29 Mar 2012

Mereka memanggil saya


Di peradaban –atau peradatkan kah?– orang Batak, ada sebuah konvensi yang menjelaskan bahwa seseorang yang sudah menikah apalagi kemudian punya anak, PANTANG  untuk dipanggil nama aslinya. Misalnya saya nih, nama kecil saya adalah Lenchu. Setelah menikah dan kemudian punya anak, maka ‘sebaiknya’ saya dipanggil dengan ditempeli nama anak saya. Mama Jane.

Ini diberlakukan untuk semua orang, bahkan kepada orang yang lebih tua daripada saya sekalipun. Apakah dia sepantaran mama saya bahkan sampai setua opung saya. Malahan,  tante atau teman atau saudara saya yang lainya, walaupun misalnya umurnya jauh diatas saya, alangkah ‘tidak sopan’nya jika dia masih memanggil saya dengan nama asli.

Kebetulan, walau saya orang yang tidak pernah percaya adanya ‘kebetulan’ dalam hidup ini. Kakak saya berjodoh dengan nyong Ambon. Dimana mereka punya gaya hidup dan tradisi  pemanggilan yang bertolak belakang dengan kebiasaan Batak.  Kedua keponakan saya biasa memanggil saudaranya yang lebih tua bahkan sampai nenek/kakek dengan namanya. Seperti, “Oma Santi, Opa Yan, tante Mery, tante Ciang”… Yah, pokonya ada nama tersisip dibalik embel pemanggilan itu. Looks not so big deal?  In Batakness  it’s a horrible man. :p


Maka Nona dan Nyong itu sering memanggil saya “tante Lenchu”. Meskipun bukan keluarga yang saklek dalam tradisi, jelas ini menganggu kenyaman mama saya. “Ai aha do halak on, hera dang maradat. Pese-pese dope nga manggoari”. Yang artinya kurang lebih: kalian ini gak sopan banget, masak anak kecil juga  manggil nama. Hmmm,,,

Adalah si Caroline kami yang mulutnya ceriwis setengah hidup. Anak Karo yang ibu-bapaknya pendiam kelas berat. Bingung khan?? Wong saya aja masih suka heran tuh anak dapat ilmu bawel dari mana. Hehehe...

Demi sok kebarat-baratan, mungkin begitu orang akan menilainya. Tapi niat saya dan mama Oline adalah membuat ‘gaya khas’ sendiri. Maka kami mengajari Oline kecil untuk memanggil saya Aunty daripada Mamatua. Karena dia punya dua orang Mamatua.

Antara latah dan keblibet dengan pemanggilan 2 anak ambon tadi, dan entah siapa yang memulai. Apakah Oline atau 2 anak kakak yang Ambon. Mereka jadi memanggilku dengan sebutan: mama Aunty.Ini belum begitu aneh kedengaranya khan?  Mereka juga memanggil suamiku dengan sebuatan: Om Papa. Hahaha…

So, inilah mark kami didepan semua saudara. Mama Anti dan Om papa.

Papa Oline super pendiam. Orang Karo yang modern apa kampungan kah model begitu? Saya tidak tau mendefinisikanya. Hehehe.  sewaktu dia masih pacaran dengan adik saya. Semua anak-anak biasa memanggilnya Om Bakti. Demi sulitnya memulai komunikasi tentang kepantasan pemanggilan dengan si Om Bakti ini. Sampai hari ini, setelah anaknya- 2 pun, kami bersaudara dan anak-anak memanggilnya dengan om Bakti.


Kami memanggil suami si kakak juga dengan pemanggilan  'ala' Ambonse..

Lebih puluhan kali mama sudah mengingatkan. Bahkan beberapa saudara ada yang menaggapinya dengan enteng,  walau juga ada yang berkomentar ‘berat’ sekali. Sampai berlanjut dengan ceramah.

28 Mar 2012

Piece of (much) unpredictable


Perpanjangan tangan Tuhan yang paling berasa tuh, menurut gue…  bukan karena gedenya atau banyaknya pertolongan itu dikasih. Karena, kadang-kadang ada orang yang emang Tuhan kirim just in time nya kita butuh. Pun kadang ini bukan kebutuhan yang amat sangat mendesak dan Urgent. But tetep harus diakui, saat ini ‘diinginkan’ maka that small things will mean a lot.  

Dan buat gue, yang merasa sebagai ‘penikmat’ kehidupan even in small package, I love to be there. Dan seperti gue pengen bisa nolong orang disaat yang tepat, gue juga akan sangat thank full saat pertolongan tak terduga itu datang.  Apalagi datangnya dari orang yang engga pernah gue pikirkan.

Semisalnya, waktu jaman-jamannya gue nganggur. Asli, terharu-sangat dengan sms beberapa teman-teman yang engga gue ‘perhitungkan’ sama sekali, dan mereka kasih support  dengan bilang, “sabar ya”...  Lalu , soal itu sandiwara atau bukan, gue engga mau jadi hakim disini. Just thank God ada yang inget gue. Swear, it felt like life in live.

Ini juga mengingatkan gue juga pada suatu kejadian Natal dan Tahun Baru beberapa tahun yang lalu. 

Sebagaimana keuangan gue yang agak-agak langka, maka bikin kue diwaktu Natal cuma hayalan buat gue. Suatu kali teman-teman serombongan gereja bilang kalau mereka mau  datang Tahun baru-an. Tentu gue persilahkan dengan senang hati,  padahal gue engga bikin kue apa-apa.

Dengan entengnya gue minta ‘sumbangan’ kue sama nyokab gue, yang kalau Natalan biasa bikin kue kayak buat sekelurahan.  Kayanya nyokab masih terngiang-ngiang, karena dulu tinggal dilingkungan ramai yang  98% masyarakat-nya muslim.  Dimana kalau lebaran kita akan kebanjiran kue lebaran sampai selemari penuh, so kalau natal kita wajib ‘kerja keras’ ngebagi-bagi kue buat semua tetangga itu. I called it, tolerance.
Nah sekarang, dengan tetangga dekat yang kurang dari 10 keluarga,  nyokab masih suka lanjut dengan kebiasaanya itu.  Tapi ini rejeki juga buat gue sebenarnya, pikir gue.

Maka dengan tanpa malu-malu gue minta kue sama nyokab buat menjamu para tamu gue. Pikiran gue, gak lucu juga beli (walaupun sebenarnya bisa dengan kue-kue yang agak murahan). karena  menurut gue,  (lagi-lagi pikiran sepihak bow…)  ada kue nyokab yang sangat banyak itu, dan pasti jauh lebih pantas dan enak buat dihidangkan.

Ternyata eh ternyata, jawaban nyokab kayak belati yang langsung merobek jantung gue. Hehehe…  Lebay deh. Tapi asli, setelah pulang dari rumah nyokab, air mata gue terus bercucuran.  Perasaan sih gue engga pengen nangis, tapi kok air mata jatuh dan jatuh aja.  Hati berasa  perih banget.  Jantung  gue deg-degan tingkat keluarahan, rasanya nyesek, muka terasa panas demi menahan malu yang  tak berperi. Karena nyokab ngomong didepan sodara dan adik gue. Gue berasa kaya kambing yang salah masuk kandang terus diusir dengan kasar.

“Pede banget kau minta-minta kue, emang ada yang kau kasih”, begitu kata nyokab gue dengan mimik muka yang angkuh dan mendelik. Dan sampai detik ini, gue gak ngerti kenapa, bagaimana emak gue yang biasa ‘baik hati’ sama orang sekampung  itu bisa ‘takut’ kuenya gue  pinjem atau pun  minta.


Mulak balging, kata orang batak. Yang artinya kurang lebih pulang dengan kesia-siaan. Gue pulang dengan (perasaan) sih, perasaan gue legowo. Nyokab gue emang suka agak-agak ‘nyelekit’ kalu ngomong sama gue. Mungkin menurut  dia karena gue orangnya  kasar dan keras kepala, so gak bakal punya stok air mata dan ‘sakit hati’. Hiks hiks… kyaaaa, hehehe.. :p

Tapi ternyata sepanjang jalan air mata gue berderai-derai. Gue berasa kayak  pelem India yang habis putus cinta. Padahal gaya gue sok tegar dan muka  juga sok cuek, tapi ternyata…  gue nangis bombay tanpa suara.

Tiba-tiba datanglah tetangga gue ngedeketin. Seorang ibu gendut yang di per-tetangga-an kami agak-agak dianggap menjengkelkan. Karena dia itu suka banget bertamu, minjem, nebeng, numpang, yach…   pokonya segala kegiatan yang lumayan annoying tetangga lainnya. Dari minjem sabun lah, minjem Indomie, minjem shampoo, rinso, bayklin, minta sayur,  minta lauk ...  apa aja lah yang sedang dia butuhin. Sukur-sukur  kalau dia  inget mulangin kalu engga,  dan seringannya sih engga.  Hanya Tuhan dan dia lah yang tau-tau semua itu. Hmmm,,,

Dia juga suka pamer bikin kue ini, kue itu, bisa begono, bisa begini tapi gak pernah sekalipun tetangga ‘mencicipi’. Tapi kalau ibu beliau ini, halaaah… rasanya semua dapur orang sudah ditandanginya. But secara umum, gue tau dia baik, gue akuin dia suka nolong. Tapi sebagai pemberi?  sama sekali tidak!!

“Kenapa mak Jen?”, sapanya lembut.  Mengimbangi air muka gue yang merana. Tambah sedihlah gue ditanya gitu. Maka dengan isak dan sesegukan gue ceritakan kejadian beberapa menit yang lalu itu. “Ya ampun, jangan nagis dong sayang. Nih bawa kue aku”, dia bangun lalu menyodorkan 2 toples kue kering. Dia pinter bikin kue, jadi sudah pasti kue dia lebih enak dari bikinan nyokab gue yang cuma ‘bisa’ bikin kue.

Hati gue rasanya kayak diperas, seperti ampas santan yang sudah kehabisan minyak. Tapi kali ini beda makna, gue terharu, gue begitu ditelanjangi dengan paradok gue soal ibu ini selama ini. “Udah gak papa bawa sana, nanti khan tamu kamu mau datang. Mandi sana sudah jangan sedih. Engga usah dipikirin, aku bikin kue banyak kok”, sambungnya lagi. Padahal gue tau pasti, dia bikin kue palingan 4-5 toples. Sedangkan dirumah emak gue, kalu ditoplesin model ginian kue bisa jadi 20-an toples. Lebih malah, karena macamnya yang banyak.

Sampai para tamu berdatangan, entah kenapa air mata gue terus aja bercucuran. Padahal gue sama sekali engga kepengen nagis.  Sampai ada seorang teman bilang, “wah ibu Mawar semalam acara Tahun Baruanya seru ya, masih terharu aja kayanya”.

Only God knows, haru-biru dan sakit-hati  jadi satu hari itu. Pertolongan ‘kecil’ tapi tepat pada waktunya, dari orang yang sama sekali engga gue perhitungkan.

26 Mar 2012

Apakah sukses itu??


Percakapan seperti ini biasa aku dan suami lakukan. Walau bukan tipikal keluarga model per-sinetron-an Indonesia. Dimana saat menjelang malam, semua anggota keluarga akan berkumpul didepan tivi. Dengan posisi Bapak yang asyik dengan pekerjaanya atau kebiasaanya baca-baca buku dan atau koran, lalu si ibu dengan hangat memeluk anak-anak sambil nonton tivi. Hihihi, drama dech.

My real world is… aku dan suami bisa bercakap-cakap ‘normal’. Walaupun suamiku sedang sambil mandi di kamar mandi. Yaps, dengan ukuran kontrakan kami, maka ini sama sekali bukan masalah. Dengan suara yang tinggi dan tidak saling melihat wajah, obrolan dan cerita-ceritaan kami bisa terus berlanjut.


Sekali lagi, memang bukan seperti sinetron Indonesia yang rumahnya 3 lantai. Tapi hal seperti ini bukanlah kemustahilan. *Sinis amat?? hehehe… Artinya, aku cuma mau mengingatkan kita semua.  Bahwa komunikasi, percakapan dan dialogue rumah tangga, baik soal pekerjaan, teman dan sekedar remeh-temeh bukan hanya milik sinetron, orang pintar atau keluarga dengan sikon yang ‘mendukung’. Ini seharusnya terjadi dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja dan dirumah model apa saja. We need to talk each other. Seperti yang aku biasakan dirumah.

Dengan keadaan letih setelah seharian berkuli, dan anak-anakku ngambrug didepan tivi kamar. Sesekali terdengar teriakan iseng si kakak dan tangis cengeng si abang. Ada juga suara rusuh oppung yang diganggu si adik didapur. Opung sedang ada urusan didapur, dan bayi ku yang tidak lagi mungil itu akan terus membuntutinya. Sesekali si oppung terdengar kesal sambil gemas.

Sebagai keluarga ‘biasa’ saja, aku dan suami biasa membahas masa depan, cita-cita dan hayalan tingkat tinggi kami secara ‘luar biasa’. Sebagai orang ber-Tuhan, kami sama-sama percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Perjalanan kehidupan kami sudah mengajarkan kami, bahwa keadaan akan selalu lebih baik. Walaupun seringkali, setelah badai yang tidak mengenakan menghampiri. Juga tidak langsung seperti harapan kami sebagai manusia biasa.

Perjalanan rumah tangga kami yang dari minus (bukan sekedar nol), benar-benar mengajarkan kami untuk selalu bersyukur atas setiap unsur kecil dalam kehidupan kami. Seperti pekerjaanku yang sekarang sedang kami bahas malam ini.  

Katanya, menurut interview yang aku hadapai dimuka dulu. Diperusahaan ‘mimpi’ku ini, ada yang namanya jenjang karir, juga regional exchange employee . Maka aku dan suami berandai-andai.
 “Wah, keren kali ya kalau gue bisa kerja di regional company…”, diawali aku yang  baru tau kalau disini ternyata walaupun ‘cuma’ staf  tapi bisa juga di mutasi ke luar negeri. Yah…  kelasnya memang baru Asia Tenggara. Tapi sebagai seorang yang (lagi-lagi aku akui..), luar negeri adalah satu dari sekian banyak mimpi liarku, maka berita ini langsung membuatku merasa berbunga-bunga.
“Keluarga dibawa khan?”, sambar suami-ku cepat.
“Yaelah,,,”,  balasku dengan agak kesal.

Menurut aku suamiku lebay. Dia berlebihan dengan ‘ketakutanya’ berpisah dengan aku dalam bentuk apapun. Ini bukan drama, kami memang tidak terbiasa saling berjauhan. Mungkin karena sindrom awal-awal pernikahan kami yang super sulit. Dimana keadaan memaksa aku dan suami banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Jadilah ini salah satu buah simalakama kami bersama, atau mirip juga lagu “Jatuh Cintanya” eyang Titik Puspa. Karena, kalau berjauh-an kami akan saling kebingungan, tapi kalau dekat bawaanya gerah. Hahaha…

Pokonya, kami memang tidak bisa jauh-jauhan dan untuk itu aku sepakat. Akan tetapi, demi rejeki bekerja di luar negeri gak masalah kale… kata batinku dengan sewot. Ya lah sewot, khan teorinya kalaupun, seandainya, semisal  aku sampe di ‘kontak’ bekerja diluar negeri, statusku tetap ‘cuma’ staf. Dimana-lah ada jatah staf  ‘paket keluarga’.

Nyebelin deh pertanyaan si abang ini. Aku jawab kemudian dengan gaya ku yang khas, panjang, melebar dan pake urat,,, *dikittt. Hehehe
“Lo lebay banget sih pak, mana ada sih staf punya jatah buat keluarga. Kalu gue manajer tuh baru. Dikirim ke luar negri pasti dapat jatah keluarga. Rugi-lah kalu staf juga pake bawa-bawa keluarga, siapa loh… Lagian kenapa sih, palingan kontak  2 tahun. Lagian juga Singapore  deket kali, sebulan sekali pulang juga gak bangkrut-bangkrut amat, kalau gak mampu ya naik kapal feri juga gampang”.
Hebat khan hayalan kami. Bukan hanya sampai berandai-andai tapi ke juga detailnya kami pikirkan, hehehe... “Yah, gak enak dunk. Percuma”, timpal suamiku dengan nada malas.

Tidak kalah ekspresi aku mendengus sambil kesal, “udah bagus ada jenjang karir Bang. Dimana-mana mah kalau orang mau sukses itu harus ada harganya kali. Emang lo gak mau gue naik status, emang lo keberatan kalu gue jalan sendiri. Kali aja balik dari luar negeri bisa nambah-nambahin kenalan. Siapa tau bisa jadi loncatan baru, siapa tau… siapa tau”, panjang lebar lebih mirip protes kalimat ku.

Btw, aku bisa memanggil suamiku dengan panggilan yang disesuaikan dengan sikon. Awalnya, -biasanya- bisa panggil sayang, babe,  dady, papa. Kalau sudah kebanyakan ngobrol bisa sampe ke kamu, abang, bapak. Dan kalau sudah panas bisa jadi elo bahkan ‘nama’nya. Hehehe,,, yaps that’s me :p.

Lama aku mencoba memahami pola pikir suamiku yang berpendapat, “enakan usaha sendiri dari pada kerja”. Karena prinsip aku, bekerja adalah gabungan dari: gajian, ekistensi dan pamor. Terlepas soal gaji. Karena umumnya, engga mungkin juga kita curhat soal gaji sama tetangga toh. Tapi suamiku selalu berprinsip, “pedagang sayur penghasilanya gak bisa ditakar, kalau orang kerja kebaca”. So,  bicara soal link, kenalan dan jaringan pertemanan yang ‘bermutu’  adalah  materi kami sejak dulu.

Aku melirik kesal, suamikumendadak diam. Seharusnya dia tau kalau keluar negeri adalah salah satu mimpiku yang paling liar. Kediam-annya membuatku memaksa sinis, “ngambek lo?”.
Dia menatap aku dengan tulus lalu menjawab pelan, “sukses itu apa sih?”, bolamatanya menatap plafon rumah dengan gamang. Gerundelku memanjang, apa-apaan sih manusia ini omelku sendiri. Pertanyaanya berkesan nyolot, menurut aku.

“Ya bisa punya gaji gede, jabatan bagus, naik pangkat, sekolah bagus”, balasku asal-asalan. Daripada aku jawab “muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga??” hehehe, khan bego. Tapi inti jawabanku ya emang asal saja. “Apa semua selalu soal materi?”, Tanya balik suami aku dengan pelan.
Commonly sih gitu pak. Istri/suami cakep, punya mobil, punya karir, anak-anak pinter dan berprestasi”.
Suami ku putar badan, lalu kami berhadapan. “Nah kaya kamu nih, semisalnya naik jabatan trus kerja di Singapore dengan gaji gede tapi tanpa bawa keluarga. Apa artinya?”.

Aku jadi bengong, “jangankan kamu, anak-anak engga akan aku kasih kost kalau sudah gede”.
“Wah, parah lo Bang. Lah kalu dia berjodoh sama orang bule. Jangan cetek lah”, aku sudah tidak lagi marah, lebih ke heran bin aneh. “Ya buat apa ‘denger’ anak sukses tapi gak bisa ngelihat dengan mata-kepala sendiri. Apa bedanya sama orang dunia yang kaya-raya tapi gak punya waktu buat keluarga”.
Aku bengong, garis tipis antara bodoh dan keikutan bingung *(terpana lebih tepat kayaknya), karena pada dasarnya aku pun bukan tipe manusia matrealisme. Tapi bicara karir dan luar negeri memang merupakan kacamata umum sukses toh? Setuju dunk!!.

“Nah sekarang menurut kamu sendiri, sukses itu apa?”, suamiku menggeleng dengan pertanyaanku.
 “Yah itu dia, sampai sekarang aku masih gak paham dengan kata ‘sukses’. Karena kebanyakan orang ya akan bicara seperti yang kamu bilang tadi, tapi menurut aku kalau cuma materi mah bukan sukses namanya. Orang komunis juga sukses, koruptor juga sukses dong, apalagi mereka. Perempuan mana yang mau deket-deket, pengedar narkoba juga sukses dong, mafia..bla bla bla”.
“Terus, menurut kamu apa dong?”, aku malah jadi bego sendiri.
“Aku gak tau. Beneran, dan sama sekali gak paham kalau orang pada bicara sukses-sukses. Aku gak ngerti, makanya aku nanya”, suamiku masih dengan raut wajahnya yang datar dan gamang.


Dan aku, yang biasanya bicara panjang dan melebar plus pake nyolot, hanya bisa diam dan mencoba mencerna (lagi) pemikiran suamiku. Pemikiranya yang sering kali (terlihat) begitu dangkal tapi dalam, begitu bodoh tapi penuh nilai.

*Kenyataan: didunia dan tempat yang aku tinggali. Bahkan ditempat ‘rohani’ sekalipun. Belum ada yang men-sejajarkan kesuksesan dengan: etika, keharmonisan, memberi tanpa pamrih, rumah tangga, kejujuran, falsafah hidup, non SARA, damai-sejahtera, kesehatan, tawa lepas, ucapan syukur dan aneka hal kecil lainnya.  Sukseskah itu??... fuihhh…

  

13 Mar 2012

"Anak Angkat" Rano Karno

 Sebagai remaja tahun 90-an, nama Rano Karno begitu melekat kuat dihati dan kepala saya. Selain aktingnya yang brilliant. Wajahnya yang ganteng abis (tentu… pada masa itu), juga latar belakang kehidupannya sebagai artis besar yang nyaris tidak pernah terseret masalah ‘aneh-aneh’ membuat saya dan keluarga begitu mengaguminya. Majunya beliaupun di kancah perpolitikan tidak menunjukan gelagat banting stir atau cari popularitas semata, disaat usinya tidak lagi muda dan mulai tergeser namanya sebagai actor kenamaan.

Beberapa hari ini, kita digemparkan dengan kasus narkoba yang melibatkan anak seorang pejabat. Begitu media membuat headline.  Terlihat hobah bin heboh. Tidak terlalu lama kemudian nama Rano Karno tercuat. Bukan karena urusan politiknya. Tetapi, ternyata eh ternyata anak pejabat yang dimaksud ini adalah anak (angkatnya) si bang Doel, Rano Karno. Artis kesukaan saya itu.

Kasus ini begitu ringan dan enak diikuti (menurut saya lho). Anak yang dimaksud tidak terlihat berkelit, bersembunyi juga menafik ceritanya. Berita yang tertulis di koran dan terlihat di tivi/internet  juga  menyampaikan berita yang sama. Yap, dia memang pemesannya dan dia pesan dari orang Malaysia. 
Dan yang luar biasanya lagi, bang Doel dengan lapang dada segera unjuk muka dan mohon maaf kepada rakyat dan juga si anak. Simple dan pendek ya? tidak seperti berita-berita lainya yang bikin kita eneq, mabok tapi penasaran tapi emosi. Saling lempar statement dan putar balik kalimat.

Terlepas soal ‘legowo’-nya seorang Rano Karno dan khilafnya seorang RW. Sebagai pemirsa tivi dan segala macam media, saya sangat terganggu dengan kalimat “anak angkat” yang selalu saja disisipkan setiap kali berita ini diangkat.

Ayolah dunia!!! Kalimat “anak angkat” itu bukan sekedar statement “sesuatu” atau “alhamdulilah” yang menambah rasa (lebay) dalam berita. Kalimat anak angkat ini hanya menambah beban dikedua belah pihak. Rano Karno seperti mempertontonkan lakon sejatinya, sebagai lelaki yang tidak bisa punya anak. Si anak pun diobok-obok dengan kesalahanya dan “takdir”nya sebagai anak angkat.

Lalu, apa hubunganya gitu lho dengan narkoba ini??? Anak angkat yang tidak tau diri? Sekali lagi semua hanyalah opini saya, sebagai orang kampung yang biasa mendengar rumpian ibu-ibu dipagi hari sampai malam menutup hari. Tapi kalimat "anak angkat" itu memang seperti menggiring kami untuk mengucapkan kalimat itu. Padahal tidak kalah banyak anak-anak kandung yang kecanduanya lebih parah. Lalu koneksinya dimana??

Sebagai sebagai seorang ibu yang kebetulan saya memperanakan 3 orang anak. Hal ini sangat menyakitkan ketika seseorang kembali digedor-gedor dengan ‘kelemahan’nya yang ‘emang sudah dari sananya’. Anak angkat Rano Karno, bapak angkat, anak adopsi pejabat… apa sih??

Kenapa masalah ‘narkoba’ ini harus dilebarkan ke masalah jiwa. Kita taulah kalau pengakuan itu adalah harga tinggi yang diinginkan manusia sebagai mahluk hidup, mahluk social. Ketika nilai ‘pengakuan’ itu di sanding dengan masalah yang lain, ini khan tambah menyakitkan sekali. 

Jadi menurut saya, hai awak media “hentikan penggunaan kalimat ‘anak angkat’ ini". Mari bombardier kehidupan si RW sebagai anak muda yang khilaf dan terjerumus narkoba. Jangan ungkit ‘luka batin’nya sebagai anak angkat menjadi bahan pemberitaan utamanya, demi penambah rasa nama besar seorang Rano Karno.  

9 Mar 2012

Butet Kertaradjasa



Gue ‘kenal’ nama Butet Kertarajasa jauh sebelum dia tenar dan sering wara-wiri dipesawat pertelevisian belakangan ini. Waktu itu gua masih SD, dan bu guru ngasih tugas kesenian. Yaitu membuat kliping, yang berisi tentang hal-hal yang berkenaan dengan seni. Kalau kebayakan anak-anak SD lebih men-definisikan kalimat seni dengan ‘lagu/music/nada’,  entah kenapa waktu itu koleksi gue menuju ke seni tari dan lukisan.

Dari situlah gue tambah tau yang namanya lukisan Afandi, Basuki Abdulah dan aliran mereka dalam melukis. Dari ‘tugas’ kliping inilah gue mengerti, kalau ternyata aliran-aliran dalam seni itu emang disesuaikan dengan hasil dari lukisan itu sendiri. Karena, kalau cuma baca buku gue masih suka gak ‘kebayang’ bagaimana bisa kotak-kotak gak jelas gitu bisa disebut lukisan, atau dari sisi mana para penikmat itu bisa bilang kalau tinta yang  (kelihatan) tumpah itu disebut karya seni bernilai tinggi.

Hmm, gue cuma menarik sudut bibir sinis sambil micingin mata. Menurut gue yang benar-benar ‘pantas’ disebut lukisan ya karyanya Basuki Abdulah dan Leonardo Da Vinci! Selebihnya, gua bilang sih… gambar berwarna. Hehehe, kejam ya? Tapi ya emang demikianlah pemikiran gue waktu SD. Sampai gue menemukan istilah ‘aliran’ ini, dan mulailah gue mengkotak-kotak tipe lukisan yang cucok dengan mata gue. Kemudian kesimpulan gue, sepertinya gue penyuka aliran Naturalis. Prikiteww,,,

Kembali ke si Butet... bukan lagu dari daerah asal gue lho! Hehehe. Tapi si Mas Butet yang tadi gue sebut diawal. Dari pencarian bahan kliping inilah gue nemu biodata seorang seniman tari dari Djogyakarta yang namanya Bagong Kussudiardja. Gue bukan penikmat seni kontemporer apalagi tarian. Waktu itu gue lebih ke interest karena namanya yang unik, Bagong (kalau bahasa sunda, setau gue ini artinya B2 khan). Maka waktu itu pikir gue,, there’s something special. Btw, dari dulu… dari masih bodoh pun (anak SD seharusnya belum punya idealisme dong?), tapi menurut gue nama yang unik ini pasti punya magma (isi tak terduga) yang besar. Tapi apa yah? gua gak ngeti lah… intinya gue salute berat dengan nama Bagong ini.

Kemudian gue nemu lagi, nama anaknya pak Bagong adalah Butet Kertarajasa. Soal mas Djaduk ternyata anaknya juga, gue baru tahu bertahun-tahun kemudian. So bertambahlah ‘kekaguman’ gue dengan pe-nama-an yang unik ini. Bagong yang gak ada hubunganya sama sekali dengan (sorry..) animal  dan Butet yang jauh dari Tanah Toba.

Dibangku SMP, gue sempet ikutan teater. Teater M’belink namanya. Hanya sanggup ikutan 1 bulan tok, karena kemudian gue merasa kalau jiwa gue 'gak' teater banget. Gue cuma suka dengan detail dan keseriusan dunia teater, tapi gue sama sekali gak bisa in to it. Dan kemudian nama “teater” sering gue cari tau dikoran. Biasalah, sekedar sotoydotkom doang, hehehe. Dari searching kalimat  tetater  ini kemudian gue nemu lagi nama si Butet. Disini beliau disebut budayawan.

Gue masih rancu dengan arti ‘budayawan’ ini, blank sama sekali. Yang gue tau: penyanyi, pemain film, pelukis, penari tapi budayawan, ngg hmm..?  Ora mudeng at all.  Sampai beberapa tahun kemudian ‘tahu’ budayawan yang bernama Emha Ainun Anjib yang menikah dengan artis sederhana kesukaan keluarga gue, Novia Kolopaking. Oh, Mas Butet ‘gawe’anya seperti mas Emha ini  toh. Bret… itulah mate-matika gue waktu itu.

Selepas masa reformasi, makin menjamurlah gelaran para budayawan-budayawan yang dulunya hanya banyak beraksi dikalangan sendiri. Maka kembali gue  teringat nama Butet ini. Kemunculannya yang nyinyir dan lugas semakin memantapkan kekaguman gue buat pribadinya. Dulu khan cuma salut sama namanya, hehehe. 

Dan menurut gue, genderangnya makin membahana waktu dia jadi salah satu team-nya PDIP di hajatan perjumpaan para pasangan calon presiden. Kesinisanya yang faktuil dan tajam membuat namanya semakin berkibar sebagai budayawan yang resek. Ini sih bahasa gue. Gue suka banget gaya ‘nyolot’nya dia. Dan mulailah perhatian gue pada cara-acara dimana beliau ini ada. Menurut gue; walaupun kebaca arahnya, monolognya selalu asyik aja buat direnungi bersama-sama.

Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2012. Dengan dituliskannya nama Butet Kertarajasa sebagai pengisi di salah satu sesi, gue langsung berbunga. Selain karena nama seorang Efendi Gazali yang gue kagumi kepintaranya. Oh ya, gini-gini gue hobi banget liat berita dan dialog seputar hukum, ekonomi terutama politik. So, gue lumayan familiar dengan nama-nama para tokoh itu, yang menurut gue mereka cerdas banget karna berani mengkritisi pemerintahan yang banyak munafiknya. Upss! Lalu ada juga si Mbak Oneng, Rieke Dyah Pitaloka.

Tapi honestly, yang pengen banget gue liat malam itu… ya si Mas Butet dan Mas Efendi itu. Jadi ketika acara selesai, kabanyakan para ibu-ibu (tamu acara) itu menyeruduk untuk melihat wajah Mbak Oneng yang asli, gue malah mencari si Mas Butet. Dia lagi ngobrol sama Mbak Rieke  waktu gue SKSD beud nyolek dan minta foto. Iya dunk… plis dey, setelah berpuluh-puluh tahun gue ‘exited’  dengan namanya, dan beberapa tahun belakangan ini gue suka dengan monolognya yang tajam itu dan penasaran abis dengan kreatifitasnya. Terpaksa -dengan niat yang menyala- gue menyambangi beliau. Hehehe, tepaksa tapi niat, apapula??

Sebenarnya  kalau tidak pulang ditengah jalan, hal bodoh seperti ini juga akan gue lakuakan dengan mas Effendi Gazali. Tapi apa daya beliau pulang setelah sesinya selesai.

“Hai Mas Butet foto dong”  kata gue sambil nyolek. Setelah foto, gue ‘maksa’ foto sekali lagi dengan mas Butet-nya saja. Karena tadi dia mengajak Mbak Rieke untuk foto bersama. Lalu  gue nyembur dengan lebih ODPD lagi, “saya ngefans lho sama Mas Butet”. Dan klik, foto terjadi. Mas Butet melirik pendek, seolah merasa aneh dengan kalimat “ngefans itu” kah??  (perasaan gue sih, semoga engga… hiks hiks).

Dan beberapa detik kemudian gue sadar, kalimat pendek gue tadi terdengar tolol dan basi. OMG, gue berasa seperti sm*stblast yang lagi kecentilan sama anak band, dan  pamer gaya cibi-cibi gak jelas. Berasa bodoh, norak dan kekanakan banget, menurut gue.

Selanjutnya, gue malas gabung di sesi foto bersama para tamu dan panitia. Lalu cepat keluar nyari mobil buat balik dari Pasar Minggu menuju Bekasi jam 9.45 malam.

Dan sepanjang jalan, gue masih merasa tolol dengan kalimat pendek itu. “Mas saya ngefans loh sama Mas Butet”.  Apa pula maksudnya, basi banget sih?, dan walau gak bermaksud untuk lebay tapi menurut gue kalimat gue itu lebay banget. 

Hmmm… sepanjang jalan gue geleng-geleng sambil ngebayangin berasa jadi ABG ababil yang habis nonton acara music pagi (siang atau sore, sekarang semua jam ada acara model ginian). Dan tergopoh-gopoh mendekati sang artis untuk bilang “gue suka banget sama band ini, udah ganteng, lagunya enak, bla..bla..bla”. Owhh,, BASI.
     

7 Mar 2012

I will be here, Jane


Akhirnya aku berhadapan dengan ‘masa transisi’ anak-ku, Jane. Usianya mulai meretas menuju remaja. Di penghujung usia ini aku lebih suka menyebutnya tunas remaja. Seorang gadis usia 12 tahun, duduk dibangku SMP kelas 1 yang kebanyakan teman-temanya punya gaya hidup yang ‘lumayan’. Jauh sebelum sampai diusia ini aku sudah berkali-kali mengingatkanya, bawa akan tiba saatnya kami akan bermusuhan. 

“Kak nanti semakin kamu besar, kita akan lebih sering berdebat”, ujarku. “Kenapa?”, tanyanya dengan polos waktu itu. “Ya, karena kamu akan merasa lebih pintar nantinya, dan kamu akan merasa mama sok ngatur, musuh dan kamu akan lebih percaya sama teman-teman kamu”, jawabanku lebih panjang lebar sebenarnya, tapi demikianlah inti masukan-ku waktu itu.

Aku tidak dibesarkan dalam keluarga yang berdamai dengan masalah. Setiap kesalahan adalah sapu rumah. Setiap kecurangan adalah sapu lidi, setiap kekerasan/keributan adalah tamparan, cubitan dan hukuman fisik lainya. Mama dan Bapak tidak terbiasa menjelaskan sebab akibat dari kesalahan kami. Yang kami tau hanyalah; ini salah, ini tidak tepat, ini tidak boleh, dan bermacam-macam kata tidak lainya.

Jadilah kami 4 orang perempuan, dulunya adalah anak-anak yang manis dan patuh. Oops kakak-ku sedikit berbeda. Walau bukan seorang pembangkang, dia punya kebiasaan ‘ngelayap’ yang luar biasa. 

Sepulang sekolah dia masih suka nongrong dirumah teman, dirumahpun demikian dia suka mencuri-curi waktu untuk ke wartel sekedar ber-haha-hihi ditelepon dengan temanya. Dan aneka pergaulan lainya, yang jika dipikir-pikir sekarang... jika dibandingkan dengan tingkat kenakalan dan keberanian anak-anak jaman sekarang dengan pergaulannya… Maka, apa yang dilakukan si kakak ini bukan aib, bukan pula kesalahan besar.

Tapi memang demikian aturan-main kedua orang tua kami sejak dulu kala: jangan suka nongrong diluar rumah. Pulang sekolah, hanya perjalanan diangkot yang menjadi jarak. Keluar rumah (tanpa alasan pasti) pun tidak direstui. Jika mau nongrong, lebih baik jika ajak teman-teman ‘main’ depan rumah. Mau sampai jam berapapun orangtua kami akan monggo. Tapi harus di depan rumah. Kalaupun mau kerumah teman, adalah lebih bijak jika si teman ini dan beberapa teman lain (yang sudah dikenal baik oleh orangtuaku) untuk datang menjemput. Selebihnya adalah pelanggaran dan bersap-siaplah dengan ‘hukuman’. Bisa berupa fisik, kotbah yang tiada henti atau sampai sindirian yang keras, tegas dan melebar.

Sepanjang SD sampai SMEA tidak ada gejolak khusus dikehidupan aku, juga saudara-saudariku. Ya ya, Orangtuaku pernah dipanggil kesekolah juga pada kenyataanya, tapi bukan untuk masalah kenakalan anak ABG, waktu itu lebih kepada masalah attitude dan penampilan. 

Gayaku yang kelewat ‘laki-laki’ membuat gerah ibu guru BP SMEA. Dan suatu kali (aku lupa kasusnya)… aku marah dan tanpa sadar (apa sadar ya?? Pokonya lupa lah, hahaha) menendang meja, lalu meninju pintu kelas dan berakhir di hantaman pintu kamar mandi murid yang membuahkan bunyi yang berdentam keras. Bertambahlah kesenewenan ibu guru BP ini demi sikapku yang jauh dari jiwa kelas yang aku ambil, secretary.  Maka 2 kali mama ku ‘mampir’ disekolah perempuan itu untuk menghadap ibu guru BP. Hehe.

Tapi secara umum, kami ber-4 adalah anak yang manis dan rumahan. Pekerjaan harian rumah, sekolah dan kembali ke rumah itulah dunia kami. Pelanggaran adalah ‘hajaran’ yang menunggu. Sebagai seorang yang keras dan selalu ingin ‘bersuara’, membuat aku menjadi pribadi paling ‘beda’ dirumah. Ke-3 saudariku biasa bergosip bersama, bertukar pakaian bersama bahkan sampai mandi bersamaan. 

Tapi tidak dengan aku. Mulutku terkunci untuk ‘curhat’, ukuran badanku yang lebih besarpun tidak memungkinkan aku satu pakaian dengan mereka, apalagi sepatu. So, aku tidak sama dengan mereka. 3 lawan 1. Tapi mama dan bapak-ku sadar kalau aku punya doktrin kejujuran yang tinggi dan jauh dari ‘kegenitan’. Makanya kemping, hiking dan menginap –yang sesungguhnya adalah ke-HARAMAN tingkat tinggi diperaturan orangtuaku– , adalah sebuah kartu hijau buatku. Tapi tidak buat yang lain.


Aku mencoba menarik benang merah, antara kehidupan masa remajaku, falsafah hidup yang sudah aku anut, kebiasaan ku dulu dengan kehidupan anak remaja –seorang Jane– hari ini. Aku terbiasa ber-ekspresi dengan kemarah. Aku biasa terikat dengan hukum sebab-akibat secara fisik. Aku tidak diajarkan berdamai dengan kesalahan, kami tidak terbiasa abai dengan ‘dosa’.

Hari-hari ini, aku diperhadapkan dengan kehidupan teenager abad 21 yang sesungguhnya. Ternyata tidak semudah itu, bahkan setelah aku warning-kan dengan ‘bijaksana’ selama ini. Maka ketika aku ditampar oleh kesalahan ‘besar’ seorang anak remaja yang labil, aku dihadang oleh sikap seorang Jane yang diam. Dan membuatku dirayapi oleh jutaan molekul, sel yang menegang disertai kombinasi otot yang siap meluncur menjadi makian dan pukulan. 

Tapi sekali lagi, tertahan oleh sejuta diam oleh si pelaku kesalahan, Jane. “Kakak”, begitu aku membiasakan diri memanggilnya. Bukan tanpa arti, aku mau dia sadar bahwa gelar ‘kakak’ adalah sebuah harga kesulungan yang harus pertanggung jawabkan, bahkan aku pun sebagai ibunya selalu memanggilnya kakak.  Karena ada beribu harapan dan doa didalamnya.

Kaget, marah, tercengang, malu dan sedih meliputi pikiranku. Aku merasa sudah cukup mengajarinya, aku merasa cukup membekalinya, aku merasa sudah banyak memberikan gambaran dunia ABG yang akan dihadapinya ini, aku merasa ‘cukup’ berdiskusi dan bertukar pikirang denganya selama ini. Kesalahan itu hampir tidak mampu kutoleransi, sesungguhnya yang langsung aku ingin lakukan adalah marah dan memukul dalam artian yang sebenarnya. Tapi ini bukan tahun yang sama dengan masa-ku 20 tahun yang lalu.

Kemudian, ternyata, sebaiknya, aku harus (lebih) membuka pikiran dengan (lebih) luas. Dan membiarkan hati termakan malu, menahan mulut dari kalimat yang hanya akan menjatuhkan, memejamkan mata dan menikmati bulir bening yang mendesak dikelopak mata,,, Anak-ku telah  memaksaku untuk berdamai dengan kesalahan, anak-ku mengajariku untuk menahan mulut. 

Putriku yang tidak lagi kecil mendidikku bahwa cinta memang tidak boleh terbatas, putriku yang telah mengecewakanku untuk sesaat telah memaksaku untuk menjemputnya dalam kesalahan, memeluknya dalam sejuta maaf  yang terus-menerus.  Jane yang terseok akan selalu membutuhkan uluran tanganku.  Jane yang sudah mengakui kesalahanya akan selalu mencari sandaran untuk dipegang. Dan aku harus ada disana, dan aku mau selalu ada disana…    




6 Mar 2012

Please... (don't) Lie To Me


1996-1997. Beberapa bulan lagi menjelang tahun ajaran baru. Sebagai siswa SMEA ada satu momok umum yang selalu ditakuti oleh para guru menjelang ujian akhir dihadapi yaitu, kehamilan. Ini lagu lama dan kejadian yang sangat lazim terjadi bangku SMEA. Setelah menjadi dewasa, menurut aku kasus seperti ini sebenarnya bukan hanya sekedar ‘penyakit’ anak SMEA, tapi epidemi dihampir semua jenis sekolah. Hanya saja karena di bagku SMEA jumlah wanitanya sangat mendominasi, maka kelihatanya tiap tahun anak SMEA pasti ada yang hamil duluan.

Maka mulailah wejangan panjang yang menjemukan dan klise –begitu akau menilai diusiaku yang belum lagi 17 tahun waktu itu–, demi menerima semua petuah dari para guru-guru. Terlebih-lebih kelas kami yang berlabel Secreatary Class, entah kenapa dogma ‘kegenitan’ itu seolah-olah ada di kami. Karena waktu itu kelas kami paling banyak diserang dengan kunjungan-kunjungan guru BP demi menjaga ‘keperawanan’, minimal sampai ujian kelulusan tiba.

Adalah seorang teman cantik, yang waktu pertama kali aku kenal mengenakan pakaian dengan idektikal suatu ideology tertentu. Serba tertutup dan sangat sopan. Tapi tidak sampai setahun sejak menjejakkan kaki dibangku SMEA gayanya merubah 50°, dan seiring bertambah waktu tambah pula perubahanya sampai akhirnya dia tiba dititik 180°. Sekarang dia dikenal sebagai anak yang keren dan modis, pakaianya jelas berubah. Kaos kaki yang dulu tinggi sekarang turun sampai mata kaki, rok yang dulu turun dimata kaki sekarang naik diatas lutut.

Kalau mau jujur sih, ini bukan hanya gaya teman cantik ini. karena hampir separuh dari para murid SMEA kami ‘hobby’ pakai rok diatas lutut. Untuk alasan apa? ng ng… jujur aku masih tidak paham 100%. Walau punya beberapa –pun bukan karena aku menyukai rok pendek, tapi lebih karena kakak ku yang tingginya sedikit dibawah ku dan kami satu pakaian–, maka aku juga punya rok pendek tapi tidak terlalu suka memakainya.

Suatu siang menjelang sore, dipanggilah teman cantik ini oleh guru BP ke ruang guru. Sadar roknya pendek, mulailah ‘kami’ dikelas semua mengingatkan dan kasak-kusuk rok siapa yang boleh ditukar sebentar. Pencarian rok yang sesuai dengan tingginya yang semampai dan posturnya yang ideal tidak mudah. Karena tinggi kami rata-rata dibawahnya, kalaupun ada yang tingginya sama kebanyakan ukuran badannya beda. Hehehe.

Sekembalinya dari ruang guru. Bukan teman ini yang pertama masuk kelas, tapi ibu wali kelas kami, dilanjutkan oleh ibu guru BP. Pintu ditutup dan prolog dimulai dengan lembut. Ibu wali kelas kami ini memang terkenal agak berbeda dengan semua guru lainya. Pembawaanya lembut, tajam dan teratur. Bahasa pendeknya: protokoler.

“Sudah beberapa hari ini mata ibu kedut-kedutan”, mulainya tanpa ekpresi. “Dalam hati ibu bertanya, mau ada apa ini? Ya Allah, kalau sudah menjelang ujian biasanya ada aja godaan”, lanjut si Ibu masih dengan ekspresi datar. “Ibu berdoa, semoga anak-anak ibu jangan ada yang kenapa-kenapa. Mudah-mudahan semua bisa lulus dengan baik, tidak ada kejadian yang memalukan, tidak ada yang putus cita-cita ditengah jalan…”. Si ibu berputar didepan kelas, wajahnya mulai sendu. “Ternyata ini yang terjadi ya..” tambah si ibu. “Tadi waktu si XYZ (silahkan berspekulasi, tapi aku pastikan tidak ada nama disini. Hehehe) dipanggil dia tukar rok dulu khan?”, ibu wali kelas yang biasanya jaim ini mulai agak sinis.

“Rok siapa yang tadi dipakai?” tembaknya cepat. Kami semua menundukkan kepada, hening dan terbungkam.  “Rok siapa yang tadi ditukar!?”, ibu guru BP yang memang terkenal streng ikutan mencecar kami, lebih tegas dan penuh kemarahan. 

Kemudian disebutlah beberapa nama dan ‘jabatanya’ dalam kelas dan keorganisasian. “Kamu itu XXX  (statusnya nih ya), masak kamu gak bisa jadi contoh”, “kamu juga YYY (masih juga status), kamu ikut-ikutan bohong”, dan teruslah kami dikejar pertanyaan yang sama dan berulang-ulang oleh ibu BP.

Jantungku lumayan berdebar hebat. Sekolah kami ini pada masa itu terkenal dengan ketatnya peraturan. Aku ngilu membayangkan orangtuaku dipanggil karena kebohongan berjamaah kami. Aku tau sekali orang tuaku tidak pernah maklum pada segala jenis kesalahan. Hiiiyyy.

Setelah si ibu BP pergi, wali kelas kami kembali angkat bicara. “Kalian tau kenapa ibu marah?”, kami membalas dengan diam. “Ibu tau kok kalian memang suka pake rok-rok pendek, apa kalian pikir kami tidak memperhatikan dari ruang guru. Kami tau kok, si ini, si itu, si ono…Terus kenapa pake bohong? Ibu sakit hatii sekali, kalian tega bohongin ibu”, suara si Ibu mulai parau, tapi terlihat kalau si ibu ingin tetap terlihat gagah. 

“Ibu engga habis pikir, kalian semua tega bohongin ibu,, satu kelas”,  kalimat si ibu terus diikuti kata ‘sakit hati karena dibohongi’ dengan proses pertukaran rok itu, lalu si ibu pergi ke ruang guru.

Mulailah kami kasak-kusuk sepeninggalan si ibu. Tapi didalam hatiku berkecambuk perasaan lain. Sebuah cibiran kepada ibu wali kelas ini, “apa sih sakit hati dibohongin,, di dramatisir banget” hatiku bilang begitu waktu itu. ”Ngapain sakit hati, emang siapa yang bohongin ibu, dibohongin bagaimana, yaelah  engga nyambung”, pikirku sinis waktu itu sampai beberapa waktu lamanya.


Bertahun-tahun kemudian aku menjadi pribadi yang berdiri dalam kehidupanku sendiri. Aku berjalan dalam babak-babak  yang nyata tentang kehidupan, dimana tidak ada lagi Mama yang mengajari, tidak ada pula Bapak yang bisa menjaga. 

Tahun 2000, tahun pertama menikah dan selanjutnya, setiap kali aku merasa dibohongi, kalimat dan wajah sendu si Ibu wali kelas selalu menari-nari dikelopak mataku. Rasa sakit itu, luka itu, shocked  itu, rasa dibohongi itu.. aku tau rasanya,, sekarang!!. Dan memang sangat menyakitkan ketika dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita. Ternyata… kebohongan tidak melulu sebuah dusta, pertentangan tapi bisa pula kepura-puraan, ke’diam’an dan cerita-cerita yang ditunda atau memang ditutupi demi sebuah sandiwara.

“telling the truth and making some cry is better than telling a lie and making someone smile…” quote by Paolo Goethe,, <3

2 Mar 2012

Inspirasinya = Iri dan GR...


Keputusan gue untuk kuliah waktu itu emang bukan sekedar sekelebat wangsit yang turun dari langit. Walaupun gue akuin kemungkinan itu juga menambah kuat rasa itu, ceile,,, hehehe. Diawalai dengan ke-iri-an gue akan semangat seorang rekan kerja yang kelewat loyal, juga ke-GR-an gue atas pujian seorang teman yang rada slank-ean. 

Setia kok kelewatan?? beneran dech, dia tuh seorang pria matang yang kelewat loyal dalam bidangnya. Dia sudah bekerja diperusahaan ini sejak 10 tahun lalu bahkan lebih. Dengan segala keloyalannya, dialah manusia paling simple dan pasrah. Walau berkesan kasar sangat, tapi menurut gue dia lebih tepat ke bl**n :-). Hehehe, tidak bermaksud menyakiti hanya tidak tahan untuk tidak ngucap kalimat itu,,, B-)  

Dengan bekal pengetahuan akan produk yang sudah diatas rata-rata, karena dalam banyak hal dia jauh lebih tau soal produk kami daripada para engineering, bahkan manusia-manusia dengan status Quality man. Entah ini ke-lebay-an gue mengungkapkan atau emang kenyataan. Yang pasti menurut gue… dengan segala kecakapannya itu, semestinya akan sangat  mudah bagi kawan ini untuk hengkang dari perusahaan kami. Lagi pula jabatanya juga gak ada peningkatan, tapi entah kenapa dia loyal banget dan selalu bilang takut untuk mencoba di tempat lain.

Oh ya… setau gue, dan sepengalaman gue. Di perusahan kami ini gak ada tuh yang namanya naik jabatan. Makanya waktu gua denger si kawan ini kuliah, gue kok amazing abis ya… ”What for?” tanya gue dengan semangat dan berharap dia menjawab “mau cari kerjaan lain”. Hehehe, iye emang sih, gue lumayan rusuh demi ngeliat kerajinan dia yang gak pernah dihargai perusahaan.  Hmmm,,,
Balik ke pertanyaan cuy…  lalu jawab dia, “tambah pengetahuan lah mba”. HAHH!! batin gue, penting gak sih nambah pengetahuan lagi,  padahal loe  sudah sangat kompeten bin ngelotok dengan dunia kerja loe, dan loe juga gak niat mencari pekerjaan lainnya!.  Hmmm,,,

So what for , nambahin ilmu tapi gak bisa naik jabatan??  Halloooo,,,  gue sih sampe sekarang masing terkesal-kesal eh salah dink… maksudnya terheran-heran dengan keinginannya yang mulia, tapi sayang perusahaan sama sekali tidak pernah perduli… :p.

Akan tetapi kemudian kok gue malah merasa iri dengan pemikirannya yang tulus, dan terbakar dengan semangatnya. Maka dengan segala kerendahan hati, gue akan menyebut namanya sebagai salah seorang yang menginspirasi gue untuk melanjutkan kuliah diusia yang tidak lagi muda.

Adalah seorang teman lain yang kelihatan sangat slank-ean tapi sebenarnya idealis. Semakin berteman dengannya, gue sering semakin takut dengan pemikiranya. Dimana dia bisa bercanda sambil tetep menyelipkan pesan yang universal dalam kata-katanya. Dalam segala kekonyolanya, gue semakin tau kalau teman satu ini beneran smart secara umum. Dan dari sekian banyak pertemanan gue, dia salah satu yang gue angkat jempol tinggi-tinggi. Serius man!!…

Dia benar-benar bisa mengimbangi ketika kita berbicara SARA, bisa menimpali ketika melihat berita politik dan komentarnya tepat menurut gue, dia juga cerdas menanggapi setiap argumentasi, bahkan dengan orang yang ‘tidak tersentuh’ sekalipun.  Jawabanya diplomatis, cerdik dan sedikit terkesan bodoh. Tapi sebagai seorang ‘pengamat’… am I?? hahaha. Gue lebih suka menyebut dia kritis, hmm,,,   hampir sama lah dengan gue. Tapi menurut gue,  ketenangannya dan kecerdikanya membuat dia  terlihat jauh lebih cerdas.

Adalah juga teman  ini yang sering memuji gue, jujur sering gue ragu sama komentar dia, apa emang muji atau cuma sekedar pelipur lara. Hahaha,,, Masa bodoh, yang jelas dia sering mengagumi bahasa inggris dan keberanian gue. Dan sampai hari ini sih, itu semua gue tanggapi sebagai pujian :p. 

Gue sering curhat soal kegagalan gue dalam melamar pekerjaan gara-gara gue cuma lulusan SMA. Suatu waktu dia pernah nyeletuk “ya kuliah aja bu..”. Dia tuh kalau manggil orang sopan banget, ibu. Hohoho… padahal umur dia beberapa tahun diatas gue. “Sayang kepintaran ibu jadi tidak kelihatan” timpalnya lagi... Serius, gue gak yakin kalau ini pujian apa lebay-nya dia. Yang jelas, ucapan seorang Galih Hidayat cukup menambah suntikan semangat soal kuliah kepada seorang Mawar, yang sebenarnya sempat terbersit demi melihat kesahajaan seorang Ilyas Djohar.

Boleh percaya boleh engga, God knows that somehow somewhere.. they already inspired me  a lot  to take a college in 2007. Thanks guys,,, :-).

1 Mar 2012

Namanya Kak' Lela


Masih bisa dibilang pagi waktu sms itu datang dengan berita yang mengkagetkan. Sesudahnya saya tidak bisa lagi berkonsentrasi dengan pekerjaan. Rasa marah dan ketakutan seakan menderu bersamaan. Tidak sampai 2 jam kemudian, saya berusaha mengejar ‘maksud’ sms itu. Dan berita yang saya dapat kemudian ternyata tidak cukup terekspresi dengan kata ‘mengkagetkan’, karena yang ada adalah: rasa seperti terhempas bom molotov dan menerbangkan saya sampai kelangit lalu membuat saya takut tersadar dan terjatuh.

Untuk beberapa saat, hal yang paling mudah yang saya bisa lakukan hanyalah menangis dan meratapi setiap episode dengan perasaan tidak rela. Mencoba mencari jalan keluar dengan letupan-letupan emosi pun tidak membuahkan solusi apa-apa, sampai kemudian mencari penyelesaian dijalan Tuhan. Kemudian yang bergelut diperasaan ini hanyalah, hambar dan terpaku seperti menikmati mimpi buruk. Entah untuk apa semua ini boleh terjadi, entah bagaimana bisa seorang Mawar dihantam rasa malu seperti ini. Lalu hati dan bibir ini diam, hening. Raga seperti melayang-layang, tangis sudah tidak lagi keluar bersamaan dengan masalah. Yang terus meluncurkan adalah kisah dengan lidah dan mulut yang sepanjang perjalanan hanya bisa berucap “ya Tuhan,, ya Tuhan,,”.

Tapi dengan segala kesadaran saya tau ini bukan ‘diam’ seperti yang saya mau, ini adalah kehilangan kata-kata karena jiwa terasa mengembara kesemua pelosok untuk mengumpulkan jutaan alasan yang coba dibenarkan. Tapi sampai berjam-jam kemudian tidak juga saya  atau kami dapatkan.

Lalu tersebutlah namanya, “telepon Uwa Lela” usul teman. Kalimat yang tidak ada hubungannya dengan masalah ini sama sekali malah membuat airmataku turun deras dengan teratur.  “ya ya ya, nyaris aku lupakan, atau memang aku coba menghindar darinya” batin saya bergeliat. Mulailah jemari ini mempermainkan tuts-tuts henpon untuk memanggil dan meninggalkan pesan.  Dada semakin sesak sambil berkisah lewat jari, seorang yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan saya atau silsilah keluarga kami.

Namanya Delila Gultom, tapi sejak masih sekolah minggu saya dan saudara-saudara saya mengenalnya dengan nama kak Lela. Sampai kemudian saya punya anak dan pernah saya titipkan padanya selama hampir 2 tahun, kami jadi terbisa memanggilnya Uwa Lela. Demi menyamakan persepsi dengan anak saya. Dialah guru sekolah minggu saya, rekan, mentor rohani, gembala, kakak, saudara, teman, ibu bagi anak saya juga saya dan utusan Tuhan bagi kami.

Janjinya untuk datang siang hari tidak bisa terlaksana, tapi malamnya dia datang dari Depok ke Bekasi. Semua karena kasihnya. Entah bagaimana ternyata persaan ini juga dirasakan sama oleh suami saya. “Aku nangis waktu ditelepon kak Lela” katanya. Persis seperti yang saya rasakan sepanjang hari kemarin.

Masalah memang tidak menjadi selesai. Tapi kedatanganya seperti memberi kami kekuatan baru, harapan baru dan sadar bahwa selalu ada teman disaat kami sulit, selalu ada pendoa syafaat bagi kami sekeluarga. Namanya Uwa Lela, dia bukan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah, bukan pula malaikat yang simsalabim membawa kami keluar dari permasalahan. Tapi bahunya yang selalu ada, tanganya yang selalu terulur, dan hatinya yang selalu terbuka disetiap pergumulan kami, membuat saya selalu bisa mengandalkanya.

Uwa Lela,,, bukan manusia super, tapi hatinya yang super selalu membuatnya terlihat sebagai SUPERFRIEND bagi kami semua.