14 Nov 2011

Aku Perempuan Batak


Namaku Mawar, tapi keluarga dan lingkungan dekat biasa memanggilku Lenchu. Paling risih kalau ada teman rumah yang kebetulan satu sekolah kemudian iseng  memanggilku Lenchu disekolah. Hadehhhh.. just don’t like it at all. Sebelum aku SD yang aku tau nama kami hanya terdiri dari 1 baris, aku Mawar, kakakku Maria adikku Lenny dan si bungsu Riris Pesta Lenti. Nama kami bertiga singkat, entah kenapa. Lalu sekitar akhir tahun 80-an akhir bapak sempat pulang ke tanah kelahiran kami untuk menggurus beberapa document perpindahan kami ke Jakarta. Padahal kami sudah urbanisasi sejak awal tahun 80an.

Yang kemudian aku tau namaku menjadi Mawar Angelina, nama belakang yang sama dengan kakakku Maria Angelina. Sesuai dengan semua document akta lahir yang dibawa bapak dari kampung. Mamaku bernama Tiurma Nababan, kelahiran asli Siborong-borong, nama bapak yang kukenal adalah Anggiat Poltak tanpa ada embel-embel marga dibelakangnya tapi satu hal yang kami tau sepanjang hidup kami -walaupun tidak pernah tertulis-, kami bermarga Sinaga. 

Tidak ada yang istimewa sebenarnya, keluarga sederhana, orang tua yang sederhana dan 4 orang anak perempuan yang juga biasa. Tapi setelah aku beranjak dewasa, aku menyadari kalau bapakku luar biasa. Dia lahir dari Ibunya batak asli dan bapaknya masih Tionghwa menjadikanya manusia dengan karakter yang kasar, sinis, apatis terkesan arrogant. Sekitar tahun 95-an, kedua orangtuaku melakukan prosesi adat untuk mengangkat marga Sinaga kami semakin sah.

Sepanjang aku tinggal bersama bapak, tidak kulihat  kalau bapak menunjukan sikap patriakalnya dengan angkuh. Sekarang mamaku bisa dipanggil Mama Johan. Oh ya, mereka bermigrasi dengan 4 orang anak perempuan. Dan sepanjang yang kami tau, tidak sekalipun bapak merendahkan mama kami karena urusan anak laki-laki. Dan tidak juga kami lihat bapak memarginkan status mama kami karena urusan yang satu ini. 

Mereka lebih banyak bertikai karena perbedaan karakter yang sangat mencolok. Mamaku tipikal anak gaul yang biasa ramah dan hangat dengan semua orang, bertahun-tahun kemudian kami mengidentikanya se-tipe dengan kakak. 

Sedangkan bapak lebih ke sinis dan blak-blakan. Ini sama sekali tidak cocok dengan budaya basa-basi Indonesia, belum lagi sikap on the spotnya yang tidak ada tedeng aling-aling. Dimana jika beliau menemukan ada kesalahan maka sedetik kemudian dia akan komplen (sikap bapak ini yang kemudian banyak teradopsi dalam karakterku). 

Tahun 1991. Berjarak 10 tahun dari si bunggu perempuan dan 15 tahun dari si sulung, lahirlah adik kami laki-laki. Kami terlalu kecil waktu itu untuk bisa membaca luapan perasaan sukacita bapak. 

Karena kemudianpun bapak tidak pernah bersikap istimewa dengan adik lelaki kami ini. Semua mendapat rotan yang sama, omelan yang sama, jatah jajan yang sama, aturan dan pendidikan yang sama.


Dengan 5 orang anak, mamaku biasa dipanggil sesuai dengan komunitas masing-masing. Umumnya orang kenal mama dengan sebutan mama Lengkong –nama kecil kakakku-, tapi kalau disekolah ku menjadi mama Mawar dan disekolah adikku ya dengan nama adik-adikku. 

Tidak ada aturan khusus beliau harus dipanggil dengan nama panggoaran anak. *tradisi orang batak dimana anak lelaki akan dijadikan nama penyebut orang tua. Bapak juga tidak pernah, –paling tidak belum pernah kudengar-, mempermasalahkan apalagi ribut soal penggelaran mamaku disetiap acara. Apakah dipanggil nyonya Sinaga, apakah ibu Nababan atau mama Maria atau mama Johan. 

Apalah arti sebuah panggilan, itu mungkin yang ada dipikiran bapak ku.

Walau bukan orang yang memegang adat dengan kuat, seringkali bapak mengingatkan perlunya kami memilih teman dan bergaya hidup yang konservatif karena kami orang batak. Hidup adalah paket keluarga, hidup adalah bagian dari pohon keluarga. Walau pribadinya terlihat angkuh, bapak family man sejati, dia pria dengan sejuta karakter. Dia bangun pagi jam 4 untuk berdoa syafaat (berdoa bagi bangsa, komunitas dan keluarga), dia biasa memasak sendiri sarapan paginya (entah nasi goreng, mi goreng, sambal kemiri kesukaanya, dadar telur, apapun itu..). 

Pun jika menu siang mama tidak sesuai seleranya, dengan sedikit keluhan sebentar, kemudian beliau akan memasak makanan yang dia inginkan. Dan tidak jarang pula menanyakan anak-anak, bilakah kami menginginkan makanan lainnya.

Bapak juga yang biasa membuatkan kopi atau teh manis pagi buat mamaku. Karena pastinya bapak akan bangun lebih pagi dari mamaku. Bapak juga biasa mengatur sendiri semua pakaianya, bahkan sampai pakaian gereja atau pesta. Dan ini kemudian akan menjadi masalah selera dan style. Si bapak yang cuek dan asal tanpa mau tau sikon sedangkan mama, you know woman?? Hmm... 

Walaupun pencinta keluarga, tapi soal selera dan karakter bapak –biasanya- tetap berjalan di jalurnya sendiri. Hebatnya lagi, bapakku juga yang biasa memasak air panas jika beliau atau mama akan mandi lewat dari jam 7 malam.   

Bapakku orang batak tapi dia berjiwa pria sejati. Ketika aku akhirnya menikah lebih dulu daripada kakakku, -setelah semuanya lebih baik-, bapak tidak terlalu pusing dengan gunjingan orang mengenai ‘adat’ yang seharusnya perlu aku bayar karena melangkahi si Kakak. 

Jika adik lelaki kami bersikap tidak pantas pun, bapak sering menyuruh kami membalas balik perlakukanya. *tradisi Batak menyebut anak laki-laki sebagai hula-hula dari para perempuan, dimana mereka –seperti- memiliki derajat lebih tinggi dan wajib dihormati, tanpa terkecuali.

Aku menikah dengan pria batak. Monang Siregar namanya, mertua perempuanku Miana Simajuntak. Keluaga batak asli, suamiku biasa bercanda konyol dengan memanggil ibunya dengan menyebut 'Miance'. Malahan sampai anak-ku ikut-ikutan.

Bukan hal yang bagus memang, tapi setidaknya kami tidak terjebak dengan konsep kesakralan nama. *orang yang sudah menikah umumnya pantang dipanggil dengan nama aslinya. 

Toh Nama Tuhan Yesus aja disebut umum oleh semua orang dan semua umur. Begitu pembelaan suamiku.

Aku biasa menyebut dan menulis namaku dengan Mawar Angelina tanpa embel-embel Siregar.  enang kalau orang menyebutku Nyonya Siregar, bangga memperkenalkan diriku dengan sebutan Mawar Sinaga. 

Kalau dulu mamaku punya penyakit insomnia –makanya beliau tidak bisa bangun pagi-. Maka aku lebih ke menikmati hidup, setelah senin sampai jumat bekerja, aku suka bermalas-malas dan bangun siang dihari Sabtu. 

Demi menjaga kenyamanan tidurku, sering suamiku akan mengajak anak-anak jalan-jalan sampai jam 7-8. Aku juga biasa bangun dengan semangkuk mie kuah pedas dan teh manis hangat. Kalau aku sedikit mengeluh, suamiku akan sigap memijati (tapi kebetulan aku tidak terlalu suka dengan segala macam jenis pijatan). Ketika aku bosan dengan warna rambut aku tidak wajib mencari salon karena suamiku akan selalu ada untuk membantuku mengecat.

Aku Mawar Angelina Sinaga, nyonya Siregar, Mama Jane (nama putri sulungku). Mungkin aku termasuk perempuan batak yang beruntung, seperti juga mamaku karena kami tidak pernah terlalu pusing dengan nama yang akan dipakai. Karena aku tidak pernah diwajibkan suamiku atau mertuaku untuk mencantumkan Siregar dalam semua namaku. Aku juga bebas berekpresi dengan namaku. Dan aku tetap seorang perempuan Batak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar