Ada darah china di nadiku, walau kondisi tidak
menunjukan itu tapi kenyataan tidak bisa berdusta. Bapakku lahir dari ibunya
yang Batak asli dan bapaknya Tiong hwa asli, bahkan sampai hari wafatnya A-kong
(begitu kami memanggil kakek ini) tidak pernah fasih berbahasa Indonesia.
Aku secara personal tidak terlalu
merasakan pengaruh darah China ini ada dalam aliran darahku, kecuali kalau
beberapa orang akan bilang “kamu putih ya kaya China” titik jebret, nothing
else. Tidak pernah aku bisa berbasa-basi di Glodok karena ‘turunan ini’,
tidak juga bisa menawar barang di Mangga Dua, atau mall manapun dengan mengatas
namakan “I am a chinesse”.. please deh ah,, #mupeng :p
Selama ini kami, (karena aku yakin kalau
saudara-saudaraku juga merasakan hal yang sama) lebih mengklaim kami ini
sebagai orang Batak sejati. –Ini sama sekali bukan karena bapak sudah ‘membeli’
marganya dalam prosesi adat Batak-, kami memang hanya merasa sebagai
orang Batak saja. Walaupun sampai hari
ini tidak banyak yang cukup aku mengerti soal tradisi/adat Batak itu. Bahkan dari
yang paling mudah yaitu pemanggilan/penyebutan/ pertuturan orang Batak secara garis
persaudaraan terdekat, masih sering aku marpasir-pasir
. *istilah orang Batak yang artinya kurang lebih risih kaya pasir/belepotan.
“Merasa” sebagai Orang Batak Asli, aku (merasa) diingatkan
waktu bapak meninggal di tahun 2005. Adalah kakak bapak, dalam bahasa Batak
kami biasa memanggilnya Namboru, tapi
kemudian secara Chinesse dia minta dipanggil Kuku, bilang “kalian harus belajar juga adat China, jangan hanya
Batak aja kalian tau. Jangan dipungkiri ada darah China sama kalian. Mau
100-pun di potong kerbau tetap kalian China, jangan lupa itu!!” kalimat ini dia
ucapkan dengan nada agak kesal. Seperti kami memandang mereka adalah golongan
China yang ekslusif, ternyata Kuku pun punya ponten ‘kecewa’ terhadap kami yang
terlihat ‘menolak ke-China an’ kami dan terlalu meng’eksklusifkan’ diri sebagai
orang Batak.
Semuanya begitu kecil, tapi cukup untuk
menyadakan aku kalau telah tiba waktunya diingatkan soal ‘darah keturunan ini’. Dan
‘sayangnya’... aku (entah saudaraku yang lain menaggapinya seperti apa,,,)
diingatkan setelah bapak tiada lagi, karena aku percaya keinginan ini juga
sebenarnya ada dihatinya, anyway better
late than never toh??
Maka sekarang ketika orang suka bingung
dengan nama Batak-ku yang tak ber-marga, adalah karena bapak ku bermarga Hung –yang katanya– dalam bahasa
Indonesia menjadi Ang, makanya namaku Angelina Mawar. Bapak bernama China Ang ko hik dan mengambil nama Batak Anggiat Poltak. Bapak mengurus surat-surat kelahiran kami
dipertengahan tahun 80-an dan sah mangadati di pertengahan tahun 90-an, hingga hanya
adik bungsu perempuanku dan si bontot laki-laki yang disemua documennya
bermarga Sinaga.
Saudara-saudara sampai tetangga lama kami
mengenali kami dengan nama China kami. Si sulung bernama Lien Hwa/Lengkong, aku Lien Chu (disingkat Lencu),
adikku Lien Ciang (karena kesalahan
lafal maka sampai sekarang ejaannya menjadi Siang),
si bungsu perempuan Lien Ti, lebih
dikenal dengan nama Butet dan si
bontot laki-laki kami bernama Yohanes,
yang ketika lahir Bapak Tua (saudara Bapak paling tua) sempat membuatkan nama
China untuknya; Ang Mou En,, nyaris
tak tersentuh kelihatanya. Tapi waktu pemakamana Bapak, kuku kembali mempertegas “Johan, kaupun punya nama China ya”…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar