Keterbatasan Grace memberikan pengertian baru bagiku. Yang kami
tau selama ini Grace itu galak dan mudah frustasi, tapi dia tidak akan mudah
menyerah.
Saat keadaan
terlihat 'tidak adil' buatnya, maka bayi kecilku akan menjambak rambutnya
sampai rontok beberapa. Atau bahkan kemudian menghempaskan jidatnya ke lantai.
Walau bukan
kebiasaan juga sebenarnya. Tapi jika aku membandingkan dengan 2 saudara sebelumnya,
maka menurut kami ini ‘luar biasa’... Dari apa yang pernah aku baca; para
ahli mengistilahkan ini dengan, tantrum.
Sebagian
orang akan meledek, “ya buah gak jauh dari pohonnya”. Hehehe, mengingat bagaimana temperamennya aku
dulu. Tapi kemudian, tanpa bermaksud memebela diri, walaupun ini berisi
pembelaan juga. “I don’t think I am gonna hurt my self that way…”. Menyakiti
diri bukan cara aku. Hohoho...
Anak sekecil
itu suka menggeram dan mengancam dengan gaya menyentil, menyatukan jari-jari
kecilnya untuk membentuk lingkaran kecil. Lalu bola matanya akan dibulatkan
untuk menambah seram ‘kemarahannya'. Yang kenyataanya, malah menambah kegemasan
kami untuk menggodanya lebih lagi dan terus demi segala actingnya itu.
Grace
mengalamai gangguan pendengaran, tuli bahasa singkatnya. Akhirnya kami tersadar,
keterbatasanya itulah yang memebuatnya bermasalah dengan komunikasi (selama
ini). Ternyata dia tidak pernah paham dengan ‘maksud’ kami, dan kami-pun
menanggapi lain ‘maksud’nya selama ini.
Sekarang,
setiap kali memakai alat bantu dengar (ABD)-nya. Dia akan bersembunyi dibalik tubuh siapapun
yang ada didekatnya, seperti malu, tersipu-sipu tapi senang. Padahal kami belum
lagi memulai komunikasi… dia hanya merasa seperti akan connected
dengan sekelilingnya. Dan itu membuatnya sumrigah.
Aku mencoba
menganalogikan kondisi Grace pada kehidupanku, kehidupan keras yang aku lihat
dan aku kenali. Setiap orang hanya ingin dimengerti, hanya ingin didengar,
hanya ingin menyampaikan kata-katanya. Dan ketika semuanya selalu
dibatasi, maka akan ada gejolak-gejolak emosi yang lahir.
Itu pasti,
bedanya hanyalah… sebagian orang memilih
untuk menerimanya sambil “makan hati” dan sebagaian lain menyuarakanya dengan
aksi dan suara… (orang yang kenal aku dengan baik, tau pilihanku)… hahaha,,
Lalu kenapa
ekspresi sebuah perasaan selalu diartikan negative,
kenapa tidak lebih dahulu mencari tau akar masalahnya?? Karena (rasanya) tidak
mungkin akan ada asap kalau tidak ada
api. Karena dimana ada aksi maka disitu akan muncul reaksi.
Bukankah
pelangi akan muncul setelah hujan reda?? Maka, akan selalu ada alasan atas setiap
kejadian.. Kenapa begitu sulit untuk saling memahami??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar