Tempat makan baso itu
engga terlalu besar, berdasarkan bangku-bangku panjang yang ada plus beberapa
bangku tempel kemungkinan bersantap bersamaan, bisa 15-20an orang. Tapi kayanya
engga seru juga kali kalau makan dengan posisi duduk lurus, tangan hanya
selebar bahu badan terus menikmati baso/mie ayam panas tanpa bisa merenggangkan otot
tubuh yang juga kepananasan.. Maka
biasanya tempata baso ANDA akan dipadati 10an orang bergantian, dengan
posisi nyaman satu bangku panjang diduduki oleh 3 orang saja.
Biasanya aku suka mampir
sepulang dari gereja, walau kadang-kadang juga emang niat iseng sekedar makan
baso karena kangen atau ‘ngidam’, hehehe, didaerah “setengah kampung” sepertiku
banyak ditemui tempat-tenpat baso yang enak tapi yang satu ini adalah pilhan
ke-2 ku setelah yang satu lagi dekat sekolah SD si kakak. Menu kesukaanku
adalah mie ayam super pedas, suamiku baso full aksesorisnya. Biasanya dia tidak
akan menghabiskan kuah nikmat berkaldu
baso itu, lalu akan menuangkannya ke mie ayamku –salah satu alasan lain tidak
bisa mengkurus- hehehe
Tidak selang beberapa
lama datanglah sepasang suami istri , sebenarnya melihat ‘kematangan wajahnya’
aku tidak bisa bilang mereka pasangan muda tapi jelas anak-anak yang dibawanya
masih masuk katergori bayi. Satu bayi dalam gendongan, mungkin 7-8 bulanan, si
kakak sekitar 2-3 tahun. Yah aku pastikan itu karena jalanya saja masih suka
tersungkur. Si ibu berbadan agak tambun dengan baju yang menutupi seluruh tubuh
dari atas kepala sampai kaki, aku tidak bermaskud mengomentari pakaianya secara
khusus, hanya melihat bagaimana riwehnya si ibu dengan pakaian besar, mengendong
bayi dengan kain dan menuntun si kakak yang lincah. Tidak ada senyuman diwajah
mereka.
Acara makan mereka
membuatku mendelik, “kenapa sih ibu-ibunya gak bilang aja sama suaminya,
bantuin kek” desisku ketelinga suami. Huss, demikian terus suamiku menjawab
komentar-komentar geregetanku. Jangankan bisa menikmati si baso panas, bayinya
rewel, si kakak juga aktif, maka pemandanganya adalah: si ibu ‘berusaha’
menikmati basonya sambil ‘lebih banyak bediri’ karena harus mengoyang-goyangkan
badan menenangkan si bayi dan menaikan si kakak yang terus saja turun dari
bangku setelah setiap kali mengaduk-aduk sang baso tanpa kuah itu tanpa menelan makanannya. Si bapak:
makan baso dengan tenang, sedikit bergeser waktu si kakak mau turun sehingga
tubuhnya menyenggol tubuh besar ayah, dan setelah selesai makan si bapak pindah
bangku untuk cari tempat “mengepulkan asap dengan mulut”. Sampai baso selesai
disantap, adegan ini tidak berubah juga, si ayah tidak secuil pun menyentuh
anak-anak itu.
Kelihatan sepele ya buat
orang lain, dan mungkin akan ada yang bilang “lu aja kurang kerjaan gitu aja
dikomentarin” but for me, ini
bentuk-bentuk bias penjajahan gender. Emang kenapa sih kalu bapak bantuin si
anak sesekali, emang kenapa juga kalau bapak gendong dulu si bayi sampai si ibu
selesai makan, apa yang salah kalau
bapak-bapak berbagi “pekerjaan perempuan” bersama. Kalimat pekerjaan perempuan
ini juga kudunya direvisi langsung dari PEMERINTAH karena secara tidak sadar
telah menjadi UU yang berlaku timpang dimasyarakat.
Adegan makan baso itu hanya
sepenggal contoh yang sering kujumpai dalam ketidak seimbangan hak dan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan di beberapa kelompok tertentu ~kebetulan
yang aku jumpai adalah laki-laki dengan model celana dan wajah khas itu~ dalam kapasitas yang kelihatan "kecil". Keusilan
ku diakhiri dengan komentar kesal pada
suami ~mewakili kaum laki-kali, asumsiku sore itu~ “lo bikin gitu sama gue Bang,
akan gue banting tuh mangkok ”… Lho kok lari ke ‘mangkok’ ya padahal yang
salah bukan si mangkok khan, hehehe,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar