8 Feb 2012

Mencari Atik ke kota Garut


Salah satu perjalanan yang akan selalu aku kenang adalah; mencari Atik sampai ke Garut. Dengan berbekal motor butut yang kami sewa (bisa dibilang butut  karena sebagian organ vitalnya yang sudah tidak lagi berfungsi 100%), padahal kami akan menempuh perjalanan jauh. Starting dari Pulo Gadung, the way we stay in 2004, jam 9 pagi. Mengendarai Vespa tua lalu menyewa motor dekat rumah mama di Bintara-Bekasi Barat. Mulai bergerak sekitar jam 9.40-an. Sesuai prediksi kami, cuaca cerah tanpa ada panas menyengat.

Aku berkantor di daerah Cawang, makanya biasa melihat bus antar kota yang ke Garut. Sedikit berdiskusi dengan sopir beberapa waktu sebelumnya. “Mang, Jakarta-Garut bisa berapa jam?”. “Yah palingan 4-5 jam neng” jawab si mamang supir, “itu khan lewat tol?” tanyaku lagi. “Kalau lewat jalan biasa paling bisa mulur 1-2 jam lah” jawab supir yang sudah ekspert ini, dan menurut aku cukup masuk akal semua kalkulasi-nya. Toh di Jakarta juga jarak tempuh jalan tol dengan jalan umum engga beda-beda amat, kecuali masuk tol bayar  :p

Lalu, berbekal duit  100ribu perak, jaket satu saja, slayer, helm batok dan berkasutkan sandal swalau yang akhirnya bikin galau, aihhh.. 
Herannya waktu itu, suamiku yang biasanya selalu hapal dunia ‘perjalanan’, cuma manut saja dengan perhitungan ku soal waktu tempuh dengan si  sopir. Mungkin juga dia malas berargumen, atau malah dia ketohok salut (apa justru kesal) karena niat bertanggung jawabku yang berapi-api. *Asumsi,,,hmmm

Kami  melalui rute Cisarua, Bogor, Cianjur kemudian Cimahi dan sekitar jam 2-an sampai juga di Bandung. Menepi untuk makan siang disebuah restoran padang. Waktu berkaca, alamak… mukaku hitam mirip dakocan, ternyata debu dan knalpot benar-benar menampar sepanjang jalan tadi. Kota Bandung hujan sepanjang hari.

Setelah lama perjalanan. Terus bertanya dimana kota Garut selalu dijawab. “sudah dekat, sudah dekat”.  Aku mulai frustasi karena tidak juga melihat perbatasan. Sekitar maghrib, mungkin jam 6-an barulah kami melihat perbatasan kota Garut. Semangatku mulai sedikit  muncul.

Ternyata perbatasan awal Garut ini, masih sangat jauh dari ‘kota Garut’ yang sedang kami cari. Masih aku ingat, masuk pasar, keluar komplek, putar balik dan sebagainya.  Sampai akhirnya kami dikawal seorang tukang ojek menuju desa yang kami cari. Aku masih ingat juga patung macan yang harus kami lewati menuju desa yang kami cari. 

Ya Tuhan, pikiran kotor mulai menggeliat manakutkan. Seandainya aku atau suami dikeroyok atau dirampok ditempat ini, maka kami tidak akan punya kesempatan untuk lari. Selepas pasar dijalan besar tadi, selanjutnya jalanan selalu gelap dan gelap (padahal jalanannya cukup besar juga), tapi tidak ada lampu jalan sama sekali.

Ada hal yang menarik dari perjalanan  kami (sedikiiit sih). Inilah Indonesia yang ramah, dari ujung ke ujung kami hanya terus  bertanya pertanyaan yang sama “rumah teh Atik yang kakaknya guru SD XX dimana ya?”, dan akhirnya kami tiba tepat didepan rumah orang tua Atik, jam 8.30 malam.

Atik adalah salah satu TKW yang ada dipenampungan kantor aku bekerja. Belakangan geliatnya memang sudah tidak mengenakkan. Sponsornya sudah memperingatkan aku agar berhati-hati, anak ini bisa saja kabur. Bapak  bos juga sudah keras mewanti-wanti waktu aku mau ‘meminjam’ Atik bekerja sementara dirumahku, sambil menunggu calling visanya dari Malaysia. Suamiku juga sempat agak ragu dengan pilihanku. Tapi seperti biasa, dasar pemikiranku adalah ‘teman will not cheat at all... 

Oh ya,  sekalipun mereka TKW, aku selalu memperlakukan mereka seperti teman. Dan Atik adalah salah satu yang kuanggap  ‘teman –ter– baik’. Aku tidak pernah bersikap seperti ‘bos’ terhadap mereka. Sikap ‘jaga image’ biasanya hanya akan aku tujukan sewaktu menerima mereka di pendaftaran awal atau saat pembagian tugas. Selanjutnya we’re just friend. My view “they are just human, totally same as me”.  Tapi dihari belum genap seminggu, Atik kabur dari rumahku.  Inilah dasarnya aku mau berkerja keras mengejar Atik sampai ke kampung  halamanya, berfikir juga tentang kemungkinan gagal. Tapi menurut aku --karena memang  sebelumnya  sudah diwanti-wanti-- maka aku perlu mempertanggung jawabkan tindakanku.

Sudah aku duga tapi tidak berharap ini terjadi. Atik tidak ada dirumah keluarganya. Tapi pihak keluarga mengakui kalau Atik datang 2-3 hari yang lalu, dan rencananya mau merantau  lagi ke tanah Sumatera. Ibunya terus menangis, membayangkan perjalanku dan kerepotan  yang sudah dibuat oleh putrinya yang kata si ibu memang labil luar biasa. Semua hal diinginkan, tapi sebentar kemudian berubah hati. Ku salam anak Atik yang masih 3 tahunan, membuat sedikit rasa  kecewaku  berkurang.  Selalu akan  ada alasan untuk segala sesuatu, batinku.
Tidak sampai 30 menit kami berpamitan pulang. Sempat disuruh menginap, tapi aku merasa canggung.

Perjalanan pulang ternyata jauh lebih menyakitkan jiwa dan raga. Cuaca semakin mengigit kulit, tulang terasa ngilu. Perut  lapar tak lagi kurasa, yang ada diangan-anganku hanya kasur dan bantal. Setiap melihat wartel ingin rasanya bertelephone ke rumah mama, menanyakan keadaan anak-anakku. Tapi kok rasanya dramatis sekali!  Walaupun  jujur, perjalanan itu memang terasa begitu dramatis buat aku. Hujan angin terus membasahi  kota Garut yang gulita. Plank menunjukan, berbelok kiri arah kampung Atik dan Tasikmalaya untuk rute lurusnya.

Suamiku mulai gelisah melihat aku yang terus saja menggigil karena dingin, “kamu naik bus aja ke Cawang” katanya. Aku malah sewot, bagaimana bisa aku nyaman dengan bus sementara dia akan bermotor-ria menerobos malam yang dingin dan basah sendirian. “Engga lah”, bentak ku kesal. Melihat aku yang terkantuk-kantuk suamiku kembali memberikan penawaran yang sama berkali-kali. 

Wajar dia panik, digelap malam dan lampu sorot motor kami yang agak meredup  membuat kami harus terus waspada, karena tidak ada lagi kendaraan kecil yang berseliweran di jalan. Hampir sepanjang jalanan isinya truk, container dan mobil-mobil box pengangkut barang. Aku yang  tidak kuat menahan kantuk, membuat  suamiku harus sering-sering mengguncang tanganku.

Daerah Rancaekek, hanya terlihat hamparan sawah dan jalan besar (atau karena gelapkah??). Sempat mau masuk jalan tol di daerah Sumedang. Beruntung polisinya baik dan hanya menunjukan kami  arah jalan raya. Bandung lautan hujan sejak siang tadi. Dan aku tidak mau kalah tapi suamiku memaksa untuk mendarat sebentar dan makan nasi goreng. 

Hujan makin deras, kakiku terasa kebas karena dingin. Terpaksa makan (juga) sambil berteduh didepan sebuah bengkel, tidak kelihatan ada tanda-tanda manusia beraktifitas di malam menjelang pagi. Setiap kali melihat bus dan truk hati terasa perih, iyalah… seandainya naik mobil pasti sejam lagi kami sudah ada didaerah Cawang. Tapi sama sekali tidak bisa membayangkan, aku nyaman sendirian,, ahhh.. berrr… dingin.

Melawan hujan (aku terus memaksa), kami menerobos pagi menjauhi kota Bandung yang kembang. Dingin membuatku memohon pada suami agar kami berjalan dibelakang truk atau kontainer yang mengeluarkan asap knalpot panas. Mungkin ini hal tertolol yang selalu kusyukuri sepanjang  malam itu, mencari asap knalpot. Karena tidak tahan dingin,,, hiks hiks.

Jam 3-an kurang, sejuta bunga terasa bertaburan didada. Melihat Kebon Raya Bogor. Never been this love of Bogor actually, sekitar jam  4 sudah ku lihat keramaian pasar Induk Kramat Jati. Berlanjut sampai Cawang, ternyata eh tenyata dijam biasanya aku masih terlelap dalam mimpi sudah banyak orang yang berburu bus untuk memulai aktifitas bekerja. What a wonderful world, batinku…

Sekitar jam 5 pagi, suara azdan masih menggema, jalan menuju rumah mama yang kampung dan bertanah merah belum terlihat bentuknya. Jantungku yang terus menahan degup sepanjang malam akhirnya bisa berdetak normal, (mati suri dong, hehehe..). Bahagia rasanya bisa melepas lelah yang sudah diujung ubun-ubun bersama suami, puas rasanya menjejakan kaki ketanah becek khas daerah kami. Senangnya melihat Bekasi di pagi jam 5, setelah lebih dari 20 jam kami duduk dengan masgul di motor, dengan hasil  nol besar!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar