5 Jan 2012

Mangkok Baso


Tempat makan baso itu engga terlalu besar, berdasarkan bangku-bangku panjang yang ada plus beberapa bangku tempel kemungkinan bersantap bersamaan, bisa 15-20an orang. Tapi kayanya engga seru juga kali kalau makan dengan posisi duduk lurus, tangan hanya selebar bahu badan terus menikmati baso/mie ayam panas tanpa bisa merenggangkan otot tubuh yang juga kepananasan.. Maka  biasanya tempata baso ANDA akan dipadati 10an orang bergantian, dengan posisi nyaman satu bangku panjang diduduki oleh 3 orang saja.

Biasanya aku suka mampir sepulang dari gereja, walau kadang-kadang juga emang niat iseng sekedar makan baso karena kangen atau ‘ngidam’, hehehe, didaerah “setengah kampung” sepertiku banyak ditemui tempat-tenpat baso yang enak tapi yang satu ini adalah pilhan ke-2 ku setelah yang satu lagi dekat sekolah SD si kakak. Menu kesukaanku adalah mie ayam super pedas, suamiku baso full aksesorisnya. Biasanya dia tidak akan  menghabiskan kuah nikmat berkaldu baso itu, lalu akan menuangkannya ke mie ayamku –salah satu alasan lain tidak bisa mengkurus-  hehehe

Tidak selang beberapa lama datanglah sepasang suami istri , sebenarnya melihat ‘kematangan wajahnya’ aku tidak bisa bilang mereka pasangan muda tapi jelas anak-anak yang dibawanya masih masuk katergori bayi. Satu bayi dalam gendongan, mungkin 7-8 bulanan, si kakak sekitar 2-3 tahun. Yah aku pastikan itu karena jalanya saja masih suka tersungkur. Si ibu berbadan agak tambun dengan baju yang menutupi seluruh tubuh dari atas kepala sampai kaki, aku tidak bermaskud mengomentari pakaianya secara khusus, hanya melihat bagaimana riwehnya si ibu dengan pakaian besar, mengendong bayi dengan kain dan menuntun si kakak yang lincah. Tidak ada senyuman diwajah mereka.

Acara makan mereka membuatku mendelik, “kenapa sih ibu-ibunya gak bilang aja sama suaminya, bantuin kek” desisku ketelinga suami. Huss, demikian terus suamiku menjawab komentar-komentar geregetanku. Jangankan bisa menikmati si baso panas, bayinya rewel, si kakak juga aktif, maka pemandanganya adalah: si ibu ‘berusaha’ menikmati basonya sambil ‘lebih banyak bediri’ karena harus mengoyang-goyangkan badan menenangkan si bayi dan menaikan si kakak yang terus saja turun dari bangku setelah setiap kali mengaduk-aduk sang baso tanpa kuah itu tanpa menelan makanannya. Si bapak: makan baso dengan tenang, sedikit bergeser waktu si kakak mau turun sehingga tubuhnya menyenggol tubuh besar ayah, dan setelah selesai makan si bapak pindah bangku untuk cari tempat “mengepulkan asap dengan mulut”.  Sampai baso selesai disantap, adegan ini tidak berubah juga, si ayah tidak secuil pun menyentuh anak-anak itu.

Kelihatan sepele ya buat orang lain, dan mungkin akan ada yang bilang “lu aja kurang kerjaan gitu aja dikomentarin” but for me, ini bentuk-bentuk bias penjajahan gender. Emang kenapa sih kalu bapak bantuin si anak sesekali, emang kenapa juga kalau bapak gendong dulu si bayi sampai si ibu selesai makan, apa yang salah  kalau bapak-bapak berbagi “pekerjaan perempuan” bersama. Kalimat pekerjaan perempuan ini juga kudunya direvisi langsung dari PEMERINTAH karena secara tidak sadar telah menjadi UU yang berlaku timpang dimasyarakat.  

Adegan makan baso itu hanya sepenggal contoh yang sering kujumpai dalam ketidak seimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di beberapa kelompok tertentu ~kebetulan yang aku jumpai adalah laki-laki dengan model celana dan wajah khas itu~ dalam kapasitas yang kelihatan "kecil". Keusilan ku diakhiri dengan komentar  kesal pada suami ~mewakili kaum laki-kali, asumsiku sore itu~ “lo bikin gitu sama gue Bang, akan gue banting tuh mangkok ”… Lho kok lari ke ‘mangkok’ ya padahal yang salah bukan si mangkok khan, hehehe,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar