Seberapa terbiasanya kah kita dengan bantuan customer service??.
Sebagai orang Indonesia yang terbiasa “legowo” (dalam tanda kutip, hehehe)
sering kita mengabaikan atau malah kalah sama yang namanya layanan pelanggan
ini. Aku termasuk didalamnya. I was. Pada jaman duluuu banget, aku pernah
ikutan asuransi, terus baru bayar 3-4 kali aku ada urusan lain yang kemudian
membuat aku kesulitan melanjutkanya.
Beberapa bulan kemudian kondisi mulai normal (kalu gak salah 8 bulan-an deh ). Lalu aku bermaksud menanyakan kelanjutan per-asuransian ini. Inilah awalnya aku kenalan dengan jalur telepon Customer Service yang ternyata eh ternyata… garbage phone box only. Sound so bad ya, tapi ini kenyataan yang aku hadapi. Oper sana-oper sini, tunggu sana tunggu sini dan hasilnya NOL BESAR, boro-boro ada jawaban, waktu itu aku juga ‘belum’ berani ngomel lah wong CS nya gualak banget.
Beberapa bulan kemudian kondisi mulai normal (kalu gak salah 8 bulan-an deh ). Lalu aku bermaksud menanyakan kelanjutan per-asuransian ini. Inilah awalnya aku kenalan dengan jalur telepon Customer Service yang ternyata eh ternyata… garbage phone box only. Sound so bad ya, tapi ini kenyataan yang aku hadapi. Oper sana-oper sini, tunggu sana tunggu sini dan hasilnya NOL BESAR, boro-boro ada jawaban, waktu itu aku juga ‘belum’ berani ngomel lah wong CS nya gualak banget.
Tidak kapok dengan ‘pelayanan’ waktu itu aku malah jadi
keranjingan dengan nomor ‘pelanyanan pelanggan’ ini. Tapi 11-12 dengan yang
sudah-sudah belum sekalipun aku mendapatkan kepuasan dari pelayanan lewat
telepon ini. Bahkan untuk menanyakan alamat cabang yang satu dengan yang lain
saja sulitnya minta ampun.
Bekerja di perusahaan Jepang yang global company, memaksaku untuk
terbiasa dengan informasi mengenai ‘kepuasan pelanggan’. Dan ini berlaku diseluruh penjuru dunia, maka kemudian mataku tercelik. Indonesia tidak (pernah) punya
pelayanan pelanggan ”yang sesungguhnya”.
Diperusahaan Jepang, kami sangat ditekankan dengan slogan kepuasan pelanggan (kebetulan aku di departemen sales dan marketing). Maka mulailah penjajahan pelanggan yang tidak melulu benar aku tangani. Sering keluhan dan komplen itu irasional dan merugikan, tapi atas dasar customer satisfied aku harus (berusaha) menghandle dengan kepala dingin.
Kemudian membaca berita, bagaimana jutaan mobil akan direcall hanya karena ‘kurang’ 1 mur. Akan dihanguskanya ton-an plastic karena sudah mengendap terlalu lama, ini semakin membesarkan mataku.
Diperusahaan Jepang, kami sangat ditekankan dengan slogan kepuasan pelanggan (kebetulan aku di departemen sales dan marketing). Maka mulailah penjajahan pelanggan yang tidak melulu benar aku tangani. Sering keluhan dan komplen itu irasional dan merugikan, tapi atas dasar customer satisfied aku harus (berusaha) menghandle dengan kepala dingin.
Kemudian membaca berita, bagaimana jutaan mobil akan direcall hanya karena ‘kurang’ 1 mur. Akan dihanguskanya ton-an plastic karena sudah mengendap terlalu lama, ini semakin membesarkan mataku.
Apa yang terjadi dengan "arti" pelayanan di bumi pertiwi Indonesia yang
terkenal dengan keramah tamahannya, yang terkenal dengan kesopan-santuananya
dan kejujuranya??.
Kemudian, belajar dari kebudayaan jujur industialisasi luar negeri (sebatas) yang kubaca dan hadapi disekelilingku (waktu itu). Aku merasa harus
juga mulai menuntut pelayanan, karena aku layak dilayani dengan kepuasaan, aku berhak
atas pelayaan sesuai ‘janji’ yang diiklankan.
Pengalaman pertamaku adalah ketika mengurus akte kelahiran anak
ke-3. Kurang dari 2 minggu kami sudah mengurus semua keperluan surat kelahiran
ke keluarahan yang kemudian mentok di Catatn Sipil. Seperti biasa
departemen Negara kita tercinta ini, ada saja kekurangan ono-ini (waktu itu
katanya aku tidak punya Akta Nikah Catatan Sipil) yang memang belum aku urus. Waktu itu uang adalah alasan utama kami belum mengurusnya, karena
pengalaman yang sudah-sudah biaya yang tertulis dengan yang dibayarkan adalah
sama sekali berbeda.
Beberapa bulan sudah berlalu dan anakku belum punya akta lahir, dan
buat ku ini sangat menganggu. Mulailah aku hunting diinternet
mengenai janji ‘hak masyarakat’ oleh pemerintah. Kenapa bisa begitu sulit??.
Kemudian mataku terampuk pada tulisan, “surat nikah DAN ATAU Akta nikah”. So, mulailah aku menuntut hak ini ke catatan sipil wilayah ku. Mulanya standard, mereka coba berkelit tetapi aku tetap 'memaksa' bahwa peraturan tidak ‘saklek’ menuliskan Akte Pernikahan... tetapi Surat Nikah dan atau Akta Menikah. Maka tidak ada kesalahan dengan kelengkapan document ku selama ini.
Kemudian mataku terampuk pada tulisan, “surat nikah DAN ATAU Akta nikah”. So, mulailah aku menuntut hak ini ke catatan sipil wilayah ku. Mulanya standard, mereka coba berkelit tetapi aku tetap 'memaksa' bahwa peraturan tidak ‘saklek’ menuliskan Akte Pernikahan... tetapi Surat Nikah dan atau Akta Menikah. Maka tidak ada kesalahan dengan kelengkapan document ku selama ini.
Sedikit penawaran disana, aku tolak dengan tegas dan terus mendesak bahwa
aku berhak atas akta tersebut. Dan semua yang aku tuntut ini berdasar
pada peratutan yang memang tercantum di info internet resmi.
Akhirnya, dengan ‘biaya -lumayan- normal’ 2 bulan kemudian akta itu
keluar.. fuihhh
Apakah ini pemaksaan?? Menurutku, tidak!! kita hanya perlu
(baca: boleh) mengejar hak kita setelah melakukan kewajiban sesuai prosedur.. kita berhak menikmati pelayanan yang memuaskan,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar