilang adalah “kalau memang dia pantas dipukul, silahkan bu”. Dan kepada Kaleb “kalau ada yang ngatain agama lagi, lapor aja ke ibu Guru”,, padahal saya sangat tahu,, ini tidak pernah berhasil!!! Karena bullying adalah bagian dari bahasa pergaulan (golongan).
Ibu guru angkat tangan, saya juga pasrah. Akhirnya yang (bisa) saya bilang adalah “kalau memang dia pantas dipukul, silahkan bu”. Dan kepada Kaleb “kalau ada yang ngatain agama lagi, lapor aja ke ibu Guru”,, padahal saya sangat tahu,, ini tidak pernah berhasil!!! Karena bullying adalah bagian dari bahasa pergaulan (golongan).
Mencoba mengingat cerita, beberapa pelajar yang melakukan
penembakan massal dibeberapa sekolah di luar negeri (yang paling saya
hapal adalah Virginia Tech), hal itu
dilakukan oleh seorang pelajar Korea yang sepanjang waktu selalu menjadi
bulan-bulanan teman-temanya. Pada saat tertentu dia sampai pada batas
kemampuanya menahan bullying dari
teman sekolahnya.
Tidak berharap semuanya akan menjadi separah ini, hanya berharap dan
TERUS menghimbau kita semua para ibu, para bapak, tante, kakak yang hidup dalam
ruang dan budaya yang mejemuk, TOLONG ajari anak kita, saudara kita, adik
kita.. berbeda bukan menjadi
alasan untuk saling menindas,
membedakan dan mengkotak-kan apalagi mencela, ke-mayoritas-an juga bukan pembenaran
untuk menjadikan batasan adalah milik kalian.
Yang saya perlukan (sebagai minoritas) hanyalah biarkanlah kehidupan saya, tanpa meminta kalian –para mayoritas– untuk (bisa) menerima saya (baca:kami dan atau Kaleb).
Yang saya perlukan (sebagai minoritas) hanyalah biarkanlah kehidupan saya, tanpa meminta kalian –para mayoritas– untuk (bisa) menerima saya (baca:kami dan atau Kaleb).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar