Gue
‘kenal’ nama Butet Kertarajasa jauh sebelum dia tenar dan sering wara-wiri
dipesawat pertelevisian belakangan ini. Waktu itu gua masih SD, dan bu guru
ngasih tugas kesenian. Yaitu membuat kliping, yang berisi tentang hal-hal yang
berkenaan dengan seni. Kalau kebayakan anak-anak SD lebih men-definisikan
kalimat seni dengan ‘lagu/music/nada’, entah kenapa waktu itu koleksi gue menuju ke
seni tari dan lukisan.
Dari
situlah gue tambah tau yang namanya lukisan Afandi, Basuki Abdulah dan aliran
mereka dalam melukis. Dari ‘tugas’ kliping inilah gue mengerti, kalau ternyata aliran-aliran
dalam seni itu emang disesuaikan dengan hasil dari lukisan itu sendiri. Karena,
kalau cuma baca buku gue masih suka gak ‘kebayang’ bagaimana bisa kotak-kotak
gak jelas gitu bisa disebut lukisan, atau dari sisi mana para penikmat itu bisa
bilang kalau tinta yang (kelihatan) tumpah
itu disebut karya seni bernilai tinggi.
Hmm,
gue cuma menarik sudut bibir sinis sambil micingin mata. Menurut gue yang
benar-benar ‘pantas’ disebut lukisan ya karyanya Basuki Abdulah dan Leonardo Da
Vinci! Selebihnya, gua bilang sih… gambar berwarna. Hehehe, kejam ya? Tapi ya
emang demikianlah pemikiran gue waktu SD. Sampai gue menemukan istilah ‘aliran’
ini, dan mulailah gue mengkotak-kotak tipe lukisan yang cucok dengan mata gue.
Kemudian kesimpulan gue, sepertinya gue penyuka aliran Naturalis. Prikiteww,,,
Kembali
ke si Butet... bukan lagu dari daerah asal gue lho! Hehehe. Tapi si Mas Butet
yang tadi gue sebut diawal. Dari pencarian bahan kliping inilah gue nemu
biodata seorang seniman tari dari Djogyakarta yang namanya Bagong Kussudiardja.
Gue bukan penikmat seni kontemporer apalagi tarian. Waktu itu gue lebih ke interest karena namanya yang unik, Bagong
(kalau bahasa sunda, setau gue ini artinya B2 khan). Maka waktu itu pikir gue,,
there’s something special. Btw, dari dulu… dari masih bodoh pun
(anak SD seharusnya belum punya idealisme dong?), tapi menurut gue nama yang
unik ini pasti punya magma (isi tak terduga) yang besar. Tapi apa yah? gua gak
ngeti lah… intinya gue salute berat
dengan nama Bagong ini.
Kemudian
gue nemu lagi, nama anaknya pak Bagong adalah Butet Kertarajasa. Soal mas
Djaduk ternyata anaknya juga, gue baru tahu bertahun-tahun kemudian. So bertambahlah ‘kekaguman’ gue dengan
pe-nama-an yang unik ini. Bagong yang gak ada hubunganya sama sekali dengan (sorry..) animal dan Butet yang jauh
dari Tanah Toba.
Dibangku
SMP, gue sempet ikutan teater. Teater M’belink namanya. Hanya sanggup ikutan 1
bulan tok, karena kemudian gue merasa kalau jiwa gue 'gak' teater banget. Gue cuma
suka dengan detail dan keseriusan dunia teater, tapi gue sama sekali gak bisa in to it. Dan kemudian nama “teater”
sering gue cari tau dikoran. Biasalah, sekedar sotoydotkom doang, hehehe. Dari searching kalimat tetater ini kemudian gue nemu lagi nama si Butet.
Disini beliau disebut budayawan.
Gue
masih rancu dengan arti ‘budayawan’ ini, blank
sama sekali. Yang gue tau: penyanyi, pemain film, pelukis, penari tapi
budayawan, ngg hmm..? Ora mudeng at all. Sampai beberapa tahun kemudian ‘tahu’
budayawan yang bernama Emha Ainun Anjib yang menikah dengan artis sederhana
kesukaan keluarga gue, Novia Kolopaking. Oh, Mas Butet ‘gawe’anya seperti mas Emha
ini toh. Bret… itulah mate-matika gue
waktu itu.
Selepas
masa reformasi, makin menjamurlah gelaran para budayawan-budayawan yang dulunya
hanya banyak beraksi dikalangan sendiri. Maka kembali gue teringat nama Butet ini. Kemunculannya yang
nyinyir dan lugas semakin memantapkan kekaguman gue buat pribadinya. Dulu khan
cuma salut sama namanya, hehehe.
Dan menurut gue, genderangnya makin membahana waktu dia jadi salah satu team-nya PDIP di hajatan perjumpaan para pasangan calon presiden. Kesinisanya yang faktuil dan tajam membuat namanya semakin berkibar sebagai budayawan yang resek. Ini sih bahasa gue. Gue suka banget gaya ‘nyolot’nya dia. Dan mulailah perhatian gue pada cara-acara dimana beliau ini ada. Menurut gue; walaupun kebaca arahnya, monolognya selalu asyik aja buat direnungi bersama-sama.
Dan menurut gue, genderangnya makin membahana waktu dia jadi salah satu team-nya PDIP di hajatan perjumpaan para pasangan calon presiden. Kesinisanya yang faktuil dan tajam membuat namanya semakin berkibar sebagai budayawan yang resek. Ini sih bahasa gue. Gue suka banget gaya ‘nyolot’nya dia. Dan mulailah perhatian gue pada cara-acara dimana beliau ini ada. Menurut gue; walaupun kebaca arahnya, monolognya selalu asyik aja buat direnungi bersama-sama.
Hari
Perempuan Internasional, 8 Maret 2012. Dengan dituliskannya nama Butet
Kertarajasa sebagai pengisi di salah satu sesi, gue langsung berbunga. Selain
karena nama seorang Efendi Gazali yang gue kagumi kepintaranya. Oh ya,
gini-gini gue hobi banget liat berita dan dialog seputar hukum, ekonomi
terutama politik. So, gue lumayan
familiar dengan nama-nama para tokoh itu, yang menurut gue mereka cerdas banget
karna berani mengkritisi pemerintahan yang banyak munafiknya. Upss! Lalu ada juga si Mbak Oneng, Rieke
Dyah Pitaloka.
Tapi
honestly, yang pengen banget gue liat
malam itu… ya si Mas Butet dan Mas Efendi itu. Jadi ketika acara selesai,
kabanyakan para ibu-ibu (tamu acara) itu menyeruduk untuk melihat wajah Mbak
Oneng yang asli, gue malah mencari si Mas Butet. Dia lagi ngobrol sama Mbak Rieke
waktu gue SKSD beud nyolek dan minta
foto. Iya dunk… plis dey, setelah berpuluh-puluh tahun gue ‘exited’ dengan namanya, dan beberapa tahun belakangan
ini gue suka dengan monolognya yang tajam itu dan penasaran abis dengan kreatifitasnya.
Terpaksa -dengan niat yang menyala- gue menyambangi beliau. Hehehe, tepaksa
tapi niat, apapula??
Sebenarnya
kalau tidak pulang ditengah jalan, hal
bodoh seperti ini juga akan gue lakuakan dengan mas Effendi Gazali. Tapi apa
daya beliau pulang setelah sesinya selesai.
“Hai
Mas Butet foto dong” kata gue sambil
nyolek. Setelah foto, gue ‘maksa’ foto sekali lagi dengan mas Butet-nya saja. Karena
tadi dia mengajak Mbak Rieke untuk foto bersama. Lalu gue nyembur dengan lebih ODPD lagi, “saya
ngefans lho sama Mas Butet”. Dan klik, foto terjadi. Mas Butet melirik pendek, seolah
merasa aneh dengan kalimat “ngefans itu” kah?? (perasaan gue sih, semoga engga… hiks hiks).
Dan
beberapa detik kemudian gue sadar, kalimat pendek gue tadi terdengar tolol dan
basi. OMG, gue berasa seperti sm*stblast
yang lagi kecentilan sama anak band, dan pamer gaya cibi-cibi gak jelas. Berasa bodoh,
norak dan kekanakan banget, menurut gue.
Selanjutnya,
gue malas gabung di sesi foto bersama para tamu dan panitia. Lalu cepat keluar
nyari mobil buat balik dari Pasar Minggu menuju Bekasi jam 9.45 malam.
Dan
sepanjang jalan, gue masih merasa tolol dengan kalimat pendek itu. “Mas saya
ngefans loh sama Mas Butet”. Apa pula
maksudnya, basi banget sih?, dan walau gak bermaksud untuk lebay tapi menurut
gue kalimat gue itu lebay banget.
Hmmm… sepanjang jalan gue geleng-geleng sambil ngebayangin berasa jadi ABG ababil yang habis nonton acara music pagi (siang atau sore, sekarang semua jam ada acara model ginian). Dan tergopoh-gopoh mendekati sang artis untuk bilang “gue suka banget sama band ini, udah ganteng, lagunya enak, bla..bla..bla”. Owhh,, BASI.
Hmmm… sepanjang jalan gue geleng-geleng sambil ngebayangin berasa jadi ABG ababil yang habis nonton acara music pagi (siang atau sore, sekarang semua jam ada acara model ginian). Dan tergopoh-gopoh mendekati sang artis untuk bilang “gue suka banget sama band ini, udah ganteng, lagunya enak, bla..bla..bla”. Owhh,, BASI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar