3 Mei 2011

Guru Biologi-koe

Dapat ilmu bawel dari mana ya???
Suka bingung juga kalau gue ditanya gitu.. kalau soal judes, iya kata nyokab sih dari  kecil gue udah judez beud. Gue gak suka ditanya-tanya, gue langsung marah kalau disuruh makan pake “lauk non selera-koe". Gue suka merampas botol susu kakak gue… kata nyokab, gue suka memaksakan kehendak..  Padahal gue ‘engga ngerasa baget tuh’.. kwkwkw.
Tapi seinget gue, sampai gue SMP pun gue never famous as a talkative person. Gue lebih dikenal karena nama gue nyaris sama dengan nama kakak gue. Jadi banyak guru mengira ada pengulangan nama yang sama. Dan klise... semua guru akan nanya “kamu kakaknya ya?”. Gubrak,, secara postur gue emang lebih besar dari si sist ini dan wajahnya pun lebih imut-imut dari gue. OMG, I can imagine I will said this wonder word, haha..
Adalah guru Biologi gue yang imut-imut, kalau bicara halus lus lus. Suatu hari dikelas beliau kita praktek tanaman, (entah tanaman apalah gue lupa, tapi ada air digelas aqua githu) lalu tanpa sengaja seorang teman menumpahkanya di rok biru gue. Sebagai anak yang perfectionist, panic dan marahlah gue dengan kebasahan yang sebenarnya gak seberapa itu. Tapi si temen itu cuek bebek, bikin gue tambah keki setengah mampus.. Entah bagaimana dan seperti apa kemudian, (gue agak-agak samar dengan kejadian ini) menagislah gue. Dan kemudian, kakak gue ngebelain gue. Kita ngebantah si guru sambil nyalahin temen tadi. Oh ya, waktu kelas 1 SMP kita sekelas lho... Kyaaa.
Diusirlah gue oleh si Guru dari kelas. Kakak gue protes, lalu kena usir pula dia nih... Kebayang dong ‘kosongnya’ perasaan gue seperti apa?. Dunia baru, orang-orang baru, kawanpun belum ada, diusir pula diminggu pertama sekolah. 

Gue pertama-tama masih sebodo amat, tetep gue merasa gue yang terjajah, hihihi... Tapi kakak gue panic (I can see it from the gesture), so gue jadi ketakutan juga. Sepengalaman gue sebagai ABG pertengahan 90-an yang namanya orang-tua dipanggil ke sekolah is a hell. Belum di cap disekolahnya, belum dicaci dirumahnya, belum diungkitnya sebagai dosa –sepanjang masa— OMG, gak bangets.
Setelah 3 atau 4 kali di skors dari pelajaran Biologi, kakak gue ‘memaksa’ kita untuk menghadap si Ibu Imut ini. Dengan yakin gak yakin gue manut usul si kakak. Dengan gaya yang angkuh si Ibu menerima kami, nasihatnya tidak panjang tidak pula melebar. Hanya berinti “saya gak suka ada yang cengeng-cengeng dikelas saya”. Dan satu kalimat indah lagi, “oh, kalian orang Kristen, pantes aja”. Si Ibu menutup percakapan dengan mimik datar dan tangan seperti mengusir. 
Indah ya cin kalimat itu, so siapa yang bilang dikriminasi agama baru ada belakangan ini??.   

 Kemudian, belajarlah kami dengan normal. Ada satu kebiasaan si Ibu ini kalau mengajar, dia suka sekali melempar pertanyaan di kelas. Dia sering memancing murid untuk menjawab dan bertanya, dia suka kalau anak muridnya berinteraksi. Cara yang sangat bagus sih kalau dipikir lagi sekarang. Si Ibu suka kalau kita menjawab, kalau kita bertanya dan lebih senang lagi kalau sesama murid saling melempar pertanyaan.   

Sebagai anak SMP yang oleh orang tua tidak pernah diajarkan soal percaya diri, membangun diri, unjuk gigi dan bersaing, gue kok merasa menjadi murid yang tidak dianggap ya... Apalagi kalau gue mengingat ‘masa skors’ itu. 

Entah perasaan yang datang dari mana, tapi dengan sadar gue merasa ‘ingin dianggap’ oleh si Ibu. Gue ingin dosa gue dilupakan. Intinya ada rasa dihati gue waktu  itu, ‘gue mau dipandang si Ibu dengan tatapan 100%’. But I don’t know how. Tapi rasa itu memaksa maju.

Diawali dengan bertanya kecil, lalu mulailah gue menjawab pertanyaan-pertanyaan simple. Lama kelamaan  gue mulai berani bertanya banyak, bertanya  ribet bahkan  memutar balik pertanyaan... hahaha. Seingat gue inilah awalnya gue mulai bersuara didepan orang.  

Mungkin, tepatnya sih bukan mungkin, tapi pastinya ini adalah bakat gue yang sebenarnya, tapi tidak pernah gue ekplorer. Karena ‘suara’ gue lebih sering di definisikan sebagai ‘keanehan’ oleh keluarga gue. Mendengar celoteh-celoteh gue yang kadang menggunakan bahasa ‘benar’ atau kebiasaan vocal lebih sering ditanggapi dengan picingan mata atau bahkan senyum Monalisa, senyum sejuta arti oleh sekitar gue.

Pernah gue berfikir, seandainya gue tidak pernah kena skorsing oleh si Ibu Imut ini, seandainya gue baik-baik saja waktu itu, semisalnya gue mencukupi diri menjadi pribadi yang ‘jangan maksa’ –ajaran ortu gue dulu begitu–. Mungkin gue tidak akan se talkative hari ini. Mungkin gue tidak akan dikenal sebagai Mawar yang bawel, pastinya gue tidak akan ditunjuk-tunjuk sebagi juru bicara masalah...(gue tetap menganggap ini sebagai kehormatan, walau masih dalam level-level sederhana)

Semuanya belum jadi cerita yang istimewa. But somehow, deep in my heart gue senang menjadi pribadi yang suka ngomong. Walau terkadang suara gue cuma dimanfaatkan atau bahkan cuma dijadikan tameng...   , I don’t really care, actually I care that now I know where I want to go, I know how to sound my soul… and I know why I want to talk...  

Someday kalau gue sukses dengan ‘suara’ gue, semoga gue punya kesempatan untuk bilang terimakasih sama Ibu Marfuah, Guru Biologi SMP 158.

 For better or worse, you change my view!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar