9 Mar 2012

Butet Kertaradjasa



Gue ‘kenal’ nama Butet Kertarajasa jauh sebelum dia tenar dan sering wara-wiri dipesawat pertelevisian belakangan ini. Waktu itu gua masih SD, dan bu guru ngasih tugas kesenian. Yaitu membuat kliping, yang berisi tentang hal-hal yang berkenaan dengan seni. Kalau kebayakan anak-anak SD lebih men-definisikan kalimat seni dengan ‘lagu/music/nada’,  entah kenapa waktu itu koleksi gue menuju ke seni tari dan lukisan.

Dari situlah gue tambah tau yang namanya lukisan Afandi, Basuki Abdulah dan aliran mereka dalam melukis. Dari ‘tugas’ kliping inilah gue mengerti, kalau ternyata aliran-aliran dalam seni itu emang disesuaikan dengan hasil dari lukisan itu sendiri. Karena, kalau cuma baca buku gue masih suka gak ‘kebayang’ bagaimana bisa kotak-kotak gak jelas gitu bisa disebut lukisan, atau dari sisi mana para penikmat itu bisa bilang kalau tinta yang  (kelihatan) tumpah itu disebut karya seni bernilai tinggi.

Hmm, gue cuma menarik sudut bibir sinis sambil micingin mata. Menurut gue yang benar-benar ‘pantas’ disebut lukisan ya karyanya Basuki Abdulah dan Leonardo Da Vinci! Selebihnya, gua bilang sih… gambar berwarna. Hehehe, kejam ya? Tapi ya emang demikianlah pemikiran gue waktu SD. Sampai gue menemukan istilah ‘aliran’ ini, dan mulailah gue mengkotak-kotak tipe lukisan yang cucok dengan mata gue. Kemudian kesimpulan gue, sepertinya gue penyuka aliran Naturalis. Prikiteww,,,

Kembali ke si Butet... bukan lagu dari daerah asal gue lho! Hehehe. Tapi si Mas Butet yang tadi gue sebut diawal. Dari pencarian bahan kliping inilah gue nemu biodata seorang seniman tari dari Djogyakarta yang namanya Bagong Kussudiardja. Gue bukan penikmat seni kontemporer apalagi tarian. Waktu itu gue lebih ke interest karena namanya yang unik, Bagong (kalau bahasa sunda, setau gue ini artinya B2 khan). Maka waktu itu pikir gue,, there’s something special. Btw, dari dulu… dari masih bodoh pun (anak SD seharusnya belum punya idealisme dong?), tapi menurut gue nama yang unik ini pasti punya magma (isi tak terduga) yang besar. Tapi apa yah? gua gak ngeti lah… intinya gue salute berat dengan nama Bagong ini.

Kemudian gue nemu lagi, nama anaknya pak Bagong adalah Butet Kertarajasa. Soal mas Djaduk ternyata anaknya juga, gue baru tahu bertahun-tahun kemudian. So bertambahlah ‘kekaguman’ gue dengan pe-nama-an yang unik ini. Bagong yang gak ada hubunganya sama sekali dengan (sorry..) animal  dan Butet yang jauh dari Tanah Toba.

Dibangku SMP, gue sempet ikutan teater. Teater M’belink namanya. Hanya sanggup ikutan 1 bulan tok, karena kemudian gue merasa kalau jiwa gue 'gak' teater banget. Gue cuma suka dengan detail dan keseriusan dunia teater, tapi gue sama sekali gak bisa in to it. Dan kemudian nama “teater” sering gue cari tau dikoran. Biasalah, sekedar sotoydotkom doang, hehehe. Dari searching kalimat  tetater  ini kemudian gue nemu lagi nama si Butet. Disini beliau disebut budayawan.

Gue masih rancu dengan arti ‘budayawan’ ini, blank sama sekali. Yang gue tau: penyanyi, pemain film, pelukis, penari tapi budayawan, ngg hmm..?  Ora mudeng at all.  Sampai beberapa tahun kemudian ‘tahu’ budayawan yang bernama Emha Ainun Anjib yang menikah dengan artis sederhana kesukaan keluarga gue, Novia Kolopaking. Oh, Mas Butet ‘gawe’anya seperti mas Emha ini  toh. Bret… itulah mate-matika gue waktu itu.

Selepas masa reformasi, makin menjamurlah gelaran para budayawan-budayawan yang dulunya hanya banyak beraksi dikalangan sendiri. Maka kembali gue  teringat nama Butet ini. Kemunculannya yang nyinyir dan lugas semakin memantapkan kekaguman gue buat pribadinya. Dulu khan cuma salut sama namanya, hehehe. 

Dan menurut gue, genderangnya makin membahana waktu dia jadi salah satu team-nya PDIP di hajatan perjumpaan para pasangan calon presiden. Kesinisanya yang faktuil dan tajam membuat namanya semakin berkibar sebagai budayawan yang resek. Ini sih bahasa gue. Gue suka banget gaya ‘nyolot’nya dia. Dan mulailah perhatian gue pada cara-acara dimana beliau ini ada. Menurut gue; walaupun kebaca arahnya, monolognya selalu asyik aja buat direnungi bersama-sama.

Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2012. Dengan dituliskannya nama Butet Kertarajasa sebagai pengisi di salah satu sesi, gue langsung berbunga. Selain karena nama seorang Efendi Gazali yang gue kagumi kepintaranya. Oh ya, gini-gini gue hobi banget liat berita dan dialog seputar hukum, ekonomi terutama politik. So, gue lumayan familiar dengan nama-nama para tokoh itu, yang menurut gue mereka cerdas banget karna berani mengkritisi pemerintahan yang banyak munafiknya. Upss! Lalu ada juga si Mbak Oneng, Rieke Dyah Pitaloka.

Tapi honestly, yang pengen banget gue liat malam itu… ya si Mas Butet dan Mas Efendi itu. Jadi ketika acara selesai, kabanyakan para ibu-ibu (tamu acara) itu menyeruduk untuk melihat wajah Mbak Oneng yang asli, gue malah mencari si Mas Butet. Dia lagi ngobrol sama Mbak Rieke  waktu gue SKSD beud nyolek dan minta foto. Iya dunk… plis dey, setelah berpuluh-puluh tahun gue ‘exited’  dengan namanya, dan beberapa tahun belakangan ini gue suka dengan monolognya yang tajam itu dan penasaran abis dengan kreatifitasnya. Terpaksa -dengan niat yang menyala- gue menyambangi beliau. Hehehe, tepaksa tapi niat, apapula??

Sebenarnya  kalau tidak pulang ditengah jalan, hal bodoh seperti ini juga akan gue lakuakan dengan mas Effendi Gazali. Tapi apa daya beliau pulang setelah sesinya selesai.

“Hai Mas Butet foto dong”  kata gue sambil nyolek. Setelah foto, gue ‘maksa’ foto sekali lagi dengan mas Butet-nya saja. Karena tadi dia mengajak Mbak Rieke untuk foto bersama. Lalu  gue nyembur dengan lebih ODPD lagi, “saya ngefans lho sama Mas Butet”. Dan klik, foto terjadi. Mas Butet melirik pendek, seolah merasa aneh dengan kalimat “ngefans itu” kah??  (perasaan gue sih, semoga engga… hiks hiks).

Dan beberapa detik kemudian gue sadar, kalimat pendek gue tadi terdengar tolol dan basi. OMG, gue berasa seperti sm*stblast yang lagi kecentilan sama anak band, dan  pamer gaya cibi-cibi gak jelas. Berasa bodoh, norak dan kekanakan banget, menurut gue.

Selanjutnya, gue malas gabung di sesi foto bersama para tamu dan panitia. Lalu cepat keluar nyari mobil buat balik dari Pasar Minggu menuju Bekasi jam 9.45 malam.

Dan sepanjang jalan, gue masih merasa tolol dengan kalimat pendek itu. “Mas saya ngefans loh sama Mas Butet”.  Apa pula maksudnya, basi banget sih?, dan walau gak bermaksud untuk lebay tapi menurut gue kalimat gue itu lebay banget. 

Hmmm… sepanjang jalan gue geleng-geleng sambil ngebayangin berasa jadi ABG ababil yang habis nonton acara music pagi (siang atau sore, sekarang semua jam ada acara model ginian). Dan tergopoh-gopoh mendekati sang artis untuk bilang “gue suka banget sama band ini, udah ganteng, lagunya enak, bla..bla..bla”. Owhh,, BASI.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar