6 Mar 2012

Please... (don't) Lie To Me


1996-1997. Beberapa bulan lagi menjelang tahun ajaran baru. Sebagai siswa SMEA ada satu momok umum yang selalu ditakuti oleh para guru menjelang ujian akhir dihadapi yaitu, kehamilan. Ini lagu lama dan kejadian yang sangat lazim terjadi bangku SMEA. Setelah menjadi dewasa, menurut aku kasus seperti ini sebenarnya bukan hanya sekedar ‘penyakit’ anak SMEA, tapi epidemi dihampir semua jenis sekolah. Hanya saja karena di bagku SMEA jumlah wanitanya sangat mendominasi, maka kelihatanya tiap tahun anak SMEA pasti ada yang hamil duluan.

Maka mulailah wejangan panjang yang menjemukan dan klise –begitu akau menilai diusiaku yang belum lagi 17 tahun waktu itu–, demi menerima semua petuah dari para guru-guru. Terlebih-lebih kelas kami yang berlabel Secreatary Class, entah kenapa dogma ‘kegenitan’ itu seolah-olah ada di kami. Karena waktu itu kelas kami paling banyak diserang dengan kunjungan-kunjungan guru BP demi menjaga ‘keperawanan’, minimal sampai ujian kelulusan tiba.

Adalah seorang teman cantik, yang waktu pertama kali aku kenal mengenakan pakaian dengan idektikal suatu ideology tertentu. Serba tertutup dan sangat sopan. Tapi tidak sampai setahun sejak menjejakkan kaki dibangku SMEA gayanya merubah 50°, dan seiring bertambah waktu tambah pula perubahanya sampai akhirnya dia tiba dititik 180°. Sekarang dia dikenal sebagai anak yang keren dan modis, pakaianya jelas berubah. Kaos kaki yang dulu tinggi sekarang turun sampai mata kaki, rok yang dulu turun dimata kaki sekarang naik diatas lutut.

Kalau mau jujur sih, ini bukan hanya gaya teman cantik ini. karena hampir separuh dari para murid SMEA kami ‘hobby’ pakai rok diatas lutut. Untuk alasan apa? ng ng… jujur aku masih tidak paham 100%. Walau punya beberapa –pun bukan karena aku menyukai rok pendek, tapi lebih karena kakak ku yang tingginya sedikit dibawah ku dan kami satu pakaian–, maka aku juga punya rok pendek tapi tidak terlalu suka memakainya.

Suatu siang menjelang sore, dipanggilah teman cantik ini oleh guru BP ke ruang guru. Sadar roknya pendek, mulailah ‘kami’ dikelas semua mengingatkan dan kasak-kusuk rok siapa yang boleh ditukar sebentar. Pencarian rok yang sesuai dengan tingginya yang semampai dan posturnya yang ideal tidak mudah. Karena tinggi kami rata-rata dibawahnya, kalaupun ada yang tingginya sama kebanyakan ukuran badannya beda. Hehehe.

Sekembalinya dari ruang guru. Bukan teman ini yang pertama masuk kelas, tapi ibu wali kelas kami, dilanjutkan oleh ibu guru BP. Pintu ditutup dan prolog dimulai dengan lembut. Ibu wali kelas kami ini memang terkenal agak berbeda dengan semua guru lainya. Pembawaanya lembut, tajam dan teratur. Bahasa pendeknya: protokoler.

“Sudah beberapa hari ini mata ibu kedut-kedutan”, mulainya tanpa ekpresi. “Dalam hati ibu bertanya, mau ada apa ini? Ya Allah, kalau sudah menjelang ujian biasanya ada aja godaan”, lanjut si Ibu masih dengan ekspresi datar. “Ibu berdoa, semoga anak-anak ibu jangan ada yang kenapa-kenapa. Mudah-mudahan semua bisa lulus dengan baik, tidak ada kejadian yang memalukan, tidak ada yang putus cita-cita ditengah jalan…”. Si ibu berputar didepan kelas, wajahnya mulai sendu. “Ternyata ini yang terjadi ya..” tambah si ibu. “Tadi waktu si XYZ (silahkan berspekulasi, tapi aku pastikan tidak ada nama disini. Hehehe) dipanggil dia tukar rok dulu khan?”, ibu wali kelas yang biasanya jaim ini mulai agak sinis.

“Rok siapa yang tadi dipakai?” tembaknya cepat. Kami semua menundukkan kepada, hening dan terbungkam.  “Rok siapa yang tadi ditukar!?”, ibu guru BP yang memang terkenal streng ikutan mencecar kami, lebih tegas dan penuh kemarahan. 

Kemudian disebutlah beberapa nama dan ‘jabatanya’ dalam kelas dan keorganisasian. “Kamu itu XXX  (statusnya nih ya), masak kamu gak bisa jadi contoh”, “kamu juga YYY (masih juga status), kamu ikut-ikutan bohong”, dan teruslah kami dikejar pertanyaan yang sama dan berulang-ulang oleh ibu BP.

Jantungku lumayan berdebar hebat. Sekolah kami ini pada masa itu terkenal dengan ketatnya peraturan. Aku ngilu membayangkan orangtuaku dipanggil karena kebohongan berjamaah kami. Aku tau sekali orang tuaku tidak pernah maklum pada segala jenis kesalahan. Hiiiyyy.

Setelah si ibu BP pergi, wali kelas kami kembali angkat bicara. “Kalian tau kenapa ibu marah?”, kami membalas dengan diam. “Ibu tau kok kalian memang suka pake rok-rok pendek, apa kalian pikir kami tidak memperhatikan dari ruang guru. Kami tau kok, si ini, si itu, si ono…Terus kenapa pake bohong? Ibu sakit hatii sekali, kalian tega bohongin ibu”, suara si Ibu mulai parau, tapi terlihat kalau si ibu ingin tetap terlihat gagah. 

“Ibu engga habis pikir, kalian semua tega bohongin ibu,, satu kelas”,  kalimat si ibu terus diikuti kata ‘sakit hati karena dibohongi’ dengan proses pertukaran rok itu, lalu si ibu pergi ke ruang guru.

Mulailah kami kasak-kusuk sepeninggalan si ibu. Tapi didalam hatiku berkecambuk perasaan lain. Sebuah cibiran kepada ibu wali kelas ini, “apa sih sakit hati dibohongin,, di dramatisir banget” hatiku bilang begitu waktu itu. ”Ngapain sakit hati, emang siapa yang bohongin ibu, dibohongin bagaimana, yaelah  engga nyambung”, pikirku sinis waktu itu sampai beberapa waktu lamanya.


Bertahun-tahun kemudian aku menjadi pribadi yang berdiri dalam kehidupanku sendiri. Aku berjalan dalam babak-babak  yang nyata tentang kehidupan, dimana tidak ada lagi Mama yang mengajari, tidak ada pula Bapak yang bisa menjaga. 

Tahun 2000, tahun pertama menikah dan selanjutnya, setiap kali aku merasa dibohongi, kalimat dan wajah sendu si Ibu wali kelas selalu menari-nari dikelopak mataku. Rasa sakit itu, luka itu, shocked  itu, rasa dibohongi itu.. aku tau rasanya,, sekarang!!. Dan memang sangat menyakitkan ketika dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita. Ternyata… kebohongan tidak melulu sebuah dusta, pertentangan tapi bisa pula kepura-puraan, ke’diam’an dan cerita-cerita yang ditunda atau memang ditutupi demi sebuah sandiwara.

“telling the truth and making some cry is better than telling a lie and making someone smile…” quote by Paolo Goethe,, <3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar