20 Apr 2011

Bapak

Bapak saya itu orang yang skeptis, sinis, galak dan blak-blakan. Pokoknya sangat tidak menyenangkan. Begitulah saya menilai dia sepanjang diusia menjelang remaja. Dia bakal tega marahin teman atau tetangga yang bikin salah. Aduhh,,, pokonya bikin malu banget. 

Suatu ketika kakak saya bolos sekolah, dan ketika datang kerumah dibawanyalah salah satu temanya, berawal dari pertanyaan ringan. Entah gimana mulanya bapak ujug-ujug menuduh (walaupun menurut kami siy mungkin-mungkin aja), kalau dia adalah teman yang ngajakin kakak saya cabut dari sekolah. Dimarahilah anak itu, sampai disuruh pulang dan belajar sama orangtuanya dulu. Konyol khan???
Ada pula kisah sampah yang sembarangan dibuang orang ke got, dan tempat sampah yang udah penuh. Sebagai ketua RK dan memang bapak orangnya rajin, kemudian dia membersihkan sampah itu. Setelah bersih dibuatnyalah tulisan dipapan, “dilarang buang sampah disini kecuali anjing”. OMG, mama juga melotot sambil marah-marah, kami yang tidak berani protes ya Cuma bisa bergunjing dikamar. Keterlaluan!!
Suatu ketika saat sudah menikah, setelah temperamen saya mereda saya bertanya pada suami saya

Aku marahnya kaya bapak ya?”

Banget, kamu itu pesis sama amang”

Jawaban itu tidak coba saya debat, tapi cukup menjadi cermin kecil buat saya. Saya ini kesayangan bapak (entah dari mana awal kalimat itu), yang pasti sejak saya kecil sayalah yang digelari ‘kedan-kedannya’ bapak. Dan karena banyaknya kesamaan karakter kami, persinggungan kami jauh lebih tinggi dibanding dengan saudara-saudara yang lain.  Diawal tahun baru ditahun sekian, menjelang kami masuk SMP kami membuat perjanjian dengan bapak agar tidak lagi main tangan dalam menyelesaikan masalah.    

Oh ya, sejak kecil kami termasuk biasa dengan hukuman pukulan. Baik dengan fisik langsung juga dengan alat, dan karena memang itu terjadi hampir tiap hari, kami sebagai anak-anak tidak merasa itu adalah bentuk penganiayaan.
Tapi perjanjian itu tidak pernah berlaku buat saya. Hampir setiap bulan saya masih kena pukulan fisik. Sampai pada suatu klimaks ketika saya kelas 3 SMA. Kami ribut besar lalu bapak menampar dan mendorong saya ke dinding kamar. Karena memang dinding kamar kami hanya triplek, maka saya jatuh terpental kebelakang. 

Saya ingat sesudahnya saya bagun, dan saya tunjuk mukanya “inget ya, ini terakhir kali lu mukul gue, dan inget cuman gue satu-satunya perempuan batak yang bisa digebukin  bapaknya dan bisa maafin” kalimat saya dalam geram yang menyala.
Sempat saya merasa luka batin yang dalam karena semua sikap bapak. Sempat disatu masa saya berdoa supaya bapak lebik baik mati saja. Selalu ada saat dimana saya berpikir kalau bapak adalah manusia paling jahat didunia. Makanya seumur hidup saya 'menajiskan' laki-laki batak dalam list pacar.

Ketika menikah dan punya anak, orang yang selalu saya rindukan adalah bapak. Saya seperti  baru tersadar kalau selama ini bapak punya sisi yang lain. Sisi yang seringkali tidak mau saya akui. Saya seperti mengerti sekarang, bahwa semua yang dilakukan bapak cuma bentuk proteksi, perlindungan yang berlebihan. Dia terlalu sering melakukan hal yang salah untuk sebuah maksud baik. 

Mungkin karena sejak kecil sampai besar, 4 orang anak perempuan dan seorang anak laki-lakinya selalu ada dan bertumbuh dihadapanya. Bapak seperti lupa kalau kami ini sudah besar. Ternyata menjaga 1 anak aja bagiku terasa seperti menjaga telur emas, tidak jarang saya melakukan banyak kebodohan demi 'alasan' anak. Lalu bagaimana dengan bapak saya, yang ditanggungkan 4 orang anak perempuan.
12 December 2005,
10 hari sejak bapak jatuh dari pohon yang tidak tinggi. Beliau dibawa berobat ke dukun tulang di Ciawi. Dan hari itu rumah dibersihkan dan dipasangi tikar-tikar, karena bapak akan pulang. Dan rencananya, kami akan mengadakan ucapan syukur. 

Saya masih dikantor waktu adik saya telpon dari rumah. “Bapak, bapak, bapak. Chu bapak …” cuma itu kata-kata yang keluar dari mulut adik saya dan coba saya artikan sendiri. Kemudian saya mengerti bahwa sangat tidak mudah mengatakan kalimat yang tidak ingin kita katakan. Plan berubah 180°... Bapak menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan pulang.
Dalam banyak hal saya sangat bersyukur. Sejak melahirkan anak ke-2, saya banyak berekonsiliasi dengan bapak. Kami banyak membahas  masalah-masalah keluarga kami, kami mulai bertukar pikiran soal masa depan adik-kakak saya. Bahkan sebelum berangkat ke pengobatan, saya masih sempat membersihkan badan bapak dengan washlap dan membuang air seninya dari botol. Malahan bapak minta saya memimpin doa pagi itu sebelum dia dinaikan ke mobil.
Sekarang yang paling saya sesali adalah, kemana saya 10 hari terakhir itu. Kenapa saya tidak pernah mencoba disana. Menjaganya dan melihatnya. Kenapa selama ini saya tidak mau melihat  bapak dari sisi yang lain.  padahal saya tau sekali kalau bapak itu perhatiannya luar biasa, empatinya tinggi. Kenapa kami anak-anaknya belum bersatu waktu bapak pergi, kanapa saya belum bisa membanggakan apa-apa pada bapak. Begitu banyak kenapa??
Setelah bapak wafat. Kami menemukan bayak selipan-selipan kertas yang berisikan nama, tanggal lahir dan nomor telpon kami. Ada anak-anaknya, keponakanya, adiknya, kakaknya bahkan sampai sampai saudara-saudara-nya yang saya juga gak yakin kenal–. Ada juga potongan-potongan ayat alkitab.  

How he’s care!! seharusnya saya tahu kebiasaan ‘perduli’ bapak ini... kita semua tau, juga merasakanya. Tapi kenapa tahun-tahun yang terlewati kemarin keperduliannya seperti duri bagi kami, jadi momok yang menciptakan ‘sosok menyebalkan’ setiap hari.
Dalam kesemua semua itu, ada satu ayat yang setiap kali membacanya pasti akan membuat saya menangis terisak-isak. Kami temukan ayat ini di halaman depan alkitab yang biasa bapak pakai. Ternyata kerinduanya agar anak-anaknya mencari Tuhan sangat besar. Ternyata doa-doa dan aktifitas gerejanya selama ini bukan isapan jempol.  

He just has a strong and straight character. Tapi dia punya hati yang bersih, hati yang sungguh-sungguh mengasihi semua orang, hati yang selama ini mencari teman tapi tidak pernah didapatkan dari kami, dari anak-anaknya, juga tidak dari orang terdekatnya. Itu yang selalu saya sesali.     
Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, 
bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran (3 Yoh 1;4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar