Akhirnya
aku berhadapan dengan ‘masa transisi’ anak-ku, Jane. Usianya mulai meretas
menuju remaja. Di penghujung usia ini aku lebih suka menyebutnya tunas remaja.
Seorang gadis usia 12 tahun, duduk dibangku SMP kelas 1 yang kebanyakan
teman-temanya punya gaya hidup yang ‘lumayan’. Jauh sebelum sampai diusia ini
aku sudah berkali-kali mengingatkanya, bawa akan tiba saatnya kami akan
bermusuhan.
“Kak nanti semakin kamu besar, kita akan lebih sering berdebat”, ujarku. “Kenapa?”, tanyanya dengan polos waktu itu. “Ya, karena kamu akan merasa lebih pintar nantinya, dan kamu akan merasa mama sok ngatur, musuh dan kamu akan lebih percaya sama teman-teman kamu”, jawabanku lebih panjang lebar sebenarnya, tapi demikianlah inti masukan-ku waktu itu.
“Kak nanti semakin kamu besar, kita akan lebih sering berdebat”, ujarku. “Kenapa?”, tanyanya dengan polos waktu itu. “Ya, karena kamu akan merasa lebih pintar nantinya, dan kamu akan merasa mama sok ngatur, musuh dan kamu akan lebih percaya sama teman-teman kamu”, jawabanku lebih panjang lebar sebenarnya, tapi demikianlah inti masukan-ku waktu itu.
Aku
tidak dibesarkan dalam keluarga yang berdamai dengan masalah. Setiap kesalahan
adalah sapu rumah. Setiap kecurangan adalah sapu lidi, setiap kekerasan/keributan adalah
tamparan, cubitan dan hukuman fisik lainya. Mama dan Bapak tidak terbiasa
menjelaskan sebab akibat dari kesalahan kami. Yang kami tau hanyalah; ini
salah, ini tidak tepat, ini tidak boleh, dan bermacam-macam kata tidak lainya.
Jadilah
kami 4 orang perempuan, dulunya adalah anak-anak yang manis dan patuh. Oops
kakak-ku sedikit berbeda. Walau bukan seorang pembangkang, dia punya kebiasaan ‘ngelayap’
yang luar biasa.
Sepulang sekolah dia masih suka nongrong dirumah teman, dirumahpun demikian dia suka mencuri-curi waktu untuk ke wartel sekedar ber-haha-hihi ditelepon dengan temanya. Dan aneka pergaulan lainya, yang jika dipikir-pikir sekarang... jika dibandingkan dengan tingkat kenakalan dan keberanian anak-anak jaman sekarang dengan pergaulannya… Maka, apa yang dilakukan si kakak ini bukan aib, bukan pula kesalahan besar.
Sepulang sekolah dia masih suka nongrong dirumah teman, dirumahpun demikian dia suka mencuri-curi waktu untuk ke wartel sekedar ber-haha-hihi ditelepon dengan temanya. Dan aneka pergaulan lainya, yang jika dipikir-pikir sekarang... jika dibandingkan dengan tingkat kenakalan dan keberanian anak-anak jaman sekarang dengan pergaulannya… Maka, apa yang dilakukan si kakak ini bukan aib, bukan pula kesalahan besar.
Tapi
memang demikian aturan-main kedua orang tua kami sejak dulu kala: jangan suka nongrong
diluar rumah. Pulang sekolah, hanya perjalanan diangkot yang menjadi jarak.
Keluar rumah (tanpa alasan pasti) pun tidak direstui. Jika mau nongrong, lebih
baik jika ajak teman-teman ‘main’ depan rumah. Mau sampai jam berapapun
orangtua kami akan monggo. Tapi harus di
depan rumah. Kalaupun mau kerumah teman, adalah lebih bijak jika si teman
ini dan beberapa teman lain (yang sudah dikenal baik oleh orangtuaku) untuk datang
menjemput. Selebihnya adalah pelanggaran dan bersap-siaplah dengan ‘hukuman’.
Bisa berupa fisik, kotbah yang tiada henti atau sampai sindirian yang keras,
tegas dan melebar.
Sepanjang
SD sampai SMEA tidak ada gejolak khusus dikehidupan aku, juga
saudara-saudariku. Ya ya, Orangtuaku pernah dipanggil kesekolah juga pada
kenyataanya, tapi bukan untuk masalah kenakalan anak ABG, waktu itu lebih kepada
masalah attitude dan penampilan.
Gayaku yang kelewat ‘laki-laki’ membuat gerah ibu guru BP SMEA. Dan suatu kali (aku lupa kasusnya)… aku marah dan tanpa sadar (apa sadar ya?? Pokonya lupa lah, hahaha) menendang meja, lalu meninju pintu kelas dan berakhir di hantaman pintu kamar mandi murid yang membuahkan bunyi yang berdentam keras. Bertambahlah kesenewenan ibu guru BP ini demi sikapku yang jauh dari jiwa kelas yang aku ambil, secretary. Maka 2 kali mama ku ‘mampir’ disekolah perempuan itu untuk menghadap ibu guru BP. Hehe.
Gayaku yang kelewat ‘laki-laki’ membuat gerah ibu guru BP SMEA. Dan suatu kali (aku lupa kasusnya)… aku marah dan tanpa sadar (apa sadar ya?? Pokonya lupa lah, hahaha) menendang meja, lalu meninju pintu kelas dan berakhir di hantaman pintu kamar mandi murid yang membuahkan bunyi yang berdentam keras. Bertambahlah kesenewenan ibu guru BP ini demi sikapku yang jauh dari jiwa kelas yang aku ambil, secretary. Maka 2 kali mama ku ‘mampir’ disekolah perempuan itu untuk menghadap ibu guru BP. Hehe.
Tapi
secara umum, kami ber-4 adalah anak yang manis dan rumahan. Pekerjaan harian rumah,
sekolah dan kembali ke rumah itulah dunia kami. Pelanggaran adalah ‘hajaran’
yang menunggu. Sebagai seorang yang keras dan selalu ingin ‘bersuara’, membuat
aku menjadi pribadi paling ‘beda’ dirumah. Ke-3 saudariku biasa bergosip
bersama, bertukar pakaian bersama bahkan sampai mandi bersamaan.
Tapi tidak dengan aku. Mulutku terkunci untuk ‘curhat’, ukuran badanku yang lebih besarpun tidak memungkinkan aku satu pakaian dengan mereka, apalagi sepatu. So, aku tidak sama dengan mereka. 3 lawan 1. Tapi mama dan bapak-ku sadar kalau aku punya doktrin kejujuran yang tinggi dan jauh dari ‘kegenitan’. Makanya kemping, hiking dan menginap –yang sesungguhnya adalah ke-HARAMAN tingkat tinggi diperaturan orangtuaku– , adalah sebuah kartu hijau buatku. Tapi tidak buat yang lain.
Tapi tidak dengan aku. Mulutku terkunci untuk ‘curhat’, ukuran badanku yang lebih besarpun tidak memungkinkan aku satu pakaian dengan mereka, apalagi sepatu. So, aku tidak sama dengan mereka. 3 lawan 1. Tapi mama dan bapak-ku sadar kalau aku punya doktrin kejujuran yang tinggi dan jauh dari ‘kegenitan’. Makanya kemping, hiking dan menginap –yang sesungguhnya adalah ke-HARAMAN tingkat tinggi diperaturan orangtuaku– , adalah sebuah kartu hijau buatku. Tapi tidak buat yang lain.
Aku mencoba menarik benang merah, antara kehidupan masa remajaku, falsafah hidup yang sudah aku anut, kebiasaan ku dulu dengan kehidupan anak remaja –seorang Jane– hari ini. Aku terbiasa ber-ekspresi dengan kemarah. Aku biasa terikat dengan hukum sebab-akibat secara fisik. Aku tidak diajarkan berdamai dengan kesalahan, kami tidak terbiasa abai dengan ‘dosa’.
Hari-hari
ini, aku diperhadapkan dengan kehidupan teenager
abad 21 yang sesungguhnya. Ternyata tidak semudah itu, bahkan setelah aku warning-kan dengan ‘bijaksana’ selama
ini. Maka ketika aku ditampar oleh kesalahan ‘besar’ seorang anak remaja yang
labil, aku dihadang oleh sikap seorang Jane yang diam. Dan membuatku dirayapi
oleh jutaan molekul, sel yang menegang disertai kombinasi otot yang siap
meluncur menjadi makian dan pukulan.
Tapi sekali lagi, tertahan oleh sejuta diam oleh si pelaku kesalahan, Jane. “Kakak”, begitu aku membiasakan diri memanggilnya. Bukan tanpa arti, aku mau dia sadar bahwa gelar ‘kakak’ adalah sebuah harga kesulungan yang harus pertanggung jawabkan, bahkan aku pun sebagai ibunya selalu memanggilnya kakak. Karena ada beribu harapan dan doa didalamnya.
Tapi sekali lagi, tertahan oleh sejuta diam oleh si pelaku kesalahan, Jane. “Kakak”, begitu aku membiasakan diri memanggilnya. Bukan tanpa arti, aku mau dia sadar bahwa gelar ‘kakak’ adalah sebuah harga kesulungan yang harus pertanggung jawabkan, bahkan aku pun sebagai ibunya selalu memanggilnya kakak. Karena ada beribu harapan dan doa didalamnya.
Kaget, marah, tercengang, malu dan sedih
meliputi pikiranku. Aku merasa sudah cukup mengajarinya, aku merasa cukup
membekalinya, aku merasa sudah banyak memberikan gambaran dunia ABG yang akan
dihadapinya ini, aku merasa ‘cukup’ berdiskusi dan bertukar pikirang denganya
selama ini. Kesalahan itu hampir tidak mampu kutoleransi, sesungguhnya yang
langsung aku ingin lakukan adalah marah dan memukul dalam artian yang
sebenarnya. Tapi ini bukan tahun yang sama dengan masa-ku 20 tahun yang lalu.
Kemudian,
ternyata, sebaiknya, aku harus (lebih) membuka pikiran dengan (lebih) luas. Dan
membiarkan hati termakan malu, menahan mulut dari kalimat yang hanya akan
menjatuhkan, memejamkan mata dan menikmati bulir bening yang mendesak dikelopak
mata,,, Anak-ku telah memaksaku untuk
berdamai dengan kesalahan, anak-ku mengajariku untuk menahan mulut.
Putriku yang tidak lagi kecil mendidikku bahwa cinta memang tidak boleh terbatas, putriku yang telah mengecewakanku untuk sesaat telah memaksaku untuk menjemputnya dalam kesalahan, memeluknya dalam sejuta maaf yang terus-menerus. Jane yang terseok akan selalu membutuhkan uluran tanganku. Jane yang sudah mengakui kesalahanya akan selalu mencari sandaran untuk dipegang. Dan aku harus ada disana, dan aku mau selalu ada disana…
Putriku yang tidak lagi kecil mendidikku bahwa cinta memang tidak boleh terbatas, putriku yang telah mengecewakanku untuk sesaat telah memaksaku untuk menjemputnya dalam kesalahan, memeluknya dalam sejuta maaf yang terus-menerus. Jane yang terseok akan selalu membutuhkan uluran tanganku. Jane yang sudah mengakui kesalahanya akan selalu mencari sandaran untuk dipegang. Dan aku harus ada disana, dan aku mau selalu ada disana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar