Menjadi kaya tidak pernah menjadi
daftar keinginanku. Sejak kecil mamaku teramat sering mengucapkan kalimat ini “tahu diri ya kalian itu anak orang susah,
jangan suka sok-sok berlagak seperti orang kaya”. Jadi menjadi kaya seolah adalah sebuah ‘ketidak
mungkinan’ bagi kami. Kaya seperti sebuah kesombongan.
Makanya sejak kecil kami sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan, apa adanya,tidak
pernah maksa dan benar-benar terbiasa menikmati milik sendiri.
Perjalanan hidupku, berumah
tangga diusia muda, tidak pernah kuanggap sebagai kutukan. Karena dalam segala
ketegaran tengkuk-ku dalam bersikap aku orang yang berkeyakinan:
selama kita mencukupi diri dengan apa adanya, maka kesusahan hanyalah masalah “keinginan”.
selama kita mencukupi diri dengan apa adanya, maka kesusahan hanyalah masalah “keinginan”.
Terlepas dari semua dogma dan
pengertianku soal menjadi kaya, ada satu hal yang merupakan ketidak-sengaan
yang sebenarnya adalah curkat sedih seorang dosen. Tapi sampai hari ini kisah
itu telah menjadi bagian dari paradigma ‘nasib’ yang aku anut.
1998. Masih dalam situasi krisis besar
setelah penggulingan pemerintahan Orde Baru, bapak presiden Soeharto. Kerusuhan
telah terjadi dengan hebatnya disemua lini
kehidupan.
Adalah seorang dosenku yang cantik, dengan tinggi 170cm. Kebetulan, ras batak dengan wajah kebule-bulean dan bertubuh proporsional ala model tapi tetap berpenampilan simple dan bersahaja. Kami sebagai mahasiswa-nya sudah tau kalau bulan yang lalu Ibu Gultom ini baru saja melangsungkan pesta pernikahan di Sumatera.
Adalah seorang dosenku yang cantik, dengan tinggi 170cm. Kebetulan, ras batak dengan wajah kebule-bulean dan bertubuh proporsional ala model tapi tetap berpenampilan simple dan bersahaja. Kami sebagai mahasiswa-nya sudah tau kalau bulan yang lalu Ibu Gultom ini baru saja melangsungkan pesta pernikahan di Sumatera.
Setelah bersalam-salam hangat dan
sedikit intermezzo, dengan agak berat tapi tetap dengan nada bersemangat. Si Ibu ini tidak langsung masuk ke pokok
pelajaran Bahasa Inggris kami, alih-alih dia malah curhat soal perjalanan
pesta perkawinannya.
“Kebetulan suami saya anak
tunggal”, awal kisahnya. “Jadi pihak keluarga mertua bermaksud mengadakan pesta besar-besaran. Sudah sewa gedung, ketring, undang
semua kerabat juga teman-teman mertua yang pengusaha-pengusaha China”. Aku
tidak mendengar nada ‘pamer’ didalamnya. “Pakaian dan salon yang kami booking juga orang China, jujur kami
lebih percaya dengan cara kerja mereka”. Kami menyimak cerita si Ibu dengan
seksama.
“ Apa mau dikata, ternyata sejak
semalam sudah terjadi kerusuhan. Penjarahan dimana-mana, jalan-jalan utama banyak
ditutup. Semua orang mencongkel lumbung-lumbung dan banyak toko dijarah. Tapi kami tidak bisa mundur, jam
10 harus sudah siap digereja. Perias salon yang kami pesan tidak bisa datang, karena takut.
Katanya banyak China-China yang dianiaya. Waduh... akhirnya saya sasak-an dengan salon seadaanya, orang
batak... Aduh Tuhan, mau saya tampar rasanya, sakitnya bukan main. Tarik sana
tarik sini... ah pokonya beda sekali-lah dengan cara kerja orang China”. Ini
asli cerita Ibu Gultom, karena aku tidak biasa bersalon, jadi tidak terlalu paham
bedanya, hehehe… Sesaat kami terkekeh
bersama.
“Baju pengantin yang dipesan juga
tidak ada, akhirnya saya pakai yang seada-nya saja, mobil kawin yang sudah
dipesan juga batal. Dan akhirnya kami beriringan dengan mobil seadanya, itu juga
Puji Tuhan bisa berjalan, karena disebelah kanan-kiri, mata kepala saya melihat
penjarahan dimana-mana”.
“Akhirnya kami sampai digereja,
tapi sepi. Banyak tamu yang belum datang. Setelah pendeta memberkati kami,
satu-satu datanglah teman mertua saya. Mereka datang dengan keadaan compang
camping. ada yang datang dengan pakaian seadanya. Jadilah kami
bertangis-tangisan", kisah si Ibu.
"Ada yang baru saja bangkrut hari itu, semua isi tokonya habis dalam hitungan detik. Ada yang dipaksa keluar dari rumahnya dan kendaraan-nya dibakar… Kamu bisa bayangin gak sih harga sebuah spare part?”, ujarnya sambil menjentikan jarinya. “Itu satu biji aja bisa ratusan ribu dan sekarang satu tokonya dijarah habis-habisan. Kamu bisa bayangkan pencarian seumur hidup orang hangus dalam hitungan detik, hasil keringat selama ini tidak bersisa sama sekali??”.
"Ada yang baru saja bangkrut hari itu, semua isi tokonya habis dalam hitungan detik. Ada yang dipaksa keluar dari rumahnya dan kendaraan-nya dibakar… Kamu bisa bayangin gak sih harga sebuah spare part?”, ujarnya sambil menjentikan jarinya. “Itu satu biji aja bisa ratusan ribu dan sekarang satu tokonya dijarah habis-habisan. Kamu bisa bayangkan pencarian seumur hidup orang hangus dalam hitungan detik, hasil keringat selama ini tidak bersisa sama sekali??”.
Zapp,,, seperti sebuah busa yang
menyerap air dengan lembut, begitulah kisah si ibu begitu mengena dihatiku. Semakin memperdalam dogma ku tentang ‘menjadi kaya’. Kisah ini begitu kuat dan mengkristal dikepalaku sampai
hari ini. Hidup ada perjalanan bukan tujuan semata... karena akan selalu ada syukur diatas syukur. :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar