Jika aku menjadi apapun, setelah apa yang sudah pernah aku alami, aku selalu
berjanji pada diriku sendiri, dan kiranya Tuhan selalu mengingatkan aku jika
ada hal yang aku lupakan dari janji ini.
=> Aku akan mengunjungi temanku yang sakit, sekalipun
perasaanku masih dipenuhi oleh kemarahan
dan luka karena hinaanya. Karena aku tau sakit bukan pilihanya, sakit bukan
pula karma yang harus dia terima karena dosa-dosanya. Sakit bisa datang pada siapa saja dan
–nampaknya- waktunya memang tidak pernah tepat, jadi mungkin juga akan menghampiriku dan aku tidak bermimpi jika ada
orang yang berbahagia diatas penderitaanku.
=> Aku dengan senang hati akan mengunjungi temanku yang
baru saja melahirkan, sekalipun dia tidak membuat undangan, sekalipun dia tidak
merasa perlu dikunjungi tapi aku akan tetap –berniat- datang karena aku tau ada
manusia kecil yang tak berdosa yang perlu disambut kedatangannya dan ini adalah
sukacita yang indah.
=> Aku akan mendahulukan mengunjungi teman yang sakit sekalipun agamanya berbeda dengan aku dari pada teman seimanku yang rumahnya lebih jauh lagi. Kenapa? Karena kasih yang nyata adalah mendahulukan orang yang terdekat daripada orang yang jauh.
=> Sekalipun aku tidak mampu membelikan seorang teman hadiah yang pantas apalagi mahal, minimal aku ikut bersukacita atas setiap perayaanya. Sepenggal ucapan selamat melalui sms dan email akan aku pastikan datang dari hati, bahkan sekalipun egoku sedang bermain.
=> Tidak lupa meng-sms/bbm atau email teman jika ada hal
yang berkenaan dengan ‘undangan’ dan pastikan sekali lagi “aku tidak lupa
menulis nama teman ditempat yang sepantasnya” bukan hanya dalam hati… bukankah
teman tidak semestinya melupakan nama teman baik??
=> Akan ada moment dimana aku terjebak diantara nilai
pertemanan atau keuntungan pribadi, keuntungan yang bukan melulu mengenai
nominal tapi bisa juga soal moral, dimana aku seolah-olah terkondisikan menjadi lebih
penting daripada yang lain, dimana ‘persepsi manusia yang terkotak’ sering –memaksa-
situasi menjadi tidak adil. Aku tau aku bukan nabi dan keinginan daging
pasti akan menarikku untuk lebih berfikir logika, yups.. it’s my time. Tapi yang mau aku lakukan kemudian adalah
meyakinkan temanku bahwa aku mengasihi temanku sekalipun ada kotak tak terlihat
antara kami, kotak yang sesungguhnya bukan kami yang membuatnya. Tapi jika
kotak itu tidak kupindahkan, ini bisa menjadi benteng yang kuat dan kokoh yang
lalu membiaskan arti pertemanan kami.
=> Point dari semuanya adalah, apapun jadinya aku, dan
apapun aku telah ada sekarang aku selalu bangga dengan sudut pandangku akan
manusia secara umum. Aku termasuk yang tidak suka membatasi manusia karena
agama, suku, ras, status, fisik, gender dan komunitas dan kotak-kotak lainya
buatan manusia. Walaupun secara manusia, termasuk kebanggaan besar jika bisa mengenal
sosok, baik tokoh maupun kaum sosialita yang namanya kesohoran. Tapi buat aku,
itu hanya bagian-bagian kecil dari keseluruhan ciptaan Tuhan yang pada
hakekatnya adalah sama.
Jika aku menjadi miskin, semoga kemiskinan
tidak membuat aku mengutuki Tuhan-ku.
Jika aku menjadi kaya, kiranya aku tetap
mengingat dimana kakiku seharusnya berpijak dan kemana mataku tetap memandang.
Jika aku menjadi ‘yang terlupakan’ oleh orang-orang
yang tidak pernah aku bayangkan, semoga aku tidak membalas melupakan karena aku
tau sakitnya.
Jika aku menjadi yang dikasihi oleh siapapun,
kiranya aku membalas dengan lebih lagi mengasihi lagi.
Jika aku menjadi lebih kuat, kiranya aku akan selalu
ingat untuk membaginya.
Jika aku sedang lemah, semoga ada lengan yang membantuku
untuk bangun.
Jika aku menjadi,,,
Jika aku menjadi apapun,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar