31 Jan 2012

Life is a journey not a destination #proverb


Menjadi kaya tidak pernah menjadi daftar keinginanku. Sejak kecil mamaku teramat sering mengucapkan kalimat ini “tahu diri ya kalian itu anak orang susah, jangan suka sok-sok berlagak seperti orang kaya”. Jadi menjadi kaya seolah adalah sebuah ‘ketidak mungkinan’ bagi kami. Kaya seperti sebuah kesombongan. Makanya sejak kecil kami sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan, apa adanya,tidak pernah maksa dan benar-benar terbiasa menikmati milik sendiri. 

Perjalanan hidupku, berumah tangga diusia muda, tidak pernah kuanggap sebagai kutukan. Karena dalam segala ketegaran tengkuk-ku dalam bersikap aku orang yang berkeyakinan:
selama kita mencukupi diri dengan apa adanya, maka kesusahan hanyalah masalah “keinginan”.

Terlepas dari semua dogma dan pengertianku soal menjadi kaya, ada satu hal yang merupakan ketidak-sengaan yang sebenarnya adalah curkat sedih seorang dosen. Tapi sampai hari ini kisah itu telah menjadi bagian dari paradigma ‘nasib’ yang aku anut.

 
1998. Masih dalam situasi krisis besar setelah penggulingan pemerintahan Orde Baru, bapak presiden Soeharto. Kerusuhan telah terjadi dengan hebatnya disemua lini kehidupan. 

Adalah seorang dosenku yang cantik, dengan tinggi 170cm. Kebetulan, ras batak dengan wajah kebule-bulean dan bertubuh proporsional ala model  tapi tetap berpenampilan simple dan bersahaja. Kami sebagai mahasiswa-nya sudah tau kalau bulan yang lalu Ibu Gultom ini baru saja melangsungkan pesta pernikahan di Sumatera.

Setelah bersalam-salam hangat dan sedikit intermezzo, dengan agak berat tapi tetap dengan nada bersemangat. Si Ibu ini tidak langsung masuk ke pokok pelajaran Bahasa Inggris kami, alih-alih dia malah curhat soal perjalanan pesta perkawinannya.

“Kebetulan suami saya anak tunggal”, awal kisahnya. “Jadi pihak keluarga mertua bermaksud mengadakan pesta  besar-besaran. Sudah sewa gedung, ketring, undang semua kerabat juga teman-teman mertua yang pengusaha-pengusaha China”. Aku tidak mendengar nada ‘pamer’ didalamnya. “Pakaian dan salon yang kami booking juga orang China, jujur kami lebih percaya dengan cara kerja mereka”. Kami menyimak cerita si Ibu dengan seksama.

“ Apa mau dikata, ternyata sejak semalam sudah terjadi kerusuhan. Penjarahan dimana-mana, jalan-jalan utama banyak ditutup. Semua orang mencongkel lumbung-lumbung dan banyak toko dijarah. Tapi kami tidak bisa mundur, jam 10 harus sudah siap digereja. Perias salon yang kami pesan tidak bisa datang, karena takut. Katanya banyak China-China yang dianiaya. Waduh... akhirnya saya sasak-an dengan salon seadaanya, orang batak... Aduh Tuhan, mau saya tampar rasanya, sakitnya bukan main. Tarik sana tarik sini... ah pokonya beda sekali-lah dengan cara kerja orang China”. Ini asli cerita Ibu Gultom, karena aku tidak biasa bersalon, jadi tidak terlalu paham bedanya, hehehe…  Sesaat kami terkekeh bersama.

“Baju pengantin yang dipesan juga tidak ada, akhirnya saya pakai yang seada-nya saja, mobil kawin yang sudah dipesan juga batal. Dan akhirnya kami beriringan dengan mobil seadanya, itu juga Puji Tuhan bisa berjalan, karena disebelah kanan-kiri, mata kepala saya melihat penjarahan dimana-mana”.
“Akhirnya kami sampai digereja, tapi sepi. Banyak tamu yang belum datang. Setelah pendeta memberkati kami, satu-satu datanglah teman mertua saya. Mereka datang dengan keadaan compang camping. ada yang datang dengan pakaian seadanya. Jadilah kami bertangis-tangisan", kisah si Ibu.

"Ada yang baru saja bangkrut hari itu, semua isi tokonya habis dalam hitungan detik. Ada yang dipaksa keluar dari rumahnya dan kendaraan-nya dibakar… Kamu bisa bayangin gak sih harga sebuah spare part?”, ujarnya sambil menjentikan jarinya. “Itu satu biji aja bisa ratusan ribu dan sekarang satu tokonya dijarah habis-habisan. Kamu bisa bayangkan pencarian seumur hidup orang hangus dalam hitungan detik, hasil keringat selama ini tidak bersisa sama sekali??”.

Zapp,,, seperti sebuah busa yang menyerap air dengan lembut, begitulah kisah si ibu  begitu mengena dihatiku. Semakin  memperdalam dogma ku tentang  ‘menjadi kaya’. Kisah ini  begitu kuat dan mengkristal dikepalaku sampai hari ini. Hidup ada perjalanan bukan tujuan semata... karena akan selalu ada syukur diatas syukur. :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar