22 Nov 2011

Pria Rese itu,,,


Seperti biasa dari Pancoran aku naik bus yang kearah UKI Cawang, dari perempatan  itu aku akan menyebrang untuk mengambil mobil yang kearah Bekasi, sebenarnya aku bisa naik kendaraan apa saja yang kearah Kali Malang tanpa menyebrang tapi sampai hari itu dan sekarang pun aku lebih suka naik mobil orange yang via tol, pastinya karena jarak tempuhnya yang jauh lebih cepat itu. Seperti biasa aku suka mengambil posisi di pojok –baik kanan atau kiri- lalu mulai pewe untuk tidur. Sampai Jati Bening perjalanan masih biasa dan tidak ada yang istimewa, aku sudah tidak berani tidur lagi karena beberapa menit lagi aku akan sampai. Tidak lama naiklah sepasang manusia, tidak perlu bertanyapun aku sudah bisa menebak ras si lelaki ini, tapi sumpah potongan perempuanya lebih ke ‘halak ion’ (*orang Jawa or Sunda, istilah orang Batak) dan yuhuuu, tidak sampe semenit aku mulai sangat terganggu denga celoteh si pria Batak ini. 


Tren basi diangkot, semua orang memilih untuk duduk dekat pintu (entah kenapa, padahal aku sangat yakin sekalipun kita duduk diujung pojok dan terdesak kita semua akan turun koq, lalu.. sampai hari ini aku masih suka tidak paham dengan kebiasaan sebagian orang yang ngotot –bukan karna naiknya terakhir lho- maunya duduk dibangku dekat pintu.

Tren terbaru diangkot dan juga bus (bahkan KA yang super sumpek), naik duduk -atau berdiripun- buka BB dan hening lalu cengar-cengir sendirian, itu gaya yang agak mudaan sampai yang –mungkin- umurnya seaku, sedangkan yang lebih tuaan (doileh..hehehe) gayanya buka-buka tas, buka dompet –entah apa yang dilihat- buka hape satu, masukan, buka hape dua masukan dan keluarkan hp ketiga (sumpah, aku sering liat yang model gini..)

Karena waktu itu aku belum punya smart phone, aku lebih sering memasang earphone dengan tingkat tinggi ditelingaku. Asli keheningan yang ‘individual’ seperti ini sesungguhnya membuatku agak begidik. Iyalah, bukakah jaman dulu kala orang akan mendapat teman baru di angkot, dikereta atau di jenis angkutan lainya tapi sekarang semua orang hidup dengan ‘gaya’nya sendiri. So gayaku naik angkot adalah, duduk  pasang radio atau mp3 terus tidur.
Hera na halak hita do itoan on”  (*kayanya orang Batak nih cewek, sambil menujuk aku) kata si pria tadi pada wanita disampingnya dengan suara seperti berbisik –padahal aku bisa dengar- hebatkan bisik-bisiknya orang Batak ini, hehehe..
Ah daong ah,  asing do bohina” (*ah engga kali, potonganya beda) jawab si cewek sambil kulhat mencuri pandang ke arahku. Oh Batak juga batinku.

Entah apa yang kemudian membuat si lelaki ini senewen sendiri, dia mulai ngotot dengan si cewek tadi untuk membuktikan bahwa aku Batak –di bangku belakang tinggal kami bertiga, dan seorang lagi disamping supir-. Sempat pengen nyeletuk juga sih “emang kenapa kalau Batak” pikirku, tapi melihat gaya si pria ini yang ngotot dan penuh kecibiran yang engga jelas aku lebih memilih diam, dan sok tak bergeming padahal earphone sudah mati.  

        “Unang pa sombong ku molo halak hita, lam songon dia pe bagak na tarida do molo bohini halak Batak” (*jangan sombonglah kalau orang Batak, mau cakep kaya apa kek muka Batak mah tetep ketauan) celotehnya lagi dengan sinis dan keras, si cewek mencoba menepuk-nepuk kakinya untuk mendiamkan. Aku masih pura-pura sibuk dengan HP dan mengoyang-goyang kepala, tapi muka rasanya panas, jantung berdegup keras, keki, malu, berasa bodoh. Pikirku, seandainya saja dia bertanya sopan, aku tidak mungkinlah akan mengingkari ke Batak-an ku.

Aku bingung menulis dengan bahasa Batak apa yang dia bicarakan, pokonya dia ngotot sama pacarnya kalau aku adalah perempuan Batak yang sok jual mahal, dia bilang aku pura-pura sibuk –padahal iya juga sih, hohoho- karena malu disebut orang Batak, orang yang datang dari kampung biasanya begitu cerocosnya, lalu dia juga  mulai bertindak konyol. Kelamaan –sepertinya dia juga mulai yakin tidak yakin dengan tidakannya- karena aku tidak juga geming ataupun mengarahkan mataku pada mereka.
molo hu dok bau untut, ikon hatop do dijawab ito an on, bukan saya-bukan saya.. songoni do lau menjebak halak Batak na sombong” (*bilang aja ku bilang bau kentut, pasti dia langsung jawab bukan saya-bukan saya, begitu cara menjebak orang sombong) si mahluk aneh ini makin berapi-api dan tatapanya bukan lagi mencuri-curi, jelas dia melototin aku dengan sinis. Mungkin –seandainya, misalkan- mobil aku tidak berhenti kemudian, kemungkinan aku bisa terpancing dengan gaya si pria bodoh tadi, dengan sok enteng dan tenang aku turun dari angkot tanpa sepicingpun melihat mereka kecuali dengan tatapan ‘sok aneh, sok tidak mengerti’.

“ih gila ya orang Batak ini suka aneh ya, kenapa siy mereka suka bawel engga karu-karuan, laki-laki mulutnya lemes, hadeh najis banget dey gua…” omelku sepanjang jalan kepada suamiku dimotor.
“ya itulah Batak” jawabnya seperti biasa, sok diplomatis dan gantung.
“maksudnya??” cecarku, masih dengan kekesalan dihati.
“ya kaya kamu lah kurang lebihnya, bawel apa aja dikometarin. Kadang-kadang namanya juga komentar ya ada nyebelinnya juga…”
Kyaaa, dengan kesal sambil –terus merenung kalimat pendeknya-- kulayangkan cubitan terpanas sore itu dipinggang suami, yach sekalian hitung-hitung membalas pria Batak bodoh tadi. Grrrr, tapi jalinan syaraf dikepalaku dan perasaanku memaksa untuk sedikit memerah otak, “apakah aku termasuk orang Batak yang  -menurutku- menyebalkan seperti itu, apakah aku termasuk golongan  komentator Batak??” apakah pria menyebalkan itu adalah sedikit daripada refleksiku… urghhh… Only nature can answer, hehehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar