Masih
bisa dibilang pagi waktu sms itu datang dengan berita yang mengkagetkan. Sesudahnya
saya tidak bisa lagi berkonsentrasi dengan pekerjaan. Rasa marah dan ketakutan
seakan menderu bersamaan. Tidak sampai 2 jam kemudian, saya berusaha mengejar ‘maksud’
sms itu. Dan berita yang saya dapat kemudian ternyata tidak cukup terekspresi dengan
kata ‘mengkagetkan’, karena yang ada adalah: rasa seperti terhempas bom molotov
dan menerbangkan saya sampai kelangit lalu membuat saya takut tersadar dan
terjatuh.
Untuk
beberapa saat, hal yang paling mudah yang saya bisa lakukan hanyalah menangis
dan meratapi setiap episode dengan perasaan tidak rela. Mencoba mencari jalan
keluar dengan letupan-letupan emosi pun tidak membuahkan solusi apa-apa, sampai
kemudian mencari penyelesaian dijalan Tuhan. Kemudian yang bergelut diperasaan
ini hanyalah, hambar dan terpaku seperti menikmati mimpi buruk. Entah untuk apa
semua ini boleh terjadi, entah bagaimana bisa seorang Mawar dihantam rasa malu
seperti ini. Lalu hati dan bibir ini diam, hening. Raga seperti melayang-layang,
tangis sudah tidak lagi keluar bersamaan dengan masalah. Yang terus meluncurkan adalah kisah dengan lidah dan mulut yang sepanjang perjalanan hanya bisa berucap “ya Tuhan,, ya
Tuhan,,”.
Tapi
dengan segala kesadaran saya tau ini bukan ‘diam’ seperti yang saya mau, ini
adalah kehilangan kata-kata karena jiwa terasa mengembara kesemua pelosok untuk
mengumpulkan jutaan alasan yang coba dibenarkan. Tapi sampai berjam-jam
kemudian tidak juga saya atau kami
dapatkan.
Lalu
tersebutlah namanya, “telepon Uwa Lela” usul teman. Kalimat yang tidak ada
hubungannya dengan masalah ini sama sekali malah membuat airmataku turun deras
dengan teratur. “ya ya ya, nyaris aku
lupakan, atau memang aku coba menghindar darinya” batin saya bergeliat. Mulailah jemari ini
mempermainkan tuts-tuts henpon untuk memanggil dan meninggalkan pesan. Dada semakin sesak sambil berkisah lewat
jari, seorang yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan saya atau silsilah
keluarga kami.
Namanya
Delila Gultom, tapi sejak masih sekolah minggu saya dan saudara-saudara saya
mengenalnya dengan nama kak Lela. Sampai kemudian saya punya anak dan pernah
saya titipkan padanya selama hampir 2 tahun, kami jadi terbisa memanggilnya Uwa
Lela. Demi menyamakan persepsi dengan anak saya. Dialah guru sekolah minggu
saya, rekan, mentor rohani, gembala, kakak, saudara, teman, ibu bagi anak saya
juga saya dan utusan Tuhan bagi kami.
Janjinya
untuk datang siang hari tidak bisa terlaksana, tapi malamnya dia datang dari
Depok ke Bekasi. Semua karena kasihnya. Entah bagaimana ternyata persaan ini
juga dirasakan sama oleh suami saya. “Aku nangis waktu ditelepon kak Lela”
katanya. Persis seperti yang saya rasakan sepanjang hari kemarin.
Masalah
memang tidak menjadi selesai. Tapi kedatanganya seperti memberi kami kekuatan
baru, harapan baru dan sadar bahwa selalu ada teman disaat kami sulit, selalu
ada pendoa syafaat bagi kami sekeluarga. Namanya Uwa Lela, dia bukan sinterklas
yang membagi-bagikan hadiah, bukan pula malaikat yang simsalabim membawa kami
keluar dari permasalahan. Tapi bahunya yang selalu ada, tanganya yang selalu
terulur, dan hatinya yang selalu terbuka disetiap pergumulan kami, membuat saya
selalu bisa mengandalkanya.
Uwa
Lela,,, bukan manusia super, tapi hatinya yang super selalu membuatnya
terlihat sebagai SUPERFRIEND bagi kami semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar