Aku
lihat acara Mata Najwa semalam (18-Jan-2012) tapi yang membawa acara adalah Mba’
Kania Sutisnawinata (semoga spelling-nya
benar, hehe) terpana dengan bahasannya: TUNJUK KUASA. Bagaimana tradisi bullying semakin marak tapi terselubung
di sekitar kita.
Yang
aku tau sejauh ini, bullying itu
adalah: tindakan secara fisik terhadap orang lain karena dasar ‘rasa tidak suka’, nah batasan tidak
suka ini sulit didefinisikan. Tapi semalam aku mendapatkan jawaban yang lebih
tepat dan persis seperti apa yang aku pikir selama ini —tapi
tidak berani terucap— karena berkesan asumsi: orang ‘menekan’ orang
lain pasti karena alasan kekuasaan.
Teringat
kisah temanku yang selalu dibulan-bulan Ibu GA atau kisah ku dengan Ibu Manager
yang berusaha menekan aku sekuat kekuasaanya. Aku mengerti sekarang: AKU
MENOLAK DI BULLY, itulah sebabnya mereka (semakin) berusaha keras menjatuhkan
aku.
2005
awal, masuk kantor baru dengan suasana ‘aneh’. Ada tokoh central diperusahaan
ini (perempuan, usia matang, belum menikah) dan entah apa yang dia miliki —yang
aku tau kelebihanya hanyalah: dia orang lama— tapi semua orang (serius kata ini
bukan majas hiperbola) nyaris tunduk kepadanya. Segala sesuatu harus
berdasarkan ‘maunya’, semua seijin ‘nya’, segala sesuatu
entah itu berkenaan dengan departemen GA (waktu itu kita belum punya HR) atau
TIDAK semua WAJIB atas sepengetahuan beliau.
Acara
makan siangpun demikian, jika dia melangkah ke ruang meeting, serentak semua (yang
tidak banyak ini) akan mengekor, kalau tiba2 dia sedang malas bergerak maka
beberapa ‘perempuan’ —dulu aku mengumpamakan mereka dayang-dayang— akan
langsung stay disampingnya. Memanggil
orang sesuka hati, bahkan berteriak sekehendak, memerintah semau gue. Sebagai anak baru, aku sempat menjadi korban,
merapihkan storeroom yang isinya
document dari semua departemen diruangan kecil yang ada dibawah tangga dan
pengap berdebu. Belakangan aku tau,
kerapihan tiap-tiap arsip (sebenarnya) diatur oleh dept. masing-masing. Sebagai
anak baru, waktu itu aku hanya pasrah (walau dalam beberapa kesempatan aku
tunjukan kepadanya aku tidak suka ini).
Tidak
perlu waktu lama, tidak pula sampai bertahun-tahun untuk aku menyadari bahwa perempuan ini ingin
menunjukan kekuasaanya. Sadar tindakanya untuk SHOW UP POWER, ditambah
sindiran-sindirannya, celetukan-celetukannya yang menjatuhkan, aku memilih menjadi diri sendiri. Jika
dia makan diruang meeting, aku pilih
menyendiri, ketika dia mengajak ‘gerombolan’ untuk duduk di loby, aku pilih ke
musolah, saat dia berteriak-teriak uku balas dengan ‘pura-pura’ menelpon dengan
suara keras pula. Ini awal mula ‘menantang’ ku dengan perempuan yang sampai
hari dia keluar aku masih menghormatinya sebagai saudara seiman, tapi aku tidak
mau larut dalam plot per’ploncoan’nya.
Ibu
Manager adalah ‘tantangan’ utama dan paling berat buat Ibu GA, orang Batak pula
cing.. jelas lebih galak dan sangar. Semasa mereka bersanding, terjadilah saing-bersaing
dan sikut menyikut yang tersembuni tapi kami semua tau. Segan dengan jabatan ‘Manager’
Ibu GA ciut, sungkan dengan kesenioran Ibu GA si Manager masih jaga kuda-kuda.
Bullying ke-2
dimulai, ternyata (prediksiku selama ini benar) tidak lama sejak Ibu GA
(akhirnya) resign. Ibu Manager mulai menunjukan taringnya. Bentak
sana, bentak sini (sedikit lebih berkelas dari pada Ibu GA yang bicara macam
diterminal), atur sana atur sini, sedikit-sedikit ‘jual’ nama manajemen -Director- (akhirnya sesuai petunjuk manajemen dept GA menjadi HRD), tapi entah kenapa
HRD tetap kalah gigi dengan Ibu Manager.
Moody style on, kalau
lagi bête dan banyak kerjaan, siapa yang mendekat dilibas, entah apa dan
bagaimana yang kami tau kemudian si Ibu manager bertambah kekuasaan (atau hanya
gajikah,,) yang jelas taringnya memanjang, gaya bossy-nya meletup-letup. Seperti kuda manis keluar dari kandang si Ibu
manager semakin memperluas sayap kekuasaanya dengan garang.
Semua
jajarannya yang selevel ditaklukan, setiap staf yang agak-agak kurang segan dan
hormat mulai digosok. Aku salah satunya, sejak semula mataku terbuka, GA dan
Manager 11-12, hanya tunggu waktu (tapi tidak nyangka lebih parah). Aku termasuk
yang membaca situasi dan memilih untuk tidak tunduk sama sekali.
Aku
menyebut ini “dia minta diakui eksistensinya sebagai Bos”.. dan buat aku yang
sadar diri (demi Tuhan aku sangat sadar diri) cuma level staf aku merasa tidak
perlu “menjilat” beliau untuk menunjukan
hormat toh sudah jelas dia Manager jer, aku cuma staf, gaji dia aja
berkali-kali-kali-kali gajiku, nothing to
proof at all. Aku memilih untuk ‘menjaga jarak’. Aku tidak mau membodohi
diri dengan menjadi ‘pura-pura manis’ demi memberikan beliau kenyamanan yang —menurut aku sebenarnya tidak
penting aku berikan, toh posisisinya memang sudah di atas daun—,, Semakin dia memasang aksi kuasanya, semakin
aku menjauh, aku menolak duduk disampingnya dijemputan, aku memilih tidak
menyapanya dengan basa-basi (lagi) karena biasanya aku menyapa beliu, tapi —seperti
biasa—
jika mood nya lagi rusak sapaan orang
bisa dibalas makian “ hallah pura-pura”, “mau ngejilat”, “munafik”, “topeng” dan
sebagainya.
Lama-lama
aku jenuh dan muak, so aku memang orang yang ‘jarang’ menyapa nya. Malas juga
mengomentari kacamata barunya, potongan rambut barunya, stoking hitamnya, mobil
barunya, jalan-jalan ke Amerikanya.
Lho
kok aku tau semua, ya iyalah khan engga buta, punya telinga punya mata: karena
(tadinya) sering dengan tampang bloon aku sudah datang ketempatnya dengan
maksud menayakan atau sekedar menyapa, tidak jarang dapat jawaban “War, tar aja
nanyanya gue lagi kesel”, “tanyanya nanti aja gue masih jet leg”, “gue lagi engga
mood”, “gue masih ini, masih itu”,,
Mungkin
waktunya engga tepat?? iyalah sesekali mungkin, tapi kalau kita (terus) harus ‘membiasakan’
diri menunggu mood dia tenang. What the he** is going on here!!!
That’s
why then, aku memilih untuk menghindri beliau.
Kisah
indah dengan kasus (ternyata) bullying: khan
sudah ada ditulisan blog ku terdahulu…(bulan April 2011)
Bagian
yang mengingatkan dengan Mata Najwa: TERJADI PEMBIARAN MASSAL atas setiap aktifitas
bullying/tunjuk kuasa/premanisme
dengan mengatasnamakan kewajaran, seolah-olah it’s nothing.. It's nature,,
Toh
dari yang ‘berkuasa’ kepada yang ‘tidak’ berkuasa, bagian dari ‘seni’ hidup dan
tidak ada aktifitas fisik didalamnya.
Kebanyakan orang memilih meringkuk nyaman didalam 'kerang'nya. Kita lupa: orang kecil, orang terlupakan, orang marginal, orang rendahan juga punya hati, punya rasa, punya mau!!
Kebanyakan orang memilih meringkuk nyaman didalam 'kerang'nya. Kita lupa: orang kecil, orang terlupakan, orang marginal, orang rendahan juga punya hati, punya rasa, punya mau!!
Ini
yang aku alami. Orang lebih mengingat aku sebagai ‘pemberontak’ padahal
mereka semua sadar kalau telah terjadi “pem-ploncoan” dalam kegiatan kita
bekerja. Nyata ada orang-orang yang MENUNJUKAN KUASA dengan cara yang
berlebihan, mereka juga merasakan kalau SIKAP dan TINDAKAN para ‘penguasa’ itu
tidak benar. Tapi konsentrasi mereka lebih tertuju pada minoritas yang
pembangkang, seseorang yang tidak patuh, seseorang yang merusak “ketenangan”…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus