5 Jan 2012

Boru China(Ga)


Ada darah china di nadiku, walau kondisi tidak menunjukan itu tapi kenyataan tidak bisa berdusta. Bapakku lahir dari ibunya yang Batak asli dan bapaknya Tiong hwa asli, bahkan sampai hari wafatnya A-kong (begitu kami memanggil kakek ini) tidak pernah fasih berbahasa Indonesia.


Tidak banyak yang bisa kuingat soal A-kong ini, karena beliau wafat saat kebanyakan kami cucu-cucunya masih kecil. Yang aku hapal dan hampir semua orang menceritakan hal yang sama, adalah A-kong ini pemberi dan baik hati. Dalam  segala ketidak mengertianya dalam berbahasa Indonesia maupun bahasa Batak, dia selalu menunjukan kebaikanya pada semua orang. Dan lagi –katanya–, hal ini berbanding terbalik dengan si opung boru (nenek kami yang berkarakter khas Batak: tegas, cerewet dan galak) hehehe…

Aku secara personal tidak terlalu merasakan pengaruh darah China ini ada dalam aliran darahku, kecuali kalau beberapa orang akan bilang “kamu putih ya kaya China” titik  jebret, nothing else. Tidak pernah aku bisa berbasa-basi di Glodok karena ‘turunan ini’, tidak juga bisa menawar barang di Mangga Dua, atau mall manapun dengan mengatas namakan “I am a  chinesse”.. please  deh ah,, #mupeng :p

Selama ini kami, (karena aku yakin kalau saudara-saudaraku juga merasakan hal yang sama) lebih mengklaim kami ini sebagai orang Batak sejati. –Ini sama sekali bukan karena bapak sudah ‘membeli’ marganya dalam prosesi adat Batak-, kami memang hanya merasa sebagai orang Batak saja. Walaupun sampai hari ini tidak banyak yang cukup aku mengerti soal tradisi/adat Batak itu. Bahkan dari yang paling mudah yaitu pemanggilan/penyebutan/ pertuturan orang Batak secara garis persaudaraan terdekat, masih sering aku marpasir-pasir . *istilah orang Batak yang artinya kurang lebih risih kaya pasir/belepotan.

“Merasa” sebagai Orang Batak Asli, aku (merasa) diingatkan waktu bapak meninggal di tahun 2005. Adalah kakak bapak, dalam bahasa Batak kami biasa memanggilnya Namboru, tapi kemudian secara Chinesse dia minta dipanggil Kuku, bilang “kalian harus belajar juga adat China, jangan hanya Batak aja kalian tau. Jangan dipungkiri ada darah China sama kalian. Mau 100-pun di potong kerbau tetap kalian China, jangan lupa itu!!” kalimat ini dia ucapkan dengan nada agak kesal. Seperti kami memandang mereka adalah golongan China yang ekslusif, ternyata Kuku pun punya ponten ‘kecewa’ terhadap kami yang terlihat ‘menolak ke-China an’ kami dan terlalu meng’eksklusifkan’ diri sebagai orang Batak.

Semuanya begitu kecil, tapi cukup untuk menyadakan aku kalau telah tiba waktunya diingatkan soal ‘darah keturunan ini’. Dan ‘sayangnya’... aku (entah saudaraku yang lain menaggapinya seperti apa,,,) diingatkan setelah bapak tiada lagi, karena aku percaya keinginan ini juga sebenarnya ada dihatinya, anyway better late than never  toh??

Maka sekarang ketika orang suka bingung dengan nama Batak-ku yang tak ber-marga, adalah karena bapak ku bermarga Hung –yang katanya dalam bahasa Indonesia menjadi Ang, makanya namaku Angelina Mawar. Bapak bernama China Ang ko hik dan mengambil nama Batak Anggiat Poltak. Bapak mengurus surat-surat kelahiran kami dipertengahan tahun 80-an dan sah mangadati di pertengahan tahun 90-an, hingga hanya adik bungsu perempuanku dan si bontot laki-laki yang disemua documennya bermarga Sinaga.

Saudara-saudara sampai tetangga lama kami mengenali kami dengan nama China kami. Si sulung bernama Lien Hwa/Lengkong, aku Lien Chu (disingkat Lencu), adikku Lien Ciang (karena kesalahan lafal maka sampai sekarang ejaannya menjadi Siang), si bungsu perempuan Lien Ti, lebih dikenal dengan nama Butet dan si bontot laki-laki kami bernama Yohanes, yang ketika lahir Bapak Tua (saudara Bapak paling tua) sempat membuatkan nama China untuknya; Ang Mou En,, nyaris tak tersentuh kelihatanya. Tapi waktu pemakamana Bapak, kuku  kembali mempertegas  “Johan, kaupun punya nama China ya”…

Ya, aku orang Batak keturunan China...aku Lenchu boru Sinaga.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar