10 Nov 2011

10 November 2011

10 November 2011,
Hari ini tepat usia suamiku 34 tahun, perjalanan 12 tahun pernikahan kami. Pernikahan dini yang tidak pernah aku sesali, perjuangan bersama yang telah mengubah aku  menjadi Pribadi yang lebih baik. 

Perjalanan menanjak dan menurun tidak jarang ada kerikil tajam, karang dan jurang sering menghadang seakan memisahkan persepsi kami. Karakter kami sama sekali berbeda, dia yang tenang dan aku yang meledak-ledak, dia yang pendiam dan aku yang super cerewet, aku penyuka makan sedangkan dia pemilih makanan, aku suka membaca dan dia malas membaca, atas segala perbedaan banyak hal yang membuat kami menjadi satu, pengertianya luar biasa dan kepercayaanku padanya pun 100%.

Dalam banyak hal, suamiku lah yang telah membangunkan mimpi-mimpi yang lama terendap dialam hadesku, dialah yang memandang aku sebagai seorang yang sama sekali berbeda daripada keluargaku biasa melihat aku. Lama hidup dalam ketakutan berkspresi aku menyimpan banyak mimpi dan talenta, yang sesungguhnya sudah sejak lama aku sadari, berbeda secara fisik dan karakter dari 3 orang saudariku selalu membuatku dijuluki si Judas Iskariot, si gendut  yang jelek, manusia tanpa kawan.  


Sejak awal dari pernikahanku bahkan sampai hari ini, suamiku selalu  menunjukan kasihnya, dia terus mencoba memahami kebiasaan-kebiasaanku, walau aku juga sadar seringkali dia cukup jenuh dengan segala kemarahanku tapi dia terus menujukan sikapnya sebagai laki-laki. Penerimaanya atas ‘paket’ keluargaku juga sangat nyata, karena buat aku ‘keluarga besar’ merupakan paket dalam pernikahan yang seharusnya diterima oleh pasangan.

Sosoknya yang tenang membawaku belajar lebih dalam mengenai pengendalian emosi. Cara pandangya soal kehidupan yang mengalir tapi beriman, visinya tentang kehidupan berazaskan Ke-Tuhanan yang kami yakini. Semua dan semuanya terus menghadirkan rahmat dan pengetahuan baru yang terus mengubahkan aku.

Tapi ada saat-saat dimana aku merasa lebih sempurna untuknya, adalah saat dia lemah dalam pengharapanya. Menyenangkan sekali aku bisa menyediakan bahu untuknya bersandar setelah begitu banyak kelapangan dada yang dia berikan kepadaku. 

Kejadian pertama yang akan selalu aku ingat adalah ketika dia menitikan air mata mengenang masa kecilnya yang hilang oleh situasi-kondisi yang memaksnya harus mandiri, kedua adalah ketika tahun 2004 –kami mencoba peruntungan ke Amerika dengan berbekal pinjaman dengan nama orang lain-  dalam hatiku sempat terbersit akan sangat-sangat marah kalau sampai rencana ini gagal karena mengingat besarnya pinjaman yang harus kami kembalikan. 

Sejak pagi itu perasaaaku tenang sekali, perkerjaan kantorpun berjalan biasa saja sampai menjelang siang dia menelpon dengan suara lirih dan penuh keputus asaan “dek aku gagal” katanya pelan sekali. Oh…oke, jawabku pendek, tidak sanggup rasanya mendengar dia dalam kesedihan, siangku jadi kacau ingin rasanya cepat pulang memeluknya dengan hangat untuk membuat hatinya lebih tenang, walau aku sadar ketakutanku sama besar dengan ketakutanya, tapi aku harus jadi penolong baginya.

Suatu kebodohan terjadi ditempat kerja, walau aku tahu suamiku yang memulai pertengkaran ini  tapi aku terus memicunya sampai titik kesabaranya habis. Akhirnya, sebuah bogem mendarat dibawah mata kananku, bengkak dan membiru –bahkan sampai beberapa minggu-. Sedetik kemudian kami tersadar, perih mulai menyusup syarafku dan kami menangisi diri kami masing-masing. 

Dia menghilang selama 2 hari, rasa resah mulai mengangguku walau perih diwajah aku cukup konsekwen untuk menyadari aku ikut andil dalam semua ‘kecelakaan’ ini. Aku tau dia tidak bisa tidur tanpa aku, dia akan selalu memikirkan gadis kecilnya jika dia ada diluar, aku tau dia pemilih makanan. Semuanya membaur diantara segala kesombongan kami, ketika dia pulang aku tidak berminat untuk membahas insiden itu aku lebih mengingini menjadi orang yang dia cari untuk menumpahkan segala penyesalanya.  

Walau aku dan suami sudah menyatakan siap dengan segala diagnose dokter mengenai kondisi anak ketiga kami, ternyata suamiku sempat menitikan airmata dan kehilangan kata-kata untuk beberapa saat setelah menelaah hasil dari dokter. Aku yang ‘seharusnya’ menangis –pikir banyak orang- memilih untuk menjadi lebih kuat, menjadi lebih positip dan menjadi lebih bijaksana dalam menyikapinya. Lagi, menyenangkan bisa menyediakan bahu bagi orang terkasih saat dia down.

Dengan jujur aku akui kalau aku seringkali menanggungkan lebih dari yang seharusnya dia tanggung dipundaknya, masa lalu aku yang tidak terlalu bahagia, rasa rendah diri dan intimidasi, ketakutan, kemarahan, kelabilan dan persoalan pribadiku sering menjadi senjata untuk menohoknya. Walalu sadar dia mencintaiku 100%, kebodohan sering menyeret aku untuk menguji hal ini.

34 tahun, bahkan sebelum diusia ini suamiku sudah matang dan dewasa dalam bersikap. Dia menentukan kapantasan sikapnya sebagai laki-laki, sebagai bapak dan sebagai suami, dia sudah merajut bendera cinta yang besar untuk menyelimuti aku dan anak-anak kami.

I Will always love you Dad… keep in faith and keep the spirit lights on, hmuach… ^U^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar