1 Mar 2012

Namanya Kak' Lela


Masih bisa dibilang pagi waktu sms itu datang dengan berita yang mengkagetkan. Sesudahnya saya tidak bisa lagi berkonsentrasi dengan pekerjaan. Rasa marah dan ketakutan seakan menderu bersamaan. Tidak sampai 2 jam kemudian, saya berusaha mengejar ‘maksud’ sms itu. Dan berita yang saya dapat kemudian ternyata tidak cukup terekspresi dengan kata ‘mengkagetkan’, karena yang ada adalah: rasa seperti terhempas bom molotov dan menerbangkan saya sampai kelangit lalu membuat saya takut tersadar dan terjatuh.

Untuk beberapa saat, hal yang paling mudah yang saya bisa lakukan hanyalah menangis dan meratapi setiap episode dengan perasaan tidak rela. Mencoba mencari jalan keluar dengan letupan-letupan emosi pun tidak membuahkan solusi apa-apa, sampai kemudian mencari penyelesaian dijalan Tuhan. Kemudian yang bergelut diperasaan ini hanyalah, hambar dan terpaku seperti menikmati mimpi buruk. Entah untuk apa semua ini boleh terjadi, entah bagaimana bisa seorang Mawar dihantam rasa malu seperti ini. Lalu hati dan bibir ini diam, hening. Raga seperti melayang-layang, tangis sudah tidak lagi keluar bersamaan dengan masalah. Yang terus meluncurkan adalah kisah dengan lidah dan mulut yang sepanjang perjalanan hanya bisa berucap “ya Tuhan,, ya Tuhan,,”.

Tapi dengan segala kesadaran saya tau ini bukan ‘diam’ seperti yang saya mau, ini adalah kehilangan kata-kata karena jiwa terasa mengembara kesemua pelosok untuk mengumpulkan jutaan alasan yang coba dibenarkan. Tapi sampai berjam-jam kemudian tidak juga saya  atau kami dapatkan.

Lalu tersebutlah namanya, “telepon Uwa Lela” usul teman. Kalimat yang tidak ada hubungannya dengan masalah ini sama sekali malah membuat airmataku turun deras dengan teratur.  “ya ya ya, nyaris aku lupakan, atau memang aku coba menghindar darinya” batin saya bergeliat. Mulailah jemari ini mempermainkan tuts-tuts henpon untuk memanggil dan meninggalkan pesan.  Dada semakin sesak sambil berkisah lewat jari, seorang yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan saya atau silsilah keluarga kami.

Namanya Delila Gultom, tapi sejak masih sekolah minggu saya dan saudara-saudara saya mengenalnya dengan nama kak Lela. Sampai kemudian saya punya anak dan pernah saya titipkan padanya selama hampir 2 tahun, kami jadi terbisa memanggilnya Uwa Lela. Demi menyamakan persepsi dengan anak saya. Dialah guru sekolah minggu saya, rekan, mentor rohani, gembala, kakak, saudara, teman, ibu bagi anak saya juga saya dan utusan Tuhan bagi kami.

Janjinya untuk datang siang hari tidak bisa terlaksana, tapi malamnya dia datang dari Depok ke Bekasi. Semua karena kasihnya. Entah bagaimana ternyata persaan ini juga dirasakan sama oleh suami saya. “Aku nangis waktu ditelepon kak Lela” katanya. Persis seperti yang saya rasakan sepanjang hari kemarin.

Masalah memang tidak menjadi selesai. Tapi kedatanganya seperti memberi kami kekuatan baru, harapan baru dan sadar bahwa selalu ada teman disaat kami sulit, selalu ada pendoa syafaat bagi kami sekeluarga. Namanya Uwa Lela, dia bukan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah, bukan pula malaikat yang simsalabim membawa kami keluar dari permasalahan. Tapi bahunya yang selalu ada, tanganya yang selalu terulur, dan hatinya yang selalu terbuka disetiap pergumulan kami, membuat saya selalu bisa mengandalkanya.

Uwa Lela,,, bukan manusia super, tapi hatinya yang super selalu membuatnya terlihat sebagai SUPERFRIEND bagi kami semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar