19 Apr 2011

Daddy'z

Kebodohan yang tidak akan pernah gue sesali adalah, menikah muda. Menikah dengan orang yang waktu itu juga gue gak yakin cinta atau tidak. Menikah dengan orang yang kerjaanya lagi gak jelas. Cuma 1 hal yang gue pegang kuat waktu itu. Gue satu iman sama dia, soal yang lain will see latter lah… kyaaa gila khan, so bukan contoh yang baik buat diikutin.
Ternyata, menikah muda gak seseram  yang digambarkan iklan-iklan, tipi-tipi sama pelem-pelem... Life is a choise, tapi gue juga gak  bilang ini mudah… Bukan perkara enteng, tapi gue selalu pegang keyakinan kalau ini bukan akhir dari dunia. Bukan banget!!!
Soal cemburu, ngatur,  maksa, ego… gue sih tidak langsung menganggap ini adalah 'tulah menikah muda'. Toh diusia berapapun semua itu adalah bagian dari karakter setiap orang. Semua urusan karakter dan kebiasaan jadi masalah??,, ya iya lah, jangankan sama orang lain, adik-kakak aja yang sudah hidup berdampingan bertahun-tahun masih bisa gak cocok. Orang tua aja yang sudah jelas-jelas berkorban buat kita, masih suka kita bantah.. So, buat gue waktu itu soal persepsi bukan harga mati.
Tapi dari pertama menikah, yang gue sangat tekankan sama suami gue  adalah, I am a woman with a strong character. Gue punya batasan sendiri!  so apapun yang terjadi antara kita, gue akan tetap jadi gue, gue yang punya pendapat, gue yang dominan (hehehe..penyakit nich).. intinya gue akan tetap sound my soul..:p
Gue tipikal orang yang dominan, gue gak suka dipaksa. walaupun pada dasarnya gue suka dengan aturan. Catet: aturan yang jelas, pasti, logis dan fair.. Keras kepala, pembangkang (gue suka aja  melawan arus), amat sangat tidak sabar, dan temperamen adalah masalah khas gue.. Dari sejak sekolah pun kalau gue marah gue suka banting-banting... This is really Mawar’s disease.. Oh ya, bawel dan sebangsanya itu... gue bangets.. *pake makser anti radiasi ah.
Suami gue, pendiam, sabar, banyak aturan, asal manut, skeptic, agak-agak sinis, pencemburu tapi pencinta sejati.. Tapi secara keseluruhan, orang kenal suami gue sebagai orang pendiam.
Tahun-tahun pertama pernikakan muda. Khas dengan permasalahan cemburu dan financial. Tapi honestly soal financial gue orang yang sangat open minded. Artinya, gue gak ngarep suami gue jadi jutawan. Asal dia kerja dan ada hasil, walaupun sedikit... enough banget buat gue.  

So, masalah 'pasti' kita dulu adalah kecemburuan suami, dan sifat gue yang gampang banget kesulut emosi sama tetangga. Jadi pada mulanya gue lebih banyak bentrok sama tetangganya daripada sama suami..hehehe :p
Ada satu prinsip suami yang mulanya bikin gue mendelik. “Ketika menikah, seharusnya seorang laki-laki  mencintai istrinya lebih dari pada mencintai anak-anaknya”. Waktu gue tanya kenapa gitu, jawabanya masuk akal sekali sih. “Karena istri adalah teman tua sampai mati, sedangkan anak-anak akan menjalani hidupnya sendiri ketika dewasa". "Anak cuma titipan sampai dia bisa memilih hidupnya sendiri".
  
Prinsip yang 180⁰ beda dengan prinsip kita, yang  asli dari Sumatera Utara. Yang bilang kalau “anak adalah harta ku”.
Tahun ke-3 pernikahan. Kondisi financial kita tambah carut marut. Suami totally jobless. Sempet sih ikut-ikutan jadi petinju professional, tapi kondisi ekonomi yang model gini bikin keyakinan kita kisut. Makanya, dikubur sudah mimpinya menjadi petinju professional sejati.
Seinget gue waktu itu masih minum pil KB sebagai alat kontasepsi. Juga masih menyusui bayi pertama, tapi ternyata gue hamil. Sejak telat bulan pertama, memang sempat feeling so bad. Tapi mengingat gue emang dari keturunan subur mungkin-mungkin aja pikir gue,, Lalu sampai kemudian kehamilan ini membesar, gue gak pernah secara khusus melakukan test kehamilan.

Kondisi kerohanian pun sedang mandek. Ada saat gue bener-bener merasa bahwa Tuhan itu cuma isapan jempol belaka. Pendeta-pendeta munafik, dan hidup ini engga adil sama sekali. Kondisi hamil bikin gue tambah illfeel. Sumpah semuanya terasa sangat-amat menjemukan. 

Tapi gue inget waktu itu. Bokap gue, yang sejak gue merit gak pernah lagi ngobrol sama gue, sempat berucap “semoga anakmu laki-laki”... Itu kemudian seperti suntikan kecil buat memompa semangat gue yang udah goyah banget itu.. Yah at list, ada secuil harapan diantara semua kejemuan ini.
Sepanjang keputus-asaan gue saat itu, suami gue gak bisa ngomong apa-apa. Yang dia lakukan saat itu cuma berdoa buat gue tiap malam, sambil menumpangkan tangan. Sering juga sih gue kebangunan waktu dia lagi doa sambil nangis sama Tuhan, dan tanganya diatas kepala gue. Tapi gue gak terenyuh tuh.. gue masih marah sama Tuhan.
Tibalah saatnya melahirkan anak gue yang ke-2. Sepanjang kehamilan ini, emang gue dan suami cuma punya kegiatan industry rumah tangga menjahit. So, kebanyakan aktifitas gue ya duduk. 

Mulai subuh gue udah mulai ngerasin kontraksi perlahan, tapi gue pikir better pergi setelah lebih menguat. Makanya pagi itu aktifitas gue masih biasa aja. Pagi-pagi nyuci, masak, jahit-menjahit dan tetek bengek lainya. Menjelang mahgrib barulah kita pergi kerumah bidan yang ditunjuk posyandu. Karena waktu itu kita masuk dalam golongan keluarga miskin, makanya pergi ke bidan yang pelayanan di posyandu kita.
Sampai jam 11 malam pembukaan engga ada kemajuan, tapi kontraksi sudah makin jadi. Jam 9 malam ada ibu-ibu lain yang masuk dan setelah jalan-jalan sebentar jam 12an kurang dia melahirkan.. Walaaah, perasaan gue tambah desperado. Suami gue tetep ada disamping gue, dia peganging tangan gue terus sambil ngingetin buat berdoa dan berdoa. 

Jam 1 atau 2 karena kelelahan, gue sempet ngucap sama laki gue “gue loncat ya dari tempat tidur”… Dia terus nyemangatin dengan terpaksa, karena muka dia sendiri udah kelelahan. Karena sepanjang dan sejak  gue masuk ruang bersalin dia selalu ada disamping gue.
Jam 3 dicoba lagi. Kata bidan pembukaan  gak ada kemajuan juga, padahal sejak jam 12 tadi udah masuk pembukaan 5. Posisi gue tiduran, karena si bidan juga mulai kecapean. Dia bilang sama laki gue, “kuat lihat darah khan, bantu saya dorong ya?”. Tanpa ada jawaban, then posisinya adalah suami gue mendorong perut gue dari posisi atas disamping kepala gue.
Jam 5, gue denger si bidan bisik-bisik sama suaminya (dia gak punya assistant). Terus nelepon temennya yang bidan juga. Beberapa saat kemudian, dipeganglah gue oleh 3 orang. 2 orang disamping kepala gue dan 1 bidan dekat kaki gue. Pun tidak jua ada hasil. 

Setelah bisik-bisik dengan temannya si bidan sounding ke kita, “kalau sampai jam 7 nanti tidak ada kemajuan dita kirim ke RS. Pasar Rebo ya”. Tapi itulah hebatnya bidan, dan salah satu alasan kenapa gue gak terlalu percaya sama yang namanya operasi sesar. Menurut gue, sesar itu indikasi medisnya palingan 10% selebihnya adalah masalah kenyamanan hubungan pasutri... atau pinter-pintenya dokter. *Opini gue lho,,, :p
Jam 7, sakitnya tambah luar biasa. Dan seperti sakit yang gue rasa, gue yakin kalau suami gue juga mengalami hal yang sama, karena dia terus disamping gue. Sepupu dan adik gue yang lagi nunggu diteras mulai pada ketakutan sambil nangis. Belum juga ada perkembangan. Lalu si bidan bilang, “kalu bisa sih jangan sampai kerumah sakit lah, kamu sudah berjuang dari semalam mending kita coba lagi ya??”.
Jam 9, dari luar  kedengaran suara ribut-ribut. Suara yang familiar banget buat gue. Bokab gue lagi ngomel-ngomel sama adik gue yang ada didepan. Juga sembari ngomelin tukang bajaj yang gak tau tempat itu. Gue nich anak kesayangan bapak sejak kecil, makanya tabiat beliau hampir 90% turun sama gue. Tapi gue menikah dengan suami gue tanpa restu beliau. Makanya suara ngomelnya itu kaya ngasih gue semangat baru. 

Entah bagaimana ceritanya, tepat bapak masuk kamar bersalin bayi gue lahir. Laki-laki 4kg. Bapak masuk bahkan keadaan gue masih berdarah-darah, dia elus kepala gue sebentar, berdoa lalu pergi kegereja. What amazing moment,,, kalau gue inget-inget lagi. Ternyata soul gue tuch sama bapak nyatu, bahkan anak yang gue lahirkan ini karakternya hampir gue banget... yeah.
Sepanjang kehamilan sampai kelahiran anak ke-2 gue itulah gue seperti bercermin. Siapakah yang bisa mencintai gue seperti ini? Siapakah yang akan tahan dengan semua keegoan gue?. Cuma suami gue lah, orang yang bisa menerima gue 100% walau kita gak selalu sepaham.
Banyak kejadian selalu membangkitkan karakter asli seorang Mawar. Lu jual gue beli, lu tereak gue tereak, lu tabok  gue tendang... kurang lebih model gitulah gaya gue.
Tapi suami gue tanpa berusaha menggurui, dia selalu bimbing gue untuk membenahi karakter. Dalam setiap kejadian dia tetap ada disamping gue, walaupun dalam kondisi dimana gue yang bikin gara-gara. Lagi-lagi tanpa menggurui, dia ngajarin gue untuk “mencoba merasakan posisi orang lain”...
Now. Gue secara pribadi merasa menjadi pribadi yang lebih baik, percaya diri dan optimis... Yach walau masih banyak yang harus dibenahi lagi. Tapi gue merasa, “menikah telah menjadikan gue pribadi yang lebih baik,, jauh lebih baik”. Semua luka, sakit, kemarahan yang dulu suka tiba-tiba datang dan bikin gue singit, sekarang akan gue ceritakan sama suami gue.  

Even jika sekarang dunia menolak gue. Gue udah tau harus kemana. Nyokab gue yang sepanjang hidup gue, gue merasa dia tidak pernah melihat satu kebaikan pun pada gue, sering bikin gue mimpi nangis karena ditolak. Sekarang dalam mimpi pun gue akan cari suami gue buat cerita… ini real.
Isn’t it call soulmate?? I said yes.
My husband is my soul, he’s me. Dia yang membimbing gue untuk makin cinta Tuhan, dia buat gue makin sayang sama keluarga, dia bikin gue merasa berharga dan penting. Dia ngajarin gue untuk waspada (buat yang ini kita masih kontra, hehe..), dia yang membangkitkan mimpi-mimpi yang dulu takut gue ucapin. Malahan sekarang mimpi gue makin tinggi, karena dia mau nemenin gue mimpi sampai kelangit. Sekarang gue bebas buat mengucapkan semua keinginan, semua hayal semua iman... Pokoknya, dia yang pasti ada dalam semua harap gue.
Dia, my lovely husband... Monang Siregar <3 <3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar