Belakangan ini saya
merasa punya syndrome amnesia mendekati
akut. Yach… thank God, ini masih termal
pendek, tapi tetap aja sangat menganggu. Dalam beberapa hal kelupaan saya
sempat membuat konflik yang cukup tajam dengan my hubby. Dan kesalahan saya adalah, ketika bermasalah dengan
seorang teman tidur, kebayang dunk mual-enegnya seperti apa? Emosi tingkat nasional-lah
pokonya, tingkat dewa ketinggian ah, hehehe... Banyak kali saya senewen sendiri
sambil nahan semburan kalimat. Nah lho, karena engga enak sama mertua yang ada
dirumah. Hihihi,,,
Setelah (saya dan
suami) berkali-kali mencoba mereview...
kenapa bisa jadi parah gini ya, apa masalah, apa sebab, apa musababnya? Tapi otak
saya tidak mampu menjangkau memory yang lebih jauh lagi. Lalu jawaban ini yang muncul: berawal sejak saya bekerja di perusahaan China. Hanya alasan ini
yang menurut saya paling relevan.
Bermodal keyakinan
kalau saya punya kemampuan dan semangat kerja yang tinggi, serta telah terbiasa
bekerja diperusahaan yang menganut etos kerja cukup tinggi. I am ready for all these...kata saya membatin. Tapi ternyata semuanya
berbeda 180°.
Ada teriakan-teriakan, yang isinya bukan sekedar perintah kerja, tapi ada makian, hinaan, celaan dll, adu domba, belum lagi tehnologi yang jauh dari kata cukup, transportasi menuju kerja, jam kerja dan segala system kerja yang berbeda.
Semua benar-benar membuat saya seperti ‘anak baru’ yang ‘baru magang’. Pegang ini salah, cara begini engga bisa, mau begitu sikon tidak mendukung. Yang pasti 99.9% selama bekerja, saya merasa menjadi manusia paling bodoh diperusahaan.
Ditambah lagi kepadatan jam kerja, membuat saya kemudian cuti dari kuliah. Maka demikianlah nasib 3 bulan saya ini. Seperti katak terjebak di dalam gentong. Dunianya hanyalah kantor 90%. Hmm... engga terjebak juga kali?, khan saya yang memilih bekerja disitu. Tanpa terlebih dahulu mendalami track record perusahaan-nya.
Dayly flow-nya adalah, pagi hari di-KRL (ekonomi pula): waw!!! Sikon bekerja; luar biasa!!! Jadwal pulang; hebat!!! (ada di blog bulan October 2011).
Ada teriakan-teriakan, yang isinya bukan sekedar perintah kerja, tapi ada makian, hinaan, celaan dll, adu domba, belum lagi tehnologi yang jauh dari kata cukup, transportasi menuju kerja, jam kerja dan segala system kerja yang berbeda.
Semua benar-benar membuat saya seperti ‘anak baru’ yang ‘baru magang’. Pegang ini salah, cara begini engga bisa, mau begitu sikon tidak mendukung. Yang pasti 99.9% selama bekerja, saya merasa menjadi manusia paling bodoh diperusahaan.
Ditambah lagi kepadatan jam kerja, membuat saya kemudian cuti dari kuliah. Maka demikianlah nasib 3 bulan saya ini. Seperti katak terjebak di dalam gentong. Dunianya hanyalah kantor 90%. Hmm... engga terjebak juga kali?, khan saya yang memilih bekerja disitu. Tanpa terlebih dahulu mendalami track record perusahaan-nya.
Dayly flow-nya adalah, pagi hari di-KRL (ekonomi pula): waw!!! Sikon bekerja; luar biasa!!! Jadwal pulang; hebat!!! (ada di blog bulan October 2011).
Kemudian 4 bulan saya
menganggur. Tanpa ada 1 manusia-pun yang selama ini saya kenal baik menyatakan
simpatik atau belas kasihan atau bahkan sekedar bilang ‘hai!!’. Yups,, I’ve been there for many times
actually.
Tapi ada beberapa yang saya anggap ‘orang-orang tulus’ yang sama sekali bukan golongan pengabai, kemudian kenyataan menjawab lain. Okey-okey, tidak ada indikasi untk membuat nasib saya terlihat sangat dramatis,, yeah, close it!! (blog bulan November 2011).
Tapi ada beberapa yang saya anggap ‘orang-orang tulus’ yang sama sekali bukan golongan pengabai, kemudian kenyataan menjawab lain. Okey-okey, tidak ada indikasi untk membuat nasib saya terlihat sangat dramatis,, yeah, close it!! (blog bulan November 2011).
Tapi intinya saya
belajar. Ternyata jika otak dibiarkan dalam kondisi ketakutan, serba salah dan tidak
dimaksimalkan maka besar kemungkinan penyakit amnesia akan segera menghampiri.
Jika otak di-relaksasi-kan dalam kata: menunggu dan berharap (walau waktu sudah menjawab), ternyata bisa membuat kita menjadi bodoh.
Jika otak tidak di upgrade dengan menerima tantangan yang lebih besar lagi, maka sebentar lagi kebodohan akan menjadi teman baik. Paling tidak itu yang saya rasakan belakangan ini.
Prinsip wait and see, yang sesungguhnya bukan paham saya. Malah membuat otak saya tumpul, kemudian mengelupaskan satu per satu memory lainya, yang -karena keterdesakan sikon- kurang saya prioritaskan.
Jika otak di-relaksasi-kan dalam kata: menunggu dan berharap (walau waktu sudah menjawab), ternyata bisa membuat kita menjadi bodoh.
Jika otak tidak di upgrade dengan menerima tantangan yang lebih besar lagi, maka sebentar lagi kebodohan akan menjadi teman baik. Paling tidak itu yang saya rasakan belakangan ini.
Prinsip wait and see, yang sesungguhnya bukan paham saya. Malah membuat otak saya tumpul, kemudian mengelupaskan satu per satu memory lainya, yang -karena keterdesakan sikon- kurang saya prioritaskan.
Sampai hari saya
belum benar-benar merasa pulih 100%. Tapi yang pasti, jauh lebih tenang. Karena semakin
saya menyadari kelemahan ini, saya datang pada suami dan mengakuinya. Maka bahunya
yang tersedia, dadanya yang lapang dan tanganya yang terbuka membuat saya tidak
takut dengan kelemahan ini.
Kemudian yang lebih saya butuhkan adalah kerendahan hati untuk mengakui-nya (berkali-kali) lagi dan kesadaran kalau saya butuh orang dalam kelemahan ini. And there he is <3.
Kemudian yang lebih saya butuhkan adalah kerendahan hati untuk mengakui-nya (berkali-kali) lagi dan kesadaran kalau saya butuh orang dalam kelemahan ini. And there he is <3.
Sebenarnya gw rada kurang setuju sama orang yang menganggap "orang pikun", katanya "pikun" itu selalu identik dengan orang tua.
BalasHapusTernyata tanpa kita sadari, "Pikun" itu tidak terlepas dari diri kita sendiri yang "membuatnya". Lho kok bisa ?
Jika orang beranggapan bahwa usia tidak muda lagi dan otak malas "berpikir" (terutama dalam hal angka) maka saat itu juga penyakin "pikun" akan dimulai ...