19 Apr 2011

My Marriage

Awal yang salah tidak selalu harus diakhiri dengan cara yang salah. Begitulah kurang lebih komitmen aku dan laki-laki, yang akhirnya menjadi suami aku. Menikah tanpa restu, bahkan lebih parah.. Aku tidak akan lupa kejadian “aneh” itu. Ya..ya, sekarang aku menyebutnya “aneh” tapi 10 tahun yang lalu, aku menyebutnya kejadian konyol paling tolol didunia. Dulu mengingatnya bisa membuat aku mengeram kesal.
Aku lari dari rumah untuk menikah dengan laki-laki yang ‘mau mengajak aku menikah’…  Ini serius! Pelarian aku waktu itu bukan karena aku mencintai laki-laki itu, bukan pula karena dia merayu aku dengan sejuta gombal, bukan pula karena dia beruang banyak.. Kyaaaa, sama sekali bukan..
Aku memilih dia karena, dia satu-satunya laki-laki yang secara serius berani bilang “mau gak kawin sama gua?”. Kondisinya saat itu aku baru lulus sekolah, ambil kuliah ektension satu tahun dan jobless.. Ternyata hidup tanpa kegiatan sama sekali bisa membuat kejenuhan yang luar biasa.. Itu yang aku alami.
Setelah lulus, kusadari ternyata mencari kerja bukan urusan gampang. Belum lagi teman-teman yang biasa ada disekelilingku mendadak hilang. Semua orang punya kegiatan, ada yang kuliah, ada yang kerja, ada yang berdagang. Luar biasa ini... pikirku waktu itu. Kalau dulu pusing bagi waktu buat berteman, eh sekarang setengah mati cari manusia. Tapi, tak ada barang seorang. Orang tua pun mulai merepet teratur, seolah kita ini lulusan Harvard dan nganggur.. Duh nyeselnya lulus pikir ku waktu itu.
Diantara masa kejenuhan itulah, aku meyerah pada nasib dan berikrar pada diri sendiri, "siapapun yang bisa mengeluarkan gue dari rumah ini, gue akan pergi"… Menikah sama sekali bukan opsi seorang Mawar yang cuek, tomboy, ngasal dan kasar. “Laki-laki pasti takut sama kamu” bukan satu dua orang  yang pernah ngomong model beginian sama aku. Orang tua aja sering.. jiaaaa. 

So, merit bukan Mawar banget. Tapi kejenuhan, muak, sedih, perasaan sendirian ku sampai pada titik nadir hidup. Aku tidak tau mengartikan ini, inikah putus asa (gak yakin juga)?. Cuma yang pasti jenuuuh, jenuh, jenuh....
Kaburlah aku dengan laki-laki, yang cuma bisa menjanjikan aku “demi Tuhan akan bertanggung jawab” atas hidupku. Oh ya, dari dulu aku sudah tau kalau dia cinta mati sama aku, tapi aku tidak cinta. Tidak suka, tidak ada hasrat sama sekali. Cuma satu hal yang aku pegang, kita satu iman!. Maka harapanya adalah, jika segala sesuatunya “mungkin” lebih baik, aku bisa membawa dia kekeluargaku..
Kami mendaftar digereja  lama-nya keluarga suamiku. Gereja waktu dia masih sekolah minggu. Daerah Bekasi, untuk menghindari keluargaku di Jakarta. 

Malam sebelumnya aku menginap dirumah saudaranya. Paginya kesalon untuk make up, lalu kegereja untuk pemberkatan. Disana wakil dari margaku yang sudah setengah mati dicari dan akhirnya ditemukan oleh calon ibu mertuaku sudah tersedia. Entah kenapa sampai tiba digereja dan ibadah berlangsung perasaan ku bilang, "kenapa semuanya terlalu mudah ya??". Kabur, persiapan, pemberkatan dan selesai… Perasaan itu terus menggelitik. Tidak mungkin semudah ini, kenapa bisa semuanya selancar ini. What will happen?? 

Jujur aku mengaku salah, aku dikenal sebagai anak kesayangan bapak. Kata orang pun wajah kami mirip tapi justru karena banyaknya kesamaan kami itu kami sama sekali tidak pernah akur. Beliau  teriak, aku teriak, dia protes aku protes.. Yups, karakter kami 11-12, dan ini jadi masalah buat kami. Dan aku sangat sadar kalau perbuatanku ini pasti menohok bapak sampai kedasar hatinya. 

Secara umum aku termasuk anak baik-baik. Pacaran bukan pilihan aku, apalagi sampai kawin diusia muda. Dikeluarga aku termasuk anak yang smart. Jadi secara khusus bapak punya pengharapan terhadap aku.
Tepat ibadah selesai dan akan masuk acara pemberkatan. Mendadak aku mencium aroma minyak angin yang khas sekali dipakai bapak. Aku tidak terkejut  tapi masih tetap mencoba menyangkali. Berharap ini Cuma perasaanku. 

Aku tidak berani menengok kebelakang, tapi mulai terdengar suara bisik-bisik riuh rendah dibelakangku. Tepat seperti  ‘dugaan’ku. Bapak sudah menyeruak masuk dengan tidak sopan dan langsung duduk tepat dibelakang kami. Menginterupsi sebentar lalu “mengancam” si bapak pendeta.
“Pernikahan ini tidak sah, dilakukan tanpa seijin orang tua. Saya bisa bikin nama gereja ini cemar. Pernikahan ini harus dihentikan” katanya dengan lantang.
Aku cuma diam, tidak menangis, tidak takut, tidak pula mencoba menenangkan bapak. Toh aku tidak cinta sama calon suamiku hari itu. Dan aku juga sangat-sangat sadar akan kesalahanku ini, dan dari semula  pun aku sudah merasa ‘ganjil’ dengan semua 'kemudahan' ini.  
Walau sudah coba dirayu dan dilakukan mediasi dengan para tua-tua dari pihak keluarga laki-laki, bapak tidak geming pada kekerasan hatinya. Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan, dan aku sudah dianggap mati!!!
Akhirnya hari itu, pulanglah kami dari gereja itu tanpa acara pemberkatan. Dengan menagis calon mertuaku hanya bisa melakukan acara adat kecil yang menyatakan aku sudah layak masuk rumah pihak laki-laki. Beberapa minggu kemudian, baru pendeta tersebut  akhirnya memanggil kami untuk melakukan peneguhan pernikahan.
Semua kejadian itu selalu mengingatkan kami pada kalimat suamiku “awal yang salah tidak berarti harus diakhiri dengan cara yang salah”. Sekarang mengingat kejadian itu membuat kami berpegangan tangan lebih erat. Karena ada harga mahal yang telah kami bayar. Harga untuk pernihakan ku adalah malu dan kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar