“Ga ada pacar-pacaran” begitu ultimatum
mama waktu kami mulai menginjakan kaki dibangku SMP. Bapak sedikit lebih
‘lunak’ walalupun pada intinya ber-makna sama. Pesan bapak adalah “selama masih sekolah jangan pernah pacaran,
pacaran kalau sudah lulus sekolah”. Demikianlah pesan yang tidak pernah
secara khusus disidangkan orangtuaku, hanya diucapkan sambil lalu sebagai
wejangan kepada anak ABG, tapi kemudian entah bagaimana diotak kecil ku yang ‘pemberontak’
ini nasihat itu seperti 4 penjuru mata angin yang mengintai, jadi tidak pernah sekalipun aku coba
langgar.
Aku
tidak cerdas mengartikan ‘kepatuhanku’
ini. Aku hanya tidak ingin (baca: tidak berani) berbohong. Padahal jelas
dimasa transisi dari remaja menuju pemuda/i, bohong-kecil, backstreet merupakan bagian dari ‘pencarian identitas’. Lalu apakah aku manusia paling jujur didunia??
yaa engga juga sih, tapi memang sejak
kecil aku paling tidak suka dicurigai makanya
aku tidak suka berbohong, even any small
lies. Aku benci ‘nada investigasi’!!!..
Karena
sadar karakterku yang perfectionist aku terbiasa ‘membuka prolog’ didepan.
Misalnya, buku LKS yang harganya 1200-perak (jaman mid 90-an segitu lho harga buku sekolah) aku akan minta duit 1500-perak,
walau tidak eksplisit menjelaskan, mamaku biasanya ‘mengerti’ kalau aku (memang)
‘menguntit” yang 200-perak. Menghargai kejujuran ataukah keberanian ku
“meminta” mama biasanya cuma tersenyum kecut. Rule, jika ditanya aku cuma perlu ‘menceritakan’ saja dan jika
tidak ditanya just let it flow. Point is: No cheat, jika no ‘curigation’ atau pertanyaan so no need to jawab apa-apa juga toh.. Halaah
bahasa apa ini?? hehehe
Sampai
sekarang menjadi ibu-ibu, aku masih ‘hidup’ dalam dunia kejujuranku.Dunia
yang tidak jarang menjadi batu sandungan. Kebiasaan yang sering membuat kakiku
terikat karena apatisme suami, ~jujur
dan bodoh nyaris serupa katanya~. Sampai
hari ini, dalam semua kegagahaku sebagai wanita dominan aku selalu
meninta ijin suami untuk melakukan semua hal, sekalipun aku tau dia akan menentang. Sekalipun aku tau aku bisa saja menipu-nya, membohongi-nya atau sekedar
“memanipulasi” alasan, tapi sampai hari
ini aku mau apapun yang aku lakukan
adalah dasar “kepercayaan”.
Perjuangan
berat dan usaha yang sering melelahkan hati, demi melihat kehidupan “kepura-puraan” yang banyak
ini sering jauh lebih me-ninabobo-kan ketimbang kejujuran –yang tetap pada
akhirnya akan selalu aku bilang yang “terbaik” fuiihhh –. Tapi acap kali
aku SANGAT INGIN ‘memakai’ topeng, berkedok dan menikmati sandiwara bersama
sekelilingku. Menikmati penerimaan semu, bias kesenangan dan applause yang tak
bermakna itu.
Sekali
lagi aku katakan: aku tidak cukup cerdas mengartikan ini. Tapi
memang aku tidak bisa, aku tidak tau cara ‘mengendalikan’ topeng, 4 arah mata angin itu seolah terus memata-matai
dan memaksaku merasa tertuduh, aku merasa telanjang, dogma ‘kejujuran’ seperti ‘warisan’
yang tidak melulu bisa ku nikmati, tapi aku terlalu sering mengenakanya.
Kejujuran yang terlalu sering membuat mulutku sulit terbungkam... #fuiihh..#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar