16 Des 2011

Understanding



Keterbatasan Grace memberikan pengertian baru bagiku. Yang kami tau selama ini Grace itu galak dan mudah frustasi, tapi dia tidak akan mudah menyerah. 

Saat keadaan terlihat 'tidak adil' buatnya, maka bayi kecilku akan menjambak rambutnya sampai rontok beberapa. Atau bahkan kemudian menghempaskan jidatnya ke lantai.

Walau bukan kebiasaan juga sebenarnya. Tapi jika aku membandingkan dengan 2 saudara sebelumnya, maka menurut kami ini ‘luar biasa’... Dari apa  yang pernah aku baca; para ahli mengistilahkan ini dengan, tantrum.

Sebagian orang akan meledek, “ya buah gak jauh dari pohonnya”.  Hehehe, mengingat bagaimana temperamennya aku dulu. Tapi kemudian, tanpa bermaksud memebela diri, walaupun ini berisi pembelaan juga. “I don’t think I am gonna hurt my self that way…”. Menyakiti diri bukan cara aku. Hohoho... 

Anak sekecil itu suka menggeram dan mengancam dengan gaya menyentil, menyatukan jari-jari kecilnya untuk membentuk lingkaran kecil. Lalu bola matanya akan dibulatkan untuk menambah seram ‘kemarahannya'. Yang kenyataanya, malah menambah kegemasan kami untuk menggodanya lebih lagi dan terus demi segala actingnya itu.

Grace mengalamai gangguan pendengaran, tuli bahasa singkatnya. Akhirnya kami tersadar, keterbatasanya itulah yang memebuatnya bermasalah dengan komunikasi (selama ini). Ternyata dia tidak pernah paham dengan ‘maksud’ kami, dan kami-pun menanggapi lain ‘maksud’nya selama ini. 

Sekarang, setiap kali memakai alat bantu dengar (ABD)-nya.  Dia akan bersembunyi dibalik tubuh siapapun yang ada didekatnya, seperti malu, tersipu-sipu tapi senang. Padahal kami belum lagi memulai komunikasi… dia hanya merasa seperti akan connected dengan sekelilingnya. Dan itu membuatnya sumrigah.

Aku mencoba menganalogikan kondisi Grace pada kehidupanku, kehidupan keras yang aku lihat dan aku kenali. Setiap orang hanya ingin dimengerti, hanya ingin didengar, hanya ingin menyampaikan kata-katanya. Dan ketika  semuanya selalu dibatasi, maka akan ada gejolak-gejolak emosi yang lahir. 

Itu pasti, bedanya hanyalah…  sebagian orang memilih untuk menerimanya sambil “makan hati” dan sebagaian lain menyuarakanya dengan aksi dan suara… (orang yang kenal aku dengan baik, tau pilihanku)… hahaha,,

Lalu kenapa ekspresi sebuah perasaan selalu diartikan negative, kenapa tidak lebih dahulu mencari tau akar masalahnya?? Karena (rasanya) tidak mungkin akan  ada asap kalau tidak ada api. Karena dimana ada aksi maka disitu akan muncul reaksi.  

Bukankah pelangi akan muncul setelah hujan reda??  Maka, akan selalu ada alasan atas setiap kejadian.. Kenapa begitu sulit untuk saling memahami??


Tidak ada komentar:

Posting Komentar