7 Mar 2012

I will be here, Jane


Akhirnya aku berhadapan dengan ‘masa transisi’ anak-ku, Jane. Usianya mulai meretas menuju remaja. Di penghujung usia ini aku lebih suka menyebutnya tunas remaja. Seorang gadis usia 12 tahun, duduk dibangku SMP kelas 1 yang kebanyakan teman-temanya punya gaya hidup yang ‘lumayan’. Jauh sebelum sampai diusia ini aku sudah berkali-kali mengingatkanya, bawa akan tiba saatnya kami akan bermusuhan. 

“Kak nanti semakin kamu besar, kita akan lebih sering berdebat”, ujarku. “Kenapa?”, tanyanya dengan polos waktu itu. “Ya, karena kamu akan merasa lebih pintar nantinya, dan kamu akan merasa mama sok ngatur, musuh dan kamu akan lebih percaya sama teman-teman kamu”, jawabanku lebih panjang lebar sebenarnya, tapi demikianlah inti masukan-ku waktu itu.

Aku tidak dibesarkan dalam keluarga yang berdamai dengan masalah. Setiap kesalahan adalah sapu rumah. Setiap kecurangan adalah sapu lidi, setiap kekerasan/keributan adalah tamparan, cubitan dan hukuman fisik lainya. Mama dan Bapak tidak terbiasa menjelaskan sebab akibat dari kesalahan kami. Yang kami tau hanyalah; ini salah, ini tidak tepat, ini tidak boleh, dan bermacam-macam kata tidak lainya.

Jadilah kami 4 orang perempuan, dulunya adalah anak-anak yang manis dan patuh. Oops kakak-ku sedikit berbeda. Walau bukan seorang pembangkang, dia punya kebiasaan ‘ngelayap’ yang luar biasa. 

Sepulang sekolah dia masih suka nongrong dirumah teman, dirumahpun demikian dia suka mencuri-curi waktu untuk ke wartel sekedar ber-haha-hihi ditelepon dengan temanya. Dan aneka pergaulan lainya, yang jika dipikir-pikir sekarang... jika dibandingkan dengan tingkat kenakalan dan keberanian anak-anak jaman sekarang dengan pergaulannya… Maka, apa yang dilakukan si kakak ini bukan aib, bukan pula kesalahan besar.

Tapi memang demikian aturan-main kedua orang tua kami sejak dulu kala: jangan suka nongrong diluar rumah. Pulang sekolah, hanya perjalanan diangkot yang menjadi jarak. Keluar rumah (tanpa alasan pasti) pun tidak direstui. Jika mau nongrong, lebih baik jika ajak teman-teman ‘main’ depan rumah. Mau sampai jam berapapun orangtua kami akan monggo. Tapi harus di depan rumah. Kalaupun mau kerumah teman, adalah lebih bijak jika si teman ini dan beberapa teman lain (yang sudah dikenal baik oleh orangtuaku) untuk datang menjemput. Selebihnya adalah pelanggaran dan bersap-siaplah dengan ‘hukuman’. Bisa berupa fisik, kotbah yang tiada henti atau sampai sindirian yang keras, tegas dan melebar.

Sepanjang SD sampai SMEA tidak ada gejolak khusus dikehidupan aku, juga saudara-saudariku. Ya ya, Orangtuaku pernah dipanggil kesekolah juga pada kenyataanya, tapi bukan untuk masalah kenakalan anak ABG, waktu itu lebih kepada masalah attitude dan penampilan. 

Gayaku yang kelewat ‘laki-laki’ membuat gerah ibu guru BP SMEA. Dan suatu kali (aku lupa kasusnya)… aku marah dan tanpa sadar (apa sadar ya?? Pokonya lupa lah, hahaha) menendang meja, lalu meninju pintu kelas dan berakhir di hantaman pintu kamar mandi murid yang membuahkan bunyi yang berdentam keras. Bertambahlah kesenewenan ibu guru BP ini demi sikapku yang jauh dari jiwa kelas yang aku ambil, secretary.  Maka 2 kali mama ku ‘mampir’ disekolah perempuan itu untuk menghadap ibu guru BP. Hehe.

Tapi secara umum, kami ber-4 adalah anak yang manis dan rumahan. Pekerjaan harian rumah, sekolah dan kembali ke rumah itulah dunia kami. Pelanggaran adalah ‘hajaran’ yang menunggu. Sebagai seorang yang keras dan selalu ingin ‘bersuara’, membuat aku menjadi pribadi paling ‘beda’ dirumah. Ke-3 saudariku biasa bergosip bersama, bertukar pakaian bersama bahkan sampai mandi bersamaan. 

Tapi tidak dengan aku. Mulutku terkunci untuk ‘curhat’, ukuran badanku yang lebih besarpun tidak memungkinkan aku satu pakaian dengan mereka, apalagi sepatu. So, aku tidak sama dengan mereka. 3 lawan 1. Tapi mama dan bapak-ku sadar kalau aku punya doktrin kejujuran yang tinggi dan jauh dari ‘kegenitan’. Makanya kemping, hiking dan menginap –yang sesungguhnya adalah ke-HARAMAN tingkat tinggi diperaturan orangtuaku– , adalah sebuah kartu hijau buatku. Tapi tidak buat yang lain.


Aku mencoba menarik benang merah, antara kehidupan masa remajaku, falsafah hidup yang sudah aku anut, kebiasaan ku dulu dengan kehidupan anak remaja –seorang Jane– hari ini. Aku terbiasa ber-ekspresi dengan kemarah. Aku biasa terikat dengan hukum sebab-akibat secara fisik. Aku tidak diajarkan berdamai dengan kesalahan, kami tidak terbiasa abai dengan ‘dosa’.

Hari-hari ini, aku diperhadapkan dengan kehidupan teenager abad 21 yang sesungguhnya. Ternyata tidak semudah itu, bahkan setelah aku warning-kan dengan ‘bijaksana’ selama ini. Maka ketika aku ditampar oleh kesalahan ‘besar’ seorang anak remaja yang labil, aku dihadang oleh sikap seorang Jane yang diam. Dan membuatku dirayapi oleh jutaan molekul, sel yang menegang disertai kombinasi otot yang siap meluncur menjadi makian dan pukulan. 

Tapi sekali lagi, tertahan oleh sejuta diam oleh si pelaku kesalahan, Jane. “Kakak”, begitu aku membiasakan diri memanggilnya. Bukan tanpa arti, aku mau dia sadar bahwa gelar ‘kakak’ adalah sebuah harga kesulungan yang harus pertanggung jawabkan, bahkan aku pun sebagai ibunya selalu memanggilnya kakak.  Karena ada beribu harapan dan doa didalamnya.

Kaget, marah, tercengang, malu dan sedih meliputi pikiranku. Aku merasa sudah cukup mengajarinya, aku merasa cukup membekalinya, aku merasa sudah banyak memberikan gambaran dunia ABG yang akan dihadapinya ini, aku merasa ‘cukup’ berdiskusi dan bertukar pikirang denganya selama ini. Kesalahan itu hampir tidak mampu kutoleransi, sesungguhnya yang langsung aku ingin lakukan adalah marah dan memukul dalam artian yang sebenarnya. Tapi ini bukan tahun yang sama dengan masa-ku 20 tahun yang lalu.

Kemudian, ternyata, sebaiknya, aku harus (lebih) membuka pikiran dengan (lebih) luas. Dan membiarkan hati termakan malu, menahan mulut dari kalimat yang hanya akan menjatuhkan, memejamkan mata dan menikmati bulir bening yang mendesak dikelopak mata,,, Anak-ku telah  memaksaku untuk berdamai dengan kesalahan, anak-ku mengajariku untuk menahan mulut. 

Putriku yang tidak lagi kecil mendidikku bahwa cinta memang tidak boleh terbatas, putriku yang telah mengecewakanku untuk sesaat telah memaksaku untuk menjemputnya dalam kesalahan, memeluknya dalam sejuta maaf  yang terus-menerus.  Jane yang terseok akan selalu membutuhkan uluran tanganku.  Jane yang sudah mengakui kesalahanya akan selalu mencari sandaran untuk dipegang. Dan aku harus ada disana, dan aku mau selalu ada disana…    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar