Saya tidak yakin ada berapa orang yang akan setuju dengan pendapat saya. Oh ya sebelumnya harus saya jelaskan kalau saya seorang ibu dengan 3 orang anak. Kecuali ‘kalian atau kamu’ membaca blog saya sejak awal, mungkin akan sedikit mengerti track record tulisan ini. Bagi saya seorang ibu adalah bagian dari hidup saya -walau saya secara Pribadi tidak punya hubungan yang amat sangat dekat dan khusus dengan ibu saya-. Tapi dengan sadar dan tanpa kebohongan saya akan bilang dengan lantang, saya sayang sama ibu saya, banyak hal yang saya banggakan dari beliau juga tidak sedikit kebiasaanya yang menganggu saya. Tapi secara keseluruhan, saya diberkati lahir dari rahim beliau, dibesarkannya dan inilah saya sekarang.
Tapi
ketika saya menjadi ibu dan perempuan dewasa. Peralihan saya memang agak
berbeda dengan manusia pada umumnya, kalau orang akan menjadi ibu setelah
menjadi perempuan dewasa dahulu. Sedangkan saya, pergumulan saya menjadi ibu
diusia muda-lah yang perlahan mengkatrol untuk menjadi lebih matang, sampai akhirnya saya sampai
di tahap perempuan dewasa. –paling tidak begitu saya dan suami menilainya. Saya merasa
jauh lebih baik sekarang ini-. Dalam proses pertumbuhan ini, banyak hal yang
kemudian saya sadari telah saya lalui dengan alaminya. Dan kemudian menurut saya, banyak bagian yang salah kaprah.
Sejak
semula Tuhan menciptakan perempuan, -keyakinan saya mengajarkan- bahwa perempuan akan
menjadi penolong bagi laki-laki. Dan karena dosa manusia pertama yang tidak
taat dengan perintah Tuhan, maka Tuhan menghukum mereka; perempuan akan mengalami kesakitan
dalam melahirkan seumur hidupnya, dan laki-laki akan bersusah dan berpeluh
untuk menafkahi keluarganya, juga sepanjang hidupnya. (saya tidak berminat membahas hipotesa-hipotesa pengetahuan/pendapat para ahli yang lainya, walau saya yakin mereka pastinya punya bukti-bukti yang
lebih cermat).
Ketika
seorang perempuan mengandung selama 9 bulan atau lebih lebih, saya menganggap
ini 'hanyalah' sebuah siklus hidup. Bukan nilai martir yang harus terus diingatkan
ketika seorang ibu terluka. Bukan alasan kenapa perempuan kemudian dihargai sebagai ibu, semuanya adalah kodrat bahwa perempuan akan hamil dan
melahirkan. Dan ini adalah kebanggaan buat seorang perempuan, ikatan yang kemudian membuat batin perempuan (seperti) terikat dengan
anaknya, ini hanyalah proses memberi dan menerima secara alamiah. Si ibu akan menerima kebahagian
baru dari seorang anak yang kemudian 'ada' (bukan melulu lahir). Memang ada harga yang harus dibayar, rahim, tubuh, nyawa,
otot dan sebagainya –yang tidak jarang- menimbulkan indiksai lainya. Tapi tetap ini bukan sebuah
proses sebab akibat emosional.
Demikian
juga atas laki-laki, perempuan seharusnya lebih kuat, perempuan sebaiknya lebih
gagah, perempuan harus pekasa. Pernah dengan istilah “dibalik kesuksesan laki-laki, selalu ada wanita perkasa” dan saya
mengartikan ini secara harfiah. Saya harus banyak “bernyanyi”, saya harus 'ikut serta' dalam mengendalikan roda kehidupan
rumah tangga saya, agar semuanya berjalan dengan ‘lebih’ baik. Tanya Kenapa?? Karena
saya perempuan, karena ‘kami’ sesungguhnya lebih lebih kuat daripada laki-laki,
karena Tuhan ciptakan wanita untuk menjadi PENOLONG, bukan pendamping semata. Maka
logikanya adalah: yang menolong sudah
seharusnya lebih kuat dari pada yang ditolong..
Terjebak
dengan pengertian imam?? Iman bukan pengendali, imam tidak melulu mengandung
pengertian “pembuat keputusan”... terlalu lama kita terjebak dalam pengertian
imam yang berarti sama dengan BOSS.. Saya menepatkan suami sebagai 'rekan' pembuat
keputusan, bukan pembuat keputusan itu sendiri. Buat saya agak tolol nampaknya,
ketika urusan dapur, uang belanja, cat rumah, mengunjungi yang perlu dikunjungi, dan remeh-temeh lainya;
harus seturut keinginan laki-laki. Bodoh,,, lalu kemana nalurimu sebagai
MANUSIA??. Lupakan masalah gender.
Anak
ini lebih disayangi karena lebih baik, sedangkan anak ini kurang karena dia
bersikap kurang baik, saya sempat hidup dalam pemikiran ini dan saya
sempat bilang ini wajar. Tapi kemudian perjalanan mengajarkan saya, bahwa
tidak seharusnya seorang anak dikotak-kotak karena karakternya. Toh karakter
itu hampir 60% didapat dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga. lagipula disisi ‘keburukan’nya
setiap anak PASTI punya sisi manisnya sendiri. Sering karna terbungkus oleh
kesombongan sebagai orangtua, kita tidak mau melihat sisi baik itu, kita lebih berfokus pada 'banyaknya' kesalahanya. Kemudian banyak kita melakukan pebiaran dan kemudian menjadi kebiasaan, sampai
dimasa transisi banya anak yang (akhirnya) kehilangan kepercayaan terhadap keluarganya.
Saya –masih terus mencoba walau sering berputar-putar didalamnya-, menyikapi perbedaan sikap anak dengan cara yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. saya terlalu sering adil, padahal bukan 'keadilan' versi kita yang mereka butuhkan. Kepantasan dan perbedaan karakter anak seharusnya membuat kita harus bersikap 'tidak adil' dalam menangani tiap pribadi. Saya rasa –dan seharusnya- setiap orangtua lebih bijaksana, bagaimana seharusnya si’baik’ diperlakukan dan bagaimana lebih baiknya si ‘nakal’ diperlakukan, terlebih saat mereka ada di saat dan tempat yang sama.
Saya –masih terus mencoba walau sering berputar-putar didalamnya-, menyikapi perbedaan sikap anak dengan cara yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. saya terlalu sering adil, padahal bukan 'keadilan' versi kita yang mereka butuhkan. Kepantasan dan perbedaan karakter anak seharusnya membuat kita harus bersikap 'tidak adil' dalam menangani tiap pribadi. Saya rasa –dan seharusnya- setiap orangtua lebih bijaksana, bagaimana seharusnya si’baik’ diperlakukan dan bagaimana lebih baiknya si ‘nakal’ diperlakukan, terlebih saat mereka ada di saat dan tempat yang sama.
Ada juga kepicikan
dengan mengatas namakan anak sebagai landasan bahtera rumah tangga...#aku sih menyebut ini picik. Bukankah
pernikahan dilaksanakan –bahkan- sebelum adanya anak??. Bukankah semua keyakinan
sudah jelas-jelas mengajarkan bahwa “anak adalah titipan Tuhan”. Dan pengertian itu sangat eksplisit, karena semua anak pada akhirnya akan
meninggalkan orangtuanya untuk menjadi satu dengan pasangan hidupnya. Lagi-lagi
aku menyebutnya siklus hidup.
Tidakkah lebih baik mencintai istri dan suami dengan sepenuh hati dan jiwa –ketimbang anak-, karena ketika kita menjadi renta dan lemah, dialah yang akan selalau ada disisi kita. Dialah yang akan menjaga malam-malam sepi kita nantinya. Berharaplah yang terbaik bagi anak. Bukan memberikan yang terbaik, -lebih- dari seharusnya pasangan kita diperlakukan.
Tidakkah lebih baik mencintai istri dan suami dengan sepenuh hati dan jiwa –ketimbang anak-, karena ketika kita menjadi renta dan lemah, dialah yang akan selalau ada disisi kita. Dialah yang akan menjaga malam-malam sepi kita nantinya. Berharaplah yang terbaik bagi anak. Bukan memberikan yang terbaik, -lebih- dari seharusnya pasangan kita diperlakukan.
Masih
banyak kekeliruan-kekeliruan yang menurut saya terjadi dalam hidup kita
sehari-hari, proses pengabaian membuat kita menjadikan ini sebagai standard
dalam kehidupan. Harapan saya –dan doa saya selamanya- anak saya akan menghormati
saya sebagai ibunya, sebagai orangtuanya. Seperti dia –sebaiknya- juga menghormati
semua orang yang lebih tua lainnya. Menerima saya sebagai Pribadi yang utuh
bukan karena semata-mata saya ‘orang yang mengandung dan melahirkanya’. Karena saya sangat
percaya begitu banyak anak-anak adopsi yang tidak lahir dari rahim “kandungan” tapi mereka menerima cinta yang tulus, kasih yang tanpa syarat. Dan cinta yang
lahir dari hati dan rahim memiliki nilai sakral yang sama…
Anak
adalah anak, dia adalah titisan orangtua, cermin orangtua –entah disadari atau
tidak-, anaklah alasan semua keletihan kita diluar rumah. Tapi mereka akan memiliki hidupnya sendiri, cepat atau lambat. Dan suami adalah rekan
sekerja, teman berfikir, teman berbagi, teman memasak, teman mencuci, barometer
karakter kita, lebih dari sekedar teman seranjang, saya lebih suka memaknai
suami sebagai bagian dari jiwa, bagian dari hati dan teman seumur hidup..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar