Salah satu perjalanan yang
akan selalu aku kenang adalah; mencari Atik sampai ke Garut. Dengan berbekal
motor butut yang kami sewa (bisa dibilang butut karena sebagian organ vitalnya yang sudah
tidak lagi berfungsi 100%), padahal kami akan menempuh perjalanan jauh. Starting dari Pulo Gadung, the way we stay in 2004, jam 9 pagi. Mengendarai
Vespa tua lalu menyewa motor dekat rumah mama di Bintara-Bekasi Barat. Mulai bergerak
sekitar jam 9.40-an. Sesuai prediksi kami, cuaca cerah tanpa ada panas
menyengat.
Aku berkantor di daerah
Cawang, makanya biasa melihat bus antar kota yang ke Garut. Sedikit berdiskusi
dengan sopir beberapa waktu sebelumnya. “Mang, Jakarta-Garut bisa berapa jam?”.
“Yah palingan 4-5 jam neng” jawab si mamang supir, “itu khan lewat tol?” tanyaku
lagi. “Kalau lewat jalan biasa paling bisa mulur 1-2 jam lah” jawab supir yang
sudah ekspert ini, dan menurut aku
cukup masuk akal semua kalkulasi-nya. Toh di Jakarta juga jarak tempuh jalan
tol dengan jalan umum engga beda-beda amat, kecuali masuk tol bayar :p
Lalu, berbekal duit 100ribu perak, jaket satu saja, slayer, helm batok dan berkasutkan
sandal swalau yang akhirnya bikin galau, aihhh..
Herannya waktu itu, suamiku yang biasanya selalu hapal dunia ‘perjalanan’, cuma manut saja dengan perhitungan ku soal waktu tempuh dengan si sopir. Mungkin juga dia malas berargumen, atau malah dia ketohok salut (apa justru kesal) karena niat bertanggung jawabku yang berapi-api. *Asumsi,,,hmmm
Herannya waktu itu, suamiku yang biasanya selalu hapal dunia ‘perjalanan’, cuma manut saja dengan perhitungan ku soal waktu tempuh dengan si sopir. Mungkin juga dia malas berargumen, atau malah dia ketohok salut (apa justru kesal) karena niat bertanggung jawabku yang berapi-api. *Asumsi,,,hmmm
Kami melalui rute Cisarua, Bogor, Cianjur kemudian
Cimahi dan sekitar jam 2-an sampai juga di Bandung. Menepi untuk makan siang disebuah
restoran padang. Waktu berkaca, alamak… mukaku hitam mirip dakocan, ternyata
debu dan knalpot benar-benar menampar sepanjang jalan tadi. Kota Bandung hujan sepanjang
hari.
Setelah lama perjalanan. Terus
bertanya dimana kota Garut selalu dijawab. “sudah dekat, sudah dekat”. Aku mulai frustasi karena tidak juga melihat
perbatasan. Sekitar maghrib, mungkin jam 6-an barulah kami melihat perbatasan kota
Garut. Semangatku mulai sedikit muncul.
Ternyata perbatasan awal Garut
ini, masih sangat jauh dari ‘kota Garut’ yang sedang kami cari. Masih aku ingat,
masuk pasar, keluar komplek, putar balik dan sebagainya. Sampai akhirnya kami dikawal seorang tukang
ojek menuju desa yang kami cari. Aku masih ingat juga patung macan yang harus
kami lewati menuju desa yang kami cari.
Ya Tuhan, pikiran kotor mulai menggeliat manakutkan. Seandainya aku atau suami dikeroyok atau dirampok ditempat ini, maka kami tidak akan punya kesempatan untuk lari. Selepas pasar dijalan besar tadi, selanjutnya jalanan selalu gelap dan gelap (padahal jalanannya cukup besar juga), tapi tidak ada lampu jalan sama sekali.
Ya Tuhan, pikiran kotor mulai menggeliat manakutkan. Seandainya aku atau suami dikeroyok atau dirampok ditempat ini, maka kami tidak akan punya kesempatan untuk lari. Selepas pasar dijalan besar tadi, selanjutnya jalanan selalu gelap dan gelap (padahal jalanannya cukup besar juga), tapi tidak ada lampu jalan sama sekali.
Ada hal yang menarik dari
perjalanan kami (sedikiiit sih). Inilah
Indonesia yang ramah, dari ujung ke ujung kami hanya terus bertanya pertanyaan yang sama “rumah teh Atik
yang kakaknya guru SD XX dimana ya?”, dan akhirnya kami tiba tepat didepan
rumah orang tua Atik, jam 8.30 malam.
Atik adalah salah satu
TKW yang ada dipenampungan kantor aku bekerja. Belakangan geliatnya memang
sudah tidak mengenakkan. Sponsornya sudah memperingatkan aku agar berhati-hati,
anak ini bisa saja kabur. Bapak bos juga
sudah keras mewanti-wanti waktu aku mau ‘meminjam’ Atik bekerja sementara dirumahku,
sambil menunggu calling visanya dari
Malaysia. Suamiku juga sempat agak ragu dengan pilihanku. Tapi seperti biasa, dasar
pemikiranku adalah ‘teman will not cheat
at all’...
Oh ya, sekalipun mereka TKW, aku selalu memperlakukan mereka seperti teman. Dan Atik adalah salah satu yang kuanggap ‘teman –ter– baik’. Aku tidak pernah bersikap seperti ‘bos’ terhadap mereka. Sikap ‘jaga image’ biasanya hanya akan aku tujukan sewaktu menerima mereka di pendaftaran awal atau saat pembagian tugas. Selanjutnya we’re just friend. My view “they are just human, totally same as me”. Tapi dihari belum genap seminggu, Atik kabur dari rumahku. Inilah dasarnya aku mau berkerja keras mengejar Atik sampai ke kampung halamanya, berfikir juga tentang kemungkinan gagal. Tapi menurut aku --karena memang sebelumnya sudah diwanti-wanti-- maka aku perlu mempertanggung jawabkan tindakanku.
Oh ya, sekalipun mereka TKW, aku selalu memperlakukan mereka seperti teman. Dan Atik adalah salah satu yang kuanggap ‘teman –ter– baik’. Aku tidak pernah bersikap seperti ‘bos’ terhadap mereka. Sikap ‘jaga image’ biasanya hanya akan aku tujukan sewaktu menerima mereka di pendaftaran awal atau saat pembagian tugas. Selanjutnya we’re just friend. My view “they are just human, totally same as me”. Tapi dihari belum genap seminggu, Atik kabur dari rumahku. Inilah dasarnya aku mau berkerja keras mengejar Atik sampai ke kampung halamanya, berfikir juga tentang kemungkinan gagal. Tapi menurut aku --karena memang sebelumnya sudah diwanti-wanti-- maka aku perlu mempertanggung jawabkan tindakanku.
Sudah aku duga tapi tidak
berharap ini terjadi. Atik tidak ada dirumah keluarganya. Tapi pihak keluarga
mengakui kalau Atik datang 2-3 hari yang lalu, dan rencananya mau merantau lagi ke tanah Sumatera. Ibunya terus menangis,
membayangkan perjalanku dan kerepotan yang sudah dibuat oleh putrinya yang kata si
ibu memang labil luar biasa. Semua hal diinginkan, tapi sebentar kemudian
berubah hati. Ku salam anak Atik yang masih 3 tahunan, membuat sedikit rasa kecewaku berkurang. Selalu akan ada alasan untuk segala sesuatu, batinku.
Tidak sampai 30 menit
kami berpamitan pulang. Sempat disuruh menginap, tapi aku merasa canggung.
Perjalanan pulang
ternyata jauh lebih menyakitkan jiwa dan raga. Cuaca semakin mengigit kulit, tulang
terasa ngilu. Perut lapar tak lagi
kurasa, yang ada diangan-anganku hanya kasur dan bantal. Setiap melihat wartel
ingin rasanya bertelephone ke rumah mama, menanyakan keadaan anak-anakku. Tapi
kok rasanya dramatis sekali! Walaupun jujur, perjalanan itu memang terasa begitu dramatis
buat aku. Hujan angin terus membasahi kota Garut yang gulita. Plank menunjukan,
berbelok kiri arah kampung Atik dan Tasikmalaya untuk rute lurusnya.
Suamiku mulai gelisah
melihat aku yang terus saja menggigil karena dingin, “kamu naik bus aja ke
Cawang” katanya. Aku malah sewot, bagaimana bisa aku nyaman dengan bus
sementara dia akan bermotor-ria menerobos malam yang dingin dan basah
sendirian. “Engga lah”, bentak ku kesal. Melihat aku yang terkantuk-kantuk
suamiku kembali memberikan penawaran yang sama berkali-kali.
Wajar dia panik, digelap malam dan lampu sorot motor kami yang agak meredup membuat kami harus terus waspada, karena tidak ada lagi kendaraan kecil yang berseliweran di jalan. Hampir sepanjang jalanan isinya truk, container dan mobil-mobil box pengangkut barang. Aku yang tidak kuat menahan kantuk, membuat suamiku harus sering-sering mengguncang tanganku.
Wajar dia panik, digelap malam dan lampu sorot motor kami yang agak meredup membuat kami harus terus waspada, karena tidak ada lagi kendaraan kecil yang berseliweran di jalan. Hampir sepanjang jalanan isinya truk, container dan mobil-mobil box pengangkut barang. Aku yang tidak kuat menahan kantuk, membuat suamiku harus sering-sering mengguncang tanganku.
Daerah Rancaekek, hanya
terlihat hamparan sawah dan jalan besar (atau karena gelapkah??). Sempat mau
masuk jalan tol di daerah Sumedang. Beruntung polisinya baik dan hanya menunjukan
kami arah jalan raya. Bandung lautan
hujan sejak siang tadi. Dan aku tidak mau kalah tapi suamiku memaksa untuk
mendarat sebentar dan makan nasi goreng.
Hujan makin deras, kakiku terasa kebas karena dingin. Terpaksa makan (juga) sambil berteduh didepan sebuah bengkel, tidak kelihatan ada tanda-tanda manusia beraktifitas di malam menjelang pagi. Setiap kali melihat bus dan truk hati terasa perih, iyalah… seandainya naik mobil pasti sejam lagi kami sudah ada didaerah Cawang. Tapi sama sekali tidak bisa membayangkan, aku nyaman sendirian,, ahhh.. berrr… dingin.
Hujan makin deras, kakiku terasa kebas karena dingin. Terpaksa makan (juga) sambil berteduh didepan sebuah bengkel, tidak kelihatan ada tanda-tanda manusia beraktifitas di malam menjelang pagi. Setiap kali melihat bus dan truk hati terasa perih, iyalah… seandainya naik mobil pasti sejam lagi kami sudah ada didaerah Cawang. Tapi sama sekali tidak bisa membayangkan, aku nyaman sendirian,, ahhh.. berrr… dingin.
Melawan hujan (aku terus memaksa),
kami menerobos pagi menjauhi kota Bandung yang kembang. Dingin membuatku
memohon pada suami agar kami berjalan dibelakang truk atau kontainer yang
mengeluarkan asap knalpot panas. Mungkin ini hal tertolol yang selalu kusyukuri
sepanjang malam itu, mencari asap
knalpot. Karena tidak tahan dingin,,, hiks hiks.
Jam 3-an kurang, sejuta
bunga terasa bertaburan didada. Melihat Kebon Raya Bogor. Never been this love of Bogor actually, sekitar jam 4 sudah ku lihat keramaian pasar Induk Kramat Jati.
Berlanjut sampai Cawang, ternyata eh tenyata dijam biasanya aku masih terlelap
dalam mimpi sudah banyak orang yang berburu bus untuk memulai aktifitas
bekerja. What a wonderful world, batinku…
Sekitar jam 5 pagi, suara
azdan masih menggema, jalan menuju rumah mama yang kampung dan bertanah merah
belum terlihat bentuknya. Jantungku yang terus menahan degup sepanjang malam
akhirnya bisa berdetak normal, (mati suri dong, hehehe..). Bahagia rasanya bisa
melepas lelah yang sudah diujung ubun-ubun bersama suami, puas rasanya menjejakan
kaki ketanah becek khas daerah kami. Senangnya melihat Bekasi di pagi jam 5,
setelah lebih dari 20 jam kami duduk dengan masgul di motor, dengan hasil nol besar!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar