Masa aku kecil air tajin merupakan
makanan (atau minuman kah?? Hehehe) yang tidak bisa melulu dibilang makanan
orang susah. Biasanya air tajin ini kami nikmati bukan sebagai pengganti susu
atau kalsium sebangsanya tapi lebih seperti makanan selingan, sama juga dengan
beras aking.
Mamaku suka menjemur nasi yang tidak habis kami santap (kadang bisa juga nasi ini sudah basi tapi setahuku tidak begitu parah basinya) lalu kalau sudah kering akan digoreng sampai kering lalu disantap setelah dilumuri gula merah. Gula merah ini optional sih, karena aku bukan penyuka manis biasanya aku lebih suka ‘nasi kering’ goreng tok.
Oh ya, kami biasanya menyebut manakan ini “nasi kering”. Istilah nasi aking baru aku tau setelah masa-masa krisis moneter ditahun 1997-ke atas, dimana banyak masyarakat yang terpaksa makan makanan bebek –ternyata namanya aking-- ini.
Mamaku suka menjemur nasi yang tidak habis kami santap (kadang bisa juga nasi ini sudah basi tapi setahuku tidak begitu parah basinya) lalu kalau sudah kering akan digoreng sampai kering lalu disantap setelah dilumuri gula merah. Gula merah ini optional sih, karena aku bukan penyuka manis biasanya aku lebih suka ‘nasi kering’ goreng tok.
Oh ya, kami biasanya menyebut manakan ini “nasi kering”. Istilah nasi aking baru aku tau setelah masa-masa krisis moneter ditahun 1997-ke atas, dimana banyak masyarakat yang terpaksa makan makanan bebek –ternyata namanya aking-- ini.
Entah sadar atau tidak aku memang
sering menceritakan bagaimana enaknya air tajin ini, toh tanpa diberi gulapun
biasanya rasanya sudah nikmat, nah apalagi setelah ditambah gula, memang
rasanya hampir sama dengan susu tapi wanginya lebih khas. Dan dari beberapa
kali percakapan suamiku juga punya cerita sendiri soal rasa air tajin ini.
Sore itu sebelum berbenah rumah aku
menyuruh si kakak masak nasi, dan aku melihat dia mengerjakanya, setelahnya aku
mandi. Keluar dari kamar mandi suamiku tergeleng-geleng
sambil tertawa kecil kemudian memberi minum bayi Grace
“Kenapa dede?” kataku,
“Jane kasih air tajin” jawab si kakak
dengan sumringah.
Suamiku sambil mesem menjelaskan
“masak kakak masak air cucian beras terus dikasih adeknya, kata dia itu air
tajin”.
Walau melotot dan memperingatkan
bahwa tindakanya tidak tepat, aku tersenyum sendiri membayangkanya. Bisa
dibilang ini Kesalahan kami juga karena sering berceloteh tapi tidak
menjelaskan “prosesnya” tapi kemudian ada kebanggaanku, paling tidak si kakak
berusaha mencari tau walau dengan ‘caranya’ sendiri toh memang di masanya ini
"air tajin" bukan suatu yang familiar..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar