Seperti biasa dari Pancoran aku naik bus yang kearah UKI
Cawang, dari perempatan itu aku akan menyebrang
untuk mengambil mobil yang kearah Bekasi, sebenarnya aku bisa naik kendaraan
apa saja yang kearah Kali Malang tanpa menyebrang tapi sampai hari itu dan
sekarang pun aku lebih suka naik mobil orange yang via tol, pastinya karena jarak tempuhnya yang jauh lebih cepat itu.
Seperti biasa aku suka mengambil posisi di pojok –baik kanan atau kiri- lalu mulai
pewe untuk tidur. Sampai Jati Bening
perjalanan masih biasa dan tidak ada yang istimewa, aku sudah tidak berani
tidur lagi karena beberapa menit lagi aku akan sampai. Tidak lama naiklah
sepasang manusia, tidak perlu bertanyapun aku sudah bisa menebak ras si lelaki
ini, tapi sumpah potongan perempuanya lebih ke ‘halak ion’ (*orang Jawa or Sunda,
istilah orang Batak) dan yuhuuu, tidak sampe semenit aku mulai sangat terganggu
denga celoteh si pria Batak ini.
Tren basi diangkot, semua orang memilih untuk duduk dekat
pintu (entah kenapa, padahal aku sangat yakin sekalipun kita duduk diujung
pojok dan terdesak kita semua akan turun koq, lalu.. sampai hari ini aku masih
suka tidak paham dengan kebiasaan sebagian orang yang ngotot –bukan karna
naiknya terakhir lho- maunya duduk dibangku dekat pintu.
Tren terbaru diangkot dan juga bus (bahkan KA yang super
sumpek), naik duduk -atau berdiripun- buka BB dan hening lalu cengar-cengir
sendirian, itu gaya yang agak mudaan sampai yang –mungkin- umurnya seaku,
sedangkan yang lebih tuaan (doileh..hehehe) gayanya buka-buka tas, buka dompet
–entah apa yang dilihat- buka hape satu, masukan, buka hape dua masukan dan
keluarkan hp ketiga (sumpah, aku sering liat yang model gini..)
Karena waktu itu aku belum punya smart phone, aku lebih sering memasang earphone dengan tingkat tinggi ditelingaku. Asli keheningan yang
‘individual’ seperti ini sesungguhnya membuatku agak begidik. Iyalah, bukakah
jaman dulu kala orang akan mendapat teman baru di angkot, dikereta atau di
jenis angkutan lainya tapi sekarang semua orang hidup dengan ‘gaya’nya sendiri. So gayaku naik angkot adalah, duduk pasang radio atau mp3 terus tidur.
“Hera
na halak hita do itoan on” (*kayanya
orang Batak nih cewek, sambil menujuk aku) kata si pria tadi pada wanita
disampingnya dengan suara seperti berbisik –padahal aku bisa dengar- hebatkan
bisik-bisiknya orang Batak ini, hehehe..
“Ah
daong ah, asing do bohina” (*ah
engga kali, potonganya beda) jawab si cewek sambil kulhat mencuri pandang ke
arahku. Oh Batak juga batinku.
Entah apa yang kemudian membuat si lelaki ini senewen
sendiri, dia mulai ngotot dengan si cewek tadi untuk membuktikan bahwa aku Batak
–di bangku belakang tinggal kami bertiga, dan seorang lagi disamping supir-.
Sempat pengen nyeletuk juga sih “emang
kenapa kalau Batak” pikirku, tapi melihat gaya si pria ini yang ngotot dan
penuh kecibiran yang engga jelas aku lebih memilih diam, dan sok tak bergeming
padahal earphone sudah mati.
“Unang pa sombong ku molo halak hita, lam
songon dia pe bagak na tarida do molo bohini halak Batak” (*jangan
sombonglah kalau orang Batak, mau cakep kaya apa kek muka Batak mah tetep
ketauan) celotehnya lagi dengan sinis dan keras, si cewek mencoba menepuk-nepuk
kakinya untuk mendiamkan. Aku masih pura-pura sibuk dengan HP dan
mengoyang-goyang kepala, tapi muka rasanya panas, jantung berdegup keras, keki,
malu, berasa bodoh. Pikirku, seandainya saja dia bertanya sopan, aku tidak
mungkinlah akan mengingkari ke Batak-an ku.
Aku bingung menulis dengan bahasa Batak apa yang dia
bicarakan, pokonya dia ngotot sama pacarnya kalau aku adalah perempuan Batak yang
sok jual mahal, dia bilang aku pura-pura sibuk –padahal iya juga sih, hohoho- karena malu disebut orang Batak,
orang yang datang dari kampung biasanya begitu cerocosnya, lalu dia juga mulai bertindak konyol. Kelamaan –sepertinya
dia juga mulai yakin tidak yakin dengan tidakannya- karena aku tidak juga
geming ataupun mengarahkan mataku pada mereka.
“molo
hu dok bau untut, ikon hatop do dijawab ito an on, bukan saya-bukan saya.. songoni do lau menjebak halak Batak na sombong”
(*bilang aja ku bilang bau kentut, pasti dia langsung jawab bukan saya-bukan saya,
begitu cara menjebak orang sombong) si mahluk aneh ini makin berapi-api dan
tatapanya bukan lagi mencuri-curi, jelas dia melototin aku dengan sinis.
Mungkin –seandainya, misalkan- mobil aku tidak berhenti kemudian, kemungkinan aku bisa terpancing
dengan gaya si pria bodoh tadi, dengan sok enteng dan tenang aku turun dari
angkot tanpa sepicingpun melihat mereka kecuali dengan tatapan ‘sok aneh, sok
tidak mengerti’.
“ih gila ya orang Batak ini suka aneh
ya, kenapa siy mereka suka bawel engga karu-karuan, laki-laki mulutnya lemes,
hadeh najis banget dey gua…” omelku sepanjang jalan kepada suamiku dimotor.
“ya itulah Batak” jawabnya seperti
biasa, sok diplomatis dan gantung.
“maksudnya??” cecarku, masih dengan
kekesalan dihati.
“ya kaya kamu lah kurang lebihnya,
bawel apa aja dikometarin. Kadang-kadang namanya juga komentar ya ada
nyebelinnya juga…”
Kyaaa, dengan kesal sambil –terus merenung kalimat
pendeknya-- kulayangkan cubitan terpanas sore itu dipinggang suami, yach
sekalian hitung-hitung membalas pria Batak bodoh tadi. Grrrr, tapi jalinan syaraf
dikepalaku dan perasaanku memaksa untuk sedikit memerah otak, “apakah aku
termasuk orang Batak yang -menurutku-
menyebalkan seperti itu, apakah aku termasuk golongan komentator Batak??” apakah pria menyebalkan
itu adalah sedikit daripada refleksiku… urghhh… Only nature can answer, hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar