Walau
sadar punya banyak kesamaan dengan Kaleb
—my
middle and the only male kids — sering
aku merasa sikap Kaleb sangat menganggu, membuat kesombongan ku
bilang kita beda. Kaleb
dan aku TIDAK SAMA.
Kaleb
anak kecil sok gagah yang fragile tapi mandiri, yang galak tapi pencinta sejati,
cuek tapi sangat perhatian even to the
small details. Kaleb orang yang sangat menikmati hidup bahkan sampai ke-hal
yang kadang tidak (perlu) kita lihat atau sesuatu yang (terlihat) tidak penting
but
then he just care than he will share it...
Misalnya,
kemarin dengan tergopoh-gopoh dia membawa DVD dengan judul yang belum aku lihat
sinopsisnya di media apa-pun. Aku membacanya Ai Pi Men (tulisanya Ip Man)
ternyata ejaannya sama dengan tulisannya. Ini adalah masalah speling China menjadi internasional (lafal Inggris IP dan YIP di bunyi
China). Sebelum aku tau, Kaleb sudah terus ngotot kalau ini dibaca Ip Man.
Yups,, selesai soal nama, kemudian pikirku “siapa juga Mr. Ip ini?“ rasanya tidak penting banget film ini untuk dipamer. Akhirnya dari internet aku tau siapa si Ip Man ini. Ternyata dia adalah (bakal) gurunya Bruce Lee. Entah dari mana pengetahuan ini Kaleb dapat. Kalau aku baru mencari tau setelah mendengar celotehnya tentang kehebatan si Ip Man ini. It’s (seems) just a simple and not important things at all, tapi sosok Bruce lee yang kenamaan jelas membuatnya ‘bangga’ mengetahui kalau Mr. Ip Man adalah gurunya. Makanya anakku begitu senang membagikan ‘info tidak penting ini’. hehehe
Waktu
musim sepatu plastic dengan harga bombastic, beberapa kali Kaleb protes dan
meminta dibelikan. Terlepas soal harganya, aku memang tidak terlalu tertarik
dengan modelnya, However, he just
a kid of nature. Demi melihat sepupunya punya dia mulai terusik. Pergilah
kami ke pasar dan mall untuk memenuhi rasa ingin taunya, kubiarkan
nuraninya berbicara dan menimbang. Then he just came to near me and said.
.”wah mahal banget ya ma, ya sudahlah abang beli yang dipasar juga gak papa,
yang penting khan punya ya”… dia bilang tanpa aku ajarin, dia menimbang dengan
kacamata bagaimana ‘sederhananya’ aku biasa hidup…
Kisah
lain, dia ingin punya sepatu gunung yang bagus, sekalian biar bisa dipakai
gereja pikirku dan dia menyetujuinya. Apadaya dengan gaji yang pas-pasan aku harus melewatkan beberapa kali
gajian untuk mampu membelinya. Suatu malam itu tanpa rencana kami iseng main ke
pasar malam dekat rumah, lalu dia melihat sandal gunung (wanna be) yang jelas kelihatan -mungkin tidak sampai beberapa bulan-
juga bakal hancur. Tapi waktu itu memang baru sampai itu kemampuanku. Aku
menawarinya dan apa yang terjadi: dia tetap menerimanya dengan penuh rasa
bangga seolah-olah aku telah membelinya dari mall, dia mengapresiasi ‘sendal murahan’ itu dengan gesture yang sama ketika menerima perlengkapan
untuknya di hari Natal. Menjaganya dengan (sangat) hati-hati sampai beberapa
waktu, meletakannya disamping tempat tidur dan he
just don't really care for the style yang nanggung, harga yang buntung, dia hanya
menginginkan sandal. Dan dia mendapatkanya.
Bajupun
tak pernah menuntut, asal jangan berwarna ‘perempuan’. Pun jika ‘memang’ harus, aku hanya butuh alasan
dan bukti yang tepat. Tapi untuk ukuran anak cerewet dan perfectionist,
—menurutku — kaleb benar-benar anak yang apa adanya soal
materi. Makanpun simple, harga pun tak mengerti mematok, waktu dia menginginkan
bola blister (selesai musim piala dunia) dan aku hanya membelikanya bola kulit-kulitan
yang 15ribu-an (itupun lamaaaa kemudian),, andai bisa ku gambarkan lagi raut
kebahagianya. Huuuu,,
Atau
ketika dia melihat mobil-mobilan-an kecil di tipi dan minta dibelikan, tapi aku
(hanya) membelikanya mobilan (biasanya dijual diplastik transparan dan
bergantunga seperti kacang), atau mobilan yang diberi orang atau yang ‘nemu’ di
loak-an… dia tidak tergangu, walau tetap berharap. Dia
tau cara menghargai ‘yang ada’ meski dalam paket yang lebih sederhana.
Begitupula
dalam mengagumi yang dia lihat beyond
ordinary. Seperti guru sekolah
minggu yang sabar, anak-anak yang pemberani, anak yang nakal, anak yang manis,
anak yang pintar, anak yang ‘berbeda’.. dia tau menilai (walaupun masih dalam
sudut pandangnya yang cetek) tapi dia selalu mengakui kelebihan orang lain,
kekurangan orang lain dan dia mampu menakar kekurangannya atas kelebihanya
dengan orang lain.
Selama
ini sering aku merasa (walaupun sadar he
just part of my character) kesal dan terganggu dengan segala kecerewetan
Kaleb yang sok tau, komentar tidak pentingnya dan ‘nerimo’nya yang pasrah.
Belum
lama ini aku seperti dihadapkan dengan cermin. Iseng membongkar-bongkar ‘harta
karun masa lalu’, ternyata kartu ucapan natal teman nyaris 20 tahun yang lalu —selalu kuingat sebagai ‘perhatian yang tulus’
walau kenyataanya menjadi jerat bagiku —, kartu ucapan HUT dari teman kuliah di
tahun ’98, kartu nama ‘kenalan’ ditahun ’95 —bahkan kita tidak pernah
jumpa darat —masih saja kusimpan. Seperti ada memory ‘khusus’ didalamnya. Padahal
sejak tahun 1999 sampai hari ini aku sudah mengalami pindah rumah sampai 6x —3x pertama masih satu daerah —.
Sembari
mebuka-buka ‘tas memory’ itu, pikiranku semakin melayang-layang:
Teringat
seorang teman SMP yang tanpa dia sadari ‘telah mengajariku’ mengenal kantor
pos, pasar inpres, kesan “jangan sekali-kali menonton telenovela”, jangan pernah
bikin gank, be cool dalam banyak hal, di
tahun 93-94. Semuanya masih terekam dikepalaku dengan kuat.
Di
tahun’96, teman lain (ingat nasihat teman jangan pake nama sembarangan,,
hihihi) yang baru kukenal ditahun ajaran baru SMA —dia anak pindahan —. Juga keseharianya
(telah) mengajariku menjadi orang yang percaya diri, tidak takut menjadi
‘beda’, jangan takut bermimpi, bertoleransi tingkat tinggi, berbagi, menyisipkan bahasa Inggris dalam percakapan
sehari-hari kami, dan sedikit bohong itu perlu
(yes dear, I learn this from you..hehe)
masih aku pegang sampai sekarang.
1999,
tempat pertama yang aku singgahi ketika akan menikah. Selimut yang dipinjamkan,
CD Britney Spears yang tidak takut ku pegang-pegang (padahal kami belum kenalan hari
itu).
2004,
para TKW yang nakal, susah diatur dan menyebutku “ibu paling cerewet”,, miss you all dear :0
Gelas
Tupperware dari ibu manajer (yang waktu itu aku dapat karena kita niat
manas-manasin ibu GA, hahaha) walau bendanya sudah hilang dan hari-hari terakhir kami tidak lagi
hangat, masih aku ingat selalu. Kejadian bullying waktu itu juga menyisakan ‘pesan
moral’ khusus buat aku.
Tahun
2005. Sapaan yang ramah dari Satpam dihari
pertama aku joint di perusahaan Jepang, dan seorang Satpam ‘sok akrab’ dan
supir baik hati —yang sebenarnya kami juga pernah berselisih —yang kemudian (tetap)
menjadi teman curhatku (sampai hari aku menulis ini). Hehehe,,,
Pertemanan
kerja yang isinya penuh dinamika, sepanjang 2005-2010. Bagaimana ‘mengalah dan
pasrahnya’ HRD pada nasib dan kelakuanku.hahaha... Yes, aku tidak perlu jadi putri Cinderela untuk tahu
kalau dalam banyak hal HRD ‘terpaksa’ mengalah dengan argumenku,, tengkyu pak..
:p
Senyum
ramah mbak receptionist di perusahaan Eropa,, senangnya. Aku mengartikan:
tawaran pertemanan.
Pemberian,
pemberitahuan, teguran, ajakan, undangan, ajaran teman, sapaan, tawaran —bahkan dari
siapa saja, sekalipun dari orang yang tidak (pernah) aku duga sama sekali — selalu berarti banyak buat aku. Sering
“mereka” melakukanya dalam kapasitas ‘kewajiban/sambil lalu/niat/ketidak
sengajaan’ tapi kemudian aku menyimpulkanya sebagai perhatian (walau sering dalam tanda kutip), yang mungkin suatu
saat menyenangkan jika di kenang kembali.
I am not a
kind of person yang hanya akan ingat;
pemberian mahal, janji yang manis, pertolongan-pertolongan ‘besar’ aiiihh,,, aku merasa setiap orang punya 2 sisi hidup. Seperti
aku menyadari 2 sisi karakterku yang sering diartikan salah (atau mungkin
karena sentimental, I just don’t know,
hoho..) aku cukup mengerti bahwa siapapun orang itu, dia bisa menjadi guru, bisa
menjadi inspirator, menjadi pemberi,
menjadi pemimpin, menjadi penerima, menjadi musuh tapi tetap meninggalkan ‘kesan’.
Tanpa
dia harus punya alasan: orang pintar, orang kaya, orang berpendidikan, orang
bule (yeah, kita adalah orang-orang
timur yang selalu merasa “barat” adalah tolok ukur semuanya) orang baik, suku
apa, agama apa… sepanjang aku merasa bisa ‘memetik’ ilmu sekalipun dalam hal yang
tidak aku setuju. Akan ku simpan sebagai Ilmu Pengetahuan Umum,,
Then
ketika aku menemukan kalimat ini: “orang yang berbahagia
bukanlah orang yang hebat dalam segala
hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan mengucap
syukur by Roger Lowenstein” , lalu aku merasa perlu
mengucap: thanks God, I know that
meaning..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar