13 Jan 2012

No Cheat


Ga ada pacar-pacaran” begitu ultimatum mama waktu kami mulai menginjakan kaki dibangku SMP. Bapak sedikit lebih ‘lunak’ walalupun pada intinya ber-makna sama. Pesan bapak adalah “selama masih sekolah jangan pernah pacaran, pacaran kalau sudah lulus sekolah”. Demikianlah pesan yang tidak pernah secara khusus disidangkan orangtuaku, hanya diucapkan sambil lalu sebagai wejangan kepada anak ABG, tapi kemudian entah bagaimana diotak kecil ku yang ‘pemberontak’ ini nasihat itu seperti 4 penjuru mata angin yang mengintai, jadi tidak pernah sekalipun aku coba langgar.

Aku tidak cerdas mengartikan ‘kepatuhanku’  ini. Aku hanya tidak ingin (baca: tidak berani) berbohong. Padahal jelas dimasa transisi dari remaja menuju pemuda/i, bohong-kecil, backstreet merupakan bagian dari ‘pencarian identitas’.  Lalu apakah aku manusia paling jujur didunia?? yaa engga juga sih,  tapi memang sejak kecil aku paling tidak suka  dicurigai makanya aku tidak suka berbohong, even any small lies. Aku benci ‘nada investigasi’!!!..

Karena sadar karakterku yang perfectionist aku terbiasa ‘membuka prolog’ didepan. Misalnya, buku LKS yang harganya 1200-perak (jaman mid 90-an segitu lho harga buku sekolah) aku akan minta duit 1500-perak, walau tidak eksplisit menjelaskan, mamaku biasanya ‘mengerti’ kalau aku (memang) ‘menguntit” yang 200-perak. Menghargai kejujuran ataukah keberanian ku “meminta” mama biasanya cuma tersenyum kecut. Rule, jika ditanya aku cuma perlu ‘menceritakan’ saja dan jika tidak ditanya just let it flow. Point is: No cheat, jika no ‘curigation’ atau pertanyaan so no need to jawab apa-apa juga toh.. Halaah bahasa apa ini?? hehehe

Sampai sekarang menjadi ibu-ibu, aku masih ‘hidup’ dalam dunia kejujuranku.Dunia yang tidak jarang menjadi batu sandungan. Kebiasaan yang sering membuat kakiku terikat karena  apatisme suami, ~jujur dan bodoh nyaris serupa katanya~. Sampai hari ini, dalam semua kegagahaku sebagai wanita dominan aku selalu meninta ijin suami untuk melakukan semua hal, sekalipun aku tau dia akan menentang. Sekalipun aku tau aku bisa saja menipu-nya, membohongi-nya atau sekedar “memanipulasi” alasan,  tapi sampai hari ini aku mau apapun yang aku lakukan adalah dasar “kepercayaan”.

Perjuangan berat dan usaha yang sering melelahkan hati, demi  melihat kehidupan “kepura-puraan” yang banyak ini sering jauh lebih me-ninabobo-kan ketimbang kejujuran –yang tetap pada akhirnya akan selalu aku bilang yang “terbaik”  fuiihhh –. Tapi acap kali  aku SANGAT INGIN ‘memakai’ topeng, berkedok dan menikmati sandiwara bersama sekelilingku. Menikmati penerimaan semu, bias kesenangan dan applause yang tak bermakna itu.

Sekali lagi aku katakan: aku tidak cukup cerdas mengartikan ini.  Tapi memang aku tidak bisa, aku tidak tau cara ‘mengendalikan’ topeng,  4 arah mata angin itu seolah terus memata-matai dan memaksaku merasa tertuduh, aku merasa telanjang, dogma ‘kejujuran’ seperti ‘warisan’ yang tidak melulu bisa ku nikmati, tapi aku terlalu sering mengenakanya. Kejujuran yang terlalu sering membuat mulutku sulit  terbungkam... #fuiihh..#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar