21 Jan 2012

Like Son Like Mother ??


Walau sadar punya banyak kesamaan dengan  Kaleb  —my middle and the only male kids —  sering  aku merasa sikap Kaleb  sangat menganggu, membuat kesombongan ku bilang kita beda. Kaleb dan aku TIDAK SAMA.

Kaleb anak  kecil sok gagah yang fragile  tapi mandiri, yang galak tapi pencinta sejati, cuek tapi sangat perhatian even to the small details. Kaleb orang yang sangat menikmati hidup bahkan sampai ke-hal yang kadang tidak (perlu) kita lihat atau sesuatu yang (terlihat) tidak penting  but then he just care than he will share it...

Misalnya, kemarin dengan tergopoh-gopoh dia membawa DVD dengan judul yang belum aku lihat sinopsisnya di media apa-pun. Aku membacanya Ai Pi Men (tulisanya Ip Man) ternyata ejaannya sama dengan tulisannya. Ini adalah masalah speling China menjadi  internasional (lafal Inggris IP dan YIP di bunyi China). Sebelum aku tau, Kaleb sudah terus  ngotot kalau ini dibaca Ip Man

Yups,, selesai soal nama, kemudian pikirku “siapa juga Mr. Ip ini?“ rasanya tidak penting banget film ini untuk dipamer. Akhirnya dari internet  aku tau siapa si Ip Man ini. Ternyata dia adalah (bakal) gurunya  Bruce Lee. Entah dari mana pengetahuan ini  Kaleb dapat. Kalau aku baru mencari tau setelah mendengar celotehnya tentang kehebatan si Ip Man ini. It’s (seems) just a simple and not important things at all, tapi sosok Bruce lee yang kenamaan jelas membuatnya ‘bangga’ mengetahui kalau Mr. Ip Man adalah gurunya.  Makanya anakku begitu senang membagikan ‘info tidak penting ini’. hehehe

Waktu musim sepatu plastic dengan harga bombastic, beberapa kali Kaleb protes dan meminta dibelikan. Terlepas soal harganya, aku memang tidak terlalu tertarik dengan modelnya, However,  he just a kid of nature. Demi melihat sepupunya punya dia mulai terusik. Pergilah kami ke pasar dan mall  untuk memenuhi rasa ingin taunya, kubiarkan nuraninya berbicara dan menimbang. Then he just  came to near me and said. .”wah mahal banget ya ma, ya sudahlah abang beli yang dipasar juga gak papa, yang penting khan punya ya”… dia bilang tanpa aku ajarin, dia menimbang dengan kacamata bagaimana ‘sederhananya’ aku biasa hidup…

Kisah lain, dia ingin punya sepatu gunung yang bagus, sekalian biar bisa dipakai gereja pikirku dan dia menyetujuinya. Apadaya dengan gaji  yang pas-pasan aku harus melewatkan beberapa kali gajian untuk mampu membelinya. Suatu malam itu tanpa rencana kami iseng main ke pasar malam dekat rumah, lalu dia melihat sandal gunung (wanna be) yang jelas kelihatan -mungkin tidak sampai beberapa bulan- juga bakal hancur. Tapi waktu itu memang baru sampai itu kemampuanku. Aku menawarinya dan apa yang terjadi: dia tetap menerimanya dengan penuh rasa bangga seolah-olah aku telah membelinya dari mall, dia mengapresiasi ‘sendal murahan’ itu dengan gesture yang sama ketika menerima perlengkapan untuknya di hari Natal. Menjaganya dengan (sangat) hati-hati sampai beberapa waktu, meletakannya disamping tempat tidur  dan he just don't really care for the style  yang nanggung, harga yang buntung, dia hanya menginginkan sandal. Dan dia mendapatkanya.

Bajupun tak pernah menuntut, asal jangan berwarna ‘perempuan’. Pun  jika ‘memang’ harus, aku hanya butuh alasan dan bukti yang tepat. Tapi untuk ukuran anak cerewet dan perfectionist,     —menurutku —  kaleb benar-benar anak yang apa adanya soal materi. Makanpun simple, harga pun tak mengerti mematok, waktu dia menginginkan bola blister (selesai musim piala dunia) dan aku hanya membelikanya bola kulit-kulitan yang 15ribu-an (itupun lamaaaa kemudian),, andai bisa ku gambarkan lagi raut kebahagianya. Huuuu,,

Atau ketika dia melihat mobil-mobilan-an kecil di tipi dan minta dibelikan, tapi aku (hanya) membelikanya mobilan (biasanya dijual diplastik transparan dan bergantunga seperti kacang), atau mobilan yang diberi orang atau yang ‘nemu’ di loak-an… dia tidak tergangu, walau tetap berharap. Dia tau cara menghargai ‘yang ada’ meski dalam paket yang lebih sederhana.

Begitupula dalam mengagumi yang dia lihat beyond ordinary. Seperti  guru sekolah minggu yang sabar, anak-anak yang pemberani, anak yang nakal, anak yang manis, anak yang pintar, anak yang ‘berbeda’.. dia tau menilai (walaupun masih dalam sudut pandangnya yang cetek) tapi dia selalu mengakui kelebihan orang lain, kekurangan orang lain dan dia mampu menakar kekurangannya atas kelebihanya dengan orang lain.

Selama ini sering aku merasa (walaupun sadar he just part of my character) kesal dan terganggu dengan segala kecerewetan Kaleb yang sok tau, komentar tidak pentingnya  dan ‘nerimo’nya yang pasrah.

Belum lama ini aku seperti dihadapkan dengan cermin. Iseng membongkar-bongkar ‘harta karun masa lalu’, ternyata kartu ucapan natal teman nyaris 20 tahun yang lalu  —selalu kuingat sebagai ‘perhatian yang tulus’ walau kenyataanya menjadi jerat bagiku —, kartu ucapan HUT dari teman kuliah di tahun ’98, kartu nama ‘kenalan’ ditahun ’95 —bahkan kita tidak pernah jumpa darat —masih saja kusimpan. Seperti ada memory ‘khusus’ didalamnya. Padahal sejak tahun 1999 sampai hari ini aku sudah mengalami pindah rumah sampai 6x  —3x pertama masih satu daerah —.

Sembari mebuka-buka ‘tas memory’ itu, pikiranku semakin melayang-layang:
Teringat seorang teman SMP yang tanpa dia sadari ‘telah mengajariku’ mengenal kantor pos, pasar inpres, kesan “jangan sekali-kali menonton telenovela”, jangan pernah bikin gank, be cool  dalam banyak hal, di tahun 93-94. Semuanya masih terekam dikepalaku dengan kuat.

Di tahun’96, teman lain (ingat nasihat teman jangan pake nama sembarangan,, hihihi) yang baru kukenal ditahun ajaran baru SMA  —dia anak pindahan —. Juga keseharianya (telah) mengajariku menjadi orang yang percaya diri, tidak takut menjadi ‘beda’, jangan takut bermimpi, bertoleransi tingkat tinggi, berbagi,  menyisipkan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari kami, dan sedikit bohong itu perlu  (yes dear, I learn this from you..hehe) masih aku pegang sampai sekarang.

1999, tempat pertama yang aku singgahi ketika akan menikah. Selimut yang dipinjamkan, CD Britney Spears yang tidak takut ku pegang-pegang (padahal kami belum kenalan hari itu).

2004, para TKW yang nakal, susah diatur dan menyebutku “ibu paling cerewet”,, miss you all dear  :0

Gelas Tupperware dari ibu manajer (yang waktu itu aku dapat karena kita niat manas-manasin ibu GA, hahaha) walau bendanya sudah hilang  dan hari-hari terakhir kami tidak lagi hangat, masih aku ingat selalu. Kejadian bullying waktu itu juga menyisakan ‘pesan moral’ khusus buat aku.

Tahun 2005. Sapaan yang ramah dari  Satpam dihari pertama aku joint di perusahaan Jepang, dan seorang Satpam ‘sok akrab’ dan supir baik hati —yang sebenarnya kami juga pernah berselisih —yang kemudian (tetap) menjadi teman curhatku (sampai hari aku menulis ini). Hehehe,,,

Pertemanan kerja yang isinya penuh dinamika, sepanjang 2005-2010. Bagaimana ‘mengalah dan pasrahnya’ HRD pada nasib dan kelakuanku.hahaha... Yes, aku tidak perlu jadi putri Cinderela untuk tahu kalau dalam banyak hal HRD ‘terpaksa’ mengalah dengan argumenku,, tengkyu pak.. :p

Senyum ramah mbak receptionist di perusahaan Eropa,, senangnya. Aku mengartikan: tawaran pertemanan.

Pemberian, pemberitahuan, teguran, ajakan, undangan, ajaran teman, sapaan, tawaran —bahkan dari siapa saja, sekalipun dari orang yang tidak (pernah) aku duga sama sekali — selalu berarti banyak buat aku. Sering “mereka” melakukanya dalam kapasitas ‘kewajiban/sambil lalu/niat/ketidak sengajaan’ tapi kemudian aku menyimpulkanya sebagai perhatian (walau sering dalam tanda kutip), yang mungkin suatu saat menyenangkan jika di kenang kembali.

I am not a kind of person yang hanya akan ingat; pemberian mahal, janji yang manis, pertolongan-pertolongan ‘besar’ aiiihh,,,  aku merasa setiap orang punya 2 sisi hidup. Seperti aku menyadari 2 sisi karakterku yang sering diartikan salah (atau mungkin karena sentimental, I just don’t know, hoho..) aku cukup mengerti bahwa siapapun orang itu, dia bisa menjadi guru, bisa menjadi inspirator, menjadi  pemberi, menjadi pemimpin, menjadi penerima, menjadi musuh tapi tetap meninggalkan ‘kesan’.

Tanpa dia harus punya alasan: orang pintar, orang kaya, orang berpendidikan, orang bule (yeah, kita adalah orang-orang timur yang selalu merasa “barat” adalah tolok ukur semuanya) orang baik, suku apa, agama apa… sepanjang aku merasa bisa ‘memetik’ ilmu sekalipun dalam hal yang tidak aku setuju. Akan ku simpan sebagai Ilmu Pengetahuan Umum,,

Then  ketika aku  menemukan kalimat ini: “orang yang berbahagia bukanlah orang  yang hebat dalam segala hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan mengucap syukur by  Roger Lowenstein” , lalu aku merasa perlu mengucap: thanks God, I know that meaning..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar