28 Des 2011

I Love Money but,,,


Bukan bohong apalagi sandiwara kalau aku sering bilang, aku bukan tipikal cewek matrealistis apalagi sampai matrealisme. I love money, pastinya… Toh aku bekerja untuk mencari uang.

Aku berpindah kerja dengan harapan ada peningkatan dalam keuangan, aku meneruskan kuliah dengan membuang uang karena berfikir uang tersebut  akan balik jika aku mendapatkan gaji yang lebih besar lagi dengan adanya peningkatan dalam karir. Dan aku juga punya cita-cita menjadi kaya. 

Akan tapi secara umum aku bukan orang yang melihat segala sesuatu dari ukuran uang. Buat aku, harga jiwa lebih mahal daripada uang, pertemanan juga tidak kalah penting dengan uang, nilai-nilai keluarga bahkan jauh lebih mahal dan tak terukur dengan uang. 

Tapi aku mengaminkan kalau dengan uang maka banyak hal yang bisa berjalan dengan lebih mudah, bahkan juga bisa lebih baik.

Aku masih SD dan kerdil dalam menilai segala sesuatunya. Tapi waktu itu, sering kulihat saudara-ku kami memanggilnya tante. Karena waktu pertama kali datang ke Jakarta dipertengahan 80'an, kami terlebih dahulu menumpang sampai berapa lama dirumah saudara ini. Si Tante sering sekali bertengkar dengan suaminya soal uang. Padahal ‘kata orang’ dengan pekerjaanya suami si tante ini bisa membawa uang ratusan ribu per-minggunya. Dan bukan sekali dua kali kulihat pertengkaran ini.

Menjelang pertengahan SD sampai SMP, kulihat kehidupan kami yang sangat sederhana ini juga dibumbui oleh pertikaian yang sama, ribut soal uang. Bapak-ku pekerja yang giat tapi tidak ngoyo, sedangkan mama tipikal pekerja keras dan banting tulang. Tidak jarang pertikaian ini sampai merambat ke kami anak-anak. 

Bapakku lelaki baik-baik yang setia, terampil pula dalam mengerjakan pekerjaan pertukangan. Menjaga anakpun tidak masalah baginya walaupun penampilanya arrogant . Maka  tidak ada masalah mengenai statusnya sebagai seorang bapak. Tapi kemudian satu hal ini yang sering menjadi perdebatan mereka, uang selalu tidak cukup!!.

Entah dari mana pemikiran itu datang. Yang jelas lahirlah suatu pengertian baru dihatiku yang masih lagi kanak-kanak. Ternyata uang bukan jawaban sama sekali... karena, BANYAK HABIS, SEDIKIT CUKUP. Seingat-ku itulah awal kisah dan lahirlah ide-ku untuk tidak mau mendewakan uang. 

Pernah suatu kali aku mensihatkan mama soal uang, "Ma... uang itu seumpama kumis, dipotong sehabis apapun pasti tumbuh lagi”.  Malah kemudian mama membentaku dengan geram,,, hehehe *salah kamar kayanya*

Kisah tambahan yang kemudian menambah inspirasiku soal uang. 

Sejak masih aku kecil  mamaku sempat menjalankan bisnis rentenir dan pegadaian barang. Jadi sering sekali aku lihat bagaimana para ibu-ibu kompleks, (seberang perkampungan kami) datang meminjam duit kepada mamaku. Dimana kemudian dan ternyata kebanyakan dari mereka bermasalah dalam pembayaran. 

Jadi bisnis penagihan (debt collector amatiran,,, hehehe) sudah kami lakoni sejak SD. Aku sih termasuk yang beruntung karena jarang menagih, ketimbang kakakku yang PASTI melakukan debt collection  ini TIAP MALAM.

Kenapa malam?? Karena menunggu si suami pulang kerja. Karena tidak sedikit hutang istri yang ternyata backstreet  dari para suami dan kemudan akan dipertanggung-jawabkan oleh suami. Bayangkan hutang 2-5jtan ditahun 90-an, akan dicicl dengan 15-25 rb per hari. Hmmm,,

Para peminjam itu umumnya orang-orang beruang. Penampilan mereka necis, rata-rata suami/istri-nya pegawai, rumah ada. Kebanyakan mereka juga mempunyai kendaraan, anak-anak merekapun menterang-mentereng. Secara kasat mata–dengan segala kemiskinan kami-mereka PASTI orang kaya. Demikian aku (atau kami semua jugakah??) memandangnya. Tetapi kenyataanya???

Maka, semua yang aku lihat sejak kecil, semua yang aku alami sendiri dalam masa tumbuh kembang itu memateraikan sebuat konsep tersendiri dikepalaku, dihatiku dan dicara aku hidup. 

Aku tidak melihat uang sebagai  dewa atas hidupku. Dan pertemuanku dengan seorang pendeta ajaib (pernah kuceritakan dalam salah satu episode lain blog terdahulu, hihihi..) menambah lengkap koleksi pemikiranku soal uang.  

Uang adalah bagaimana aku berdamai dengan keadaan, uang adalah bagaimana aku melihat kebutuhan orang lain sama pentingnya dengan keperluaanku, uang adalah  bagaiamana mengerti mengucap syukur sekalipun tidak semuanya bisa aku jangkau dengan kemampuan ke-uangku…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar