Perpanjangan tangan Tuhan
yang paling berasa tuh, menurut gue… bukan karena gedenya atau banyaknya
pertolongan itu dikasih. Karena, kadang-kadang ada orang yang emang Tuhan kirim
just in time nya kita butuh. Pun kadang ini bukan
kebutuhan yang amat sangat mendesak dan Urgent.
But tetep harus diakui, saat ini ‘diinginkan’
maka that small things will mean a lot.
Dan buat gue, yang merasa
sebagai ‘penikmat’ kehidupan even in
small package, I love to be there.
Dan seperti gue pengen bisa nolong orang disaat yang tepat, gue juga akan sangat
thank full saat pertolongan tak
terduga itu datang. Apalagi datangnya
dari orang yang engga pernah gue pikirkan.
Semisalnya, waktu jaman-jamannya
gue nganggur. Asli, terharu-sangat dengan sms beberapa teman-teman yang engga gue
‘perhitungkan’ sama sekali, dan mereka kasih support dengan bilang, “sabar
ya”... Lalu , soal itu sandiwara atau
bukan, gue engga mau jadi hakim disini. Just
thank God ada yang inget gue. Swear,
it felt like life in live.
Sebagaimana keuangan gue
yang agak-agak langka, maka bikin kue diwaktu Natal cuma hayalan buat gue.
Suatu kali teman-teman serombongan gereja bilang kalau mereka mau datang Tahun baru-an. Tentu gue persilahkan
dengan senang hati, padahal gue engga
bikin kue apa-apa.
Dengan entengnya gue
minta ‘sumbangan’ kue sama nyokab gue, yang kalau Natalan biasa bikin kue kayak
buat sekelurahan. Kayanya nyokab masih
terngiang-ngiang, karena dulu tinggal dilingkungan ramai yang 98% masyarakat-nya muslim. Dimana kalau lebaran kita akan kebanjiran kue
lebaran sampai selemari penuh, so
kalau natal kita wajib ‘kerja keras’ ngebagi-bagi kue buat semua tetangga itu. I called it, tolerance.
Nah sekarang, dengan
tetangga dekat yang kurang dari 10 keluarga, nyokab masih suka lanjut dengan kebiasaanya
itu. Tapi ini rejeki juga buat gue
sebenarnya, pikir gue.
Maka dengan tanpa
malu-malu gue minta kue sama nyokab buat menjamu para tamu gue. Pikiran gue, gak
lucu juga beli (walaupun sebenarnya bisa dengan kue-kue yang agak murahan). karena
menurut gue, (lagi-lagi pikiran sepihak bow…) ada kue nyokab yang sangat banyak itu, dan
pasti jauh lebih pantas dan enak buat dihidangkan.
Ternyata eh ternyata,
jawaban nyokab kayak belati yang langsung merobek jantung gue. Hehehe… Lebay deh. Tapi asli, setelah pulang
dari rumah nyokab, air mata gue terus bercucuran. Perasaan sih gue engga pengen nangis, tapi kok
air mata jatuh dan jatuh aja. Hati berasa
perih banget. Jantung gue deg-degan tingkat keluarahan, rasanya nyesek,
muka terasa panas demi menahan malu yang tak berperi. Karena nyokab ngomong didepan
sodara dan adik gue. Gue berasa kaya kambing yang salah masuk kandang terus
diusir dengan kasar.
“Pede banget kau
minta-minta kue, emang ada yang kau kasih”, begitu kata nyokab gue dengan mimik
muka yang angkuh dan mendelik. Dan sampai detik ini, gue gak ngerti kenapa,
bagaimana emak gue yang biasa ‘baik hati’ sama orang sekampung itu bisa ‘takut’ kuenya gue pinjem atau pun minta.
Mulak balging, kata orang batak. Yang artinya kurang lebih pulang dengan
kesia-siaan. Gue pulang dengan (perasaan) sih, perasaan gue legowo. Nyokab gue
emang suka agak-agak ‘nyelekit’ kalu ngomong sama gue. Mungkin menurut dia karena gue orangnya kasar dan keras kepala, so gak bakal punya
stok air mata dan ‘sakit hati’. Hiks hiks… kyaaaa, hehehe.. :p
Tapi ternyata sepanjang
jalan air mata gue berderai-derai. Gue berasa kayak pelem India yang habis putus cinta. Padahal
gaya gue sok tegar dan muka juga sok
cuek, tapi ternyata… gue nangis bombay tanpa
suara.
Tiba-tiba datanglah
tetangga gue ngedeketin. Seorang ibu gendut yang di per-tetangga-an kami
agak-agak dianggap menjengkelkan. Karena dia itu suka banget bertamu, minjem,
nebeng, numpang, yach… pokonya segala kegiatan yang lumayan annoying tetangga lainnya. Dari minjem
sabun lah, minjem Indomie, minjem shampoo, rinso, bayklin, minta sayur, minta lauk ... apa aja lah yang sedang dia butuhin. Sukur-sukur kalau dia inget mulangin kalu engga, dan seringannya sih engga. Hanya Tuhan dan dia lah yang tau-tau semua itu. Hmmm,,,
Dia juga suka pamer bikin
kue ini, kue itu, bisa begono, bisa begini tapi gak pernah sekalipun tetangga ‘mencicipi’.
Tapi kalau ibu beliau ini, halaaah… rasanya semua dapur orang sudah
ditandanginya. But secara umum, gue
tau dia baik, gue akuin dia suka nolong. Tapi sebagai pemberi? sama sekali tidak!!
“Kenapa mak Jen?”,
sapanya lembut. Mengimbangi air muka gue
yang merana. Tambah sedihlah gue ditanya gitu. Maka dengan isak dan sesegukan
gue ceritakan kejadian beberapa menit yang lalu itu. “Ya ampun, jangan nagis
dong sayang. Nih bawa kue aku”, dia bangun lalu menyodorkan 2 toples kue kering.
Dia pinter bikin kue, jadi sudah pasti kue dia lebih enak dari bikinan nyokab
gue yang cuma ‘bisa’ bikin kue.
Hati gue rasanya kayak
diperas, seperti ampas santan yang sudah kehabisan minyak. Tapi kali ini beda
makna, gue terharu, gue begitu ditelanjangi dengan paradok gue soal ibu ini
selama ini. “Udah gak papa bawa sana, nanti khan tamu kamu mau datang. Mandi
sana sudah jangan sedih. Engga usah dipikirin, aku bikin kue banyak kok”,
sambungnya lagi. Padahal gue tau pasti, dia bikin kue palingan 4-5 toples.
Sedangkan dirumah emak gue, kalu ditoplesin model ginian kue bisa jadi 20-an
toples. Lebih malah, karena macamnya yang banyak.
Sampai para tamu
berdatangan, entah kenapa air mata gue terus aja bercucuran. Padahal gue sama
sekali engga kepengen nagis. Sampai ada seorang
teman bilang, “wah ibu Mawar semalam acara Tahun Baruanya seru ya, masih terharu
aja kayanya”.
Only God knows, haru-biru dan sakit-hati jadi satu hari itu. Pertolongan ‘kecil’ tapi
tepat pada waktunya, dari orang yang sama sekali engga gue perhitungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar